Cerpen Indah Noviariesta *
Sulit dibuktikan apakah Bang Topa itu orang waras ataukah orang sinting dan senewen. Sebagian masyarakat menjauhinya, tapi sebagian lain menganggap wajar dan biasa-biasa saja. Dia asli kelahiran kampung Jombang Wetan, Banten, dengan nama tertera di KTP, Ahmad Mustofa. Tetapi, karena kesulitan mengeja atau menyebutkan nama yang cenderung kearab-araban, orang-orang memanggilnya lebih singkat dan simpel saja, yakni Topa. Sedangkan mereka yang lebih muda dari usianya seperti saya, biasa memanggilnya dengan sebutan “Bang Topa”.
Tinggi badannya sedang, tak bisa dibilang jangkung tetapi juga tidak pendek. Mukanya agak bundar dan oval, tidak begitu jelek tetapi juga kurang cocok jika disebut ganteng. Matanya agak juling dan tajam, tetapi dia akan menatap kita biasa saja, tidak seperti biasanya orang gila menatap. Dan jika kita mengajaknya bicara dengan serius, dia pun akan menanggapinya, sehingga menurut saya, kurang pas jika dikatakan bahwa otaknya miring dan sinting.
Di sisi lain, sulit juga disangkal bahwa Bang Topa sering melakukan hal-hal aneh dan janggal. Misalnya beberapa waktu lalu, ketika penyelenggaraan pemilu untuk pemilihan kepala desa. Tiba-tiba, dia melukis gambar dirinya sendiri di sebuah karton kuning, lalu mencantumkan dua kata dengan spidol di bawahnya: PILIHLAH AKU!
Karton kuning itu kemudian dia tempelkan pada batang pohon sawo di samping kantor kelurahan, hingga tak urung anak-anak sekolah menjadikannya target panah-panahan atau permainan ketapel yang mereka buat dari batang-batang pohon bercabang. Pada saat hari pencoblosan, seperti saya katakan tadi, dia menampilkan dirinya sebagai orang normal, ikut menyodorkan bukti perdaftaran kepada panitia pemungutan suara, menunjukkan KTP hingga masuk ke bilik suara seperti biasa.
Suatu hari, saya pun sepakat dengan pendapat Pak Salim pemilik warung kopi, bahwa Bang Topa bukanlah orang miring dan senewen. Tapi perihal pasang-pasang gambar dirinya di hari pemilu, Pak Salim bingung juga, “Mungkin dia pengen bikin sensasi, atau bermaksud membuat kelakar atau semacam guyonan,” demikian ujar Pak Salim.
Tapi, sejurus ingatan saya sejak sekolah tingkat SMP, SMU, hingga menjalani masa kuliah saat ini, sepertinya sering banget menyaksikan orang-orang edan dan sableng di negeri ini. Bahkan, sekarang saja, tiap melihat orang berkelakuan aneh, baik di pasar-pasar, di kampung nenek di Karang Asem, juga di tempat peziarahan di masjid agung Banten, selalu saja terbayang di benak saya, apakah Bang Topa juga termasuk jenis habitat yang sama dengan mereka-mereka itu?
Bagi sebagian orang mungkin terbilang misterius, karena Bang Topa tak pernah mau bekerja. Tetapi, ia tak mau tinggal diam. Tiba-tiba ngeloyor pergi dan bergabung dengan orang-orang di gardu ronda. Kadang dia ikut sibuk-sibuk cuci piring di warung Bi Siti untuk mendapatkan sekadar jatah rokok atau kopi bungkus. Setelah itu, ia akan duduk-duduk di bangku depan rumah Bi Marfuah dan bersandar pada batang pohon mangga. Matanya kadang mendelik ke atas dengan tatapan menerawang, lalu tangannya bergerak-gerak seperti menuliskan sesuatu di atas udara.
“Neng, mau berangkat kuliah, ya? Salamin sama Ibu Dosen, ya?” seperti biasa ia berseloroh ketika saya membeli sesuatu di warung kelontong Bi Siti, dalam perjalanan menuju kampus.
“Salamin ke Ibu Dosen siapa?” tanya saya ketus.
“Pokoknya siapapun dosen yang paling cantik, tolong salamin Bang Topa.”
“Hmm.”
Dia bicara dengan dialek Betawi, tapi logat Jawa Bantennya sangat kental. Suatu kali dia memancing pertanyaan, apakah yang saya dapatkan dari kesibukan mondar-mandir menuju perguruan tinggi. “Supaya pintar, ya?” Saya pun hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu dia mengeluarkan spidol dari kantongnya, dan menulis dua kata dengan huruf kapital di atas bangku yang dia duduki: SUPAYA PINTAR.
Sepulang dari kampus, dan setelah mengikuti mata kuliah psikologi, motor saya berhentikan sebentar di depan rumah Bi Marfuah. Rupanya, di sekitar bangku hingga batang pohon mangga sudah penuh tulisan-tulisan Bang Topa yang mungkin dia lakukan selama berhari-hari atau berbulan-bulan sebelum saya sempat melihat dan mengamatinya dengan serius.
Pernah saya melihat Pak Majid, seorang tukang cukur, menuju warung kopi untuk bergabung menonton teve bersama orang-orang saat acara final bulutangkis. Tetapi, Bang Topa tetap saja duduk-duduk di bangku sambil mengukir kata FINAL BULUTANGKIS dengan goresan tebal dari spidolnya.
Sebulan lalu, ketika mendengar kabar kekalahan tim sepakbola Indonesia dalam ajang perebutan piala Asia, tiba-tiba dari mulutnya mengeluarkan suara menggeram dan menggonggong seperti anjing, hingga Bi Siti dan Bi Marfuah berteriak-teriak agar menyumpal mulut Bang Topa dengan serbet yang dipakai untuk membersihkan kotoran yang menempel di meja warung kopi Pak Salim.
Pak Salim pernah berbisik-bisik memperingatkan kami, “Tapi hati-hati dengan Bang Topa. Jangan coba-coba menyakiti hatinya, karena kalau marah dia bisa kalap seperti celeng yang mengobrak-abrik satu hektar sawah.”
***
Pas hari Minggu pagi, ketika Bi Siti beres-beres membuka warungnya, dia uring-uringan tak keruan. Pada bangku di sekitar meja terdapat bongkahan-bongkahan taik kucing yang pasti kerjaan kucing belang kesayangan Bang Topa. Seketika Bi Siti jadi bahan olok-olok para pemuda di gardu ronda, meski ia berusaha menjaga jarak dengan Bang Topa mengingat petuah yang pernah diberikan Pak Salim.
Bang Topa memang sangat menyayangi kucing mungil berwarna belang itu. Anehnya, kucing itu kadang berperilaku seperti majikannya. Pendiam, jarang mengeong, dan kalau kita menatap matanya justru ia akan melengos ke samping. Jika ada beberapa kucing mencari makan di sekitar warung atau rumah penduduk, justru kucingnya Bang Topa tak pernah ikut-campur atau bergabung bersama mereka. Ia akan tetap setia pada majikannya, bahkan jika pun ia hanya memakan sepotong tulang dari lauk lele yang dibeli Bang Topa dari warung masakan Padang.
Namun sayangnya, beberapa hari setelah hari raya Idul Fitri, kucing kesayangannya tiba-tiba mati karena terlindas mobil truk, pada saat truk itu berbelok menuju toko material di ujung perempatan Jombang. Konon, Bang Topa sempat mengangkat kucing naas itu, hingga menyaksikan getaran di sekitar mulutnya, kemudian terdengar suara mengeong untuk terakhir kalinya.
Itulah barangkali penyebab yang membuat Bang Topa serba murung dan muram selama beberapa waktu. Ia luntang-lantung dan keluyuran seharian mengelilingi perkampungan. Orang-orang bilang dia telah kesambet dan kehilangan akal sehat, pikun bahkan linglung. Anggapan orang kemudian berbelok lagi, ketika menyaksikan dirinya tiba-tiba berpakaian rapi mengenakan baju koko putih, sarung dan kopiah, serta rajin melaksanakan salat magrib di masjid kampung kami.
Kini, ia telah membuang spidolnya, berhenti mencorat-coret, namun di sisi lain ia suka bicara sendirian, menyebut dirinya waliullah, nabi, bahkan Imam Mahdi. Ia merasa dirinya telah diutus ke muka bumi, agar mengajak manusia di jalan kebenaran menurut persepsinya sendiri. Pernah ia mengaku dirinya sebagai penyelamat kaum muslimin di akhir zaman kelak, serta berjuanag bersama Nabi Isa dan Nabi Muhammad untuk melawan orang-orang yang disebutnya “dajjal-dajjal” yang akan menghancurkan bangunan rumah dan toko-toko, serta memindahkan bangunan Kabah ke negeri China dan Amerika Serikat.
Tentu ada saja orang yang percaya pada omongan Bang Topa. Tapi ironisnya, ketika dua penduduk di desa kami meninggal akibat dampak pandemi Covid-19 di awal 2021 lalu, tak urung ibu-ibu pengajian di masjid Darul Muttaqin turut mempercayai misi dan dakwah yang dilakoni Bang Topa. Ibu-ibu pengajian itu secara sukarela mengubah nama Bang Topa dengan sebutan “Ustaz Topa”.
***
Merasa bangga dengan sebutan itu, Ustaz Topa mengaku dirinya telah berjumpa dengan makhluk halus dan berbincang-bincang dengannya. Konon, perbincangan panjang terjadi sewaktu dirinya mandi di sungai Kalitimbang pada Jumat pagi, dan setelah dirinya buang air besar.
Pengakuan berjumpa dengan Tuhan tak begitu mengherankan buat saya pribadi. Di tanah Banten yang dikenal dengan negeri seribu wali, setiap orang sah-sah saja mengaku dirinya berjumpa dengan Tuhan. Pak Saiful, seorang guru ngaji sekaligus tukang urut, juga mengaku pernah bertemu dengan Malaikat Jibril di daerah Karangantu, Serang. Kang Kadir si pemain debus yang dikenal sakti, juga pernah bersua dengan Tuhan di wilayah Rangkasbitung, Lebak. Kiai Tohir dari Pandegelang juga mengaku berjumpa dengan Malaikat Israfil di puncak Gunung Karang4]. Tak terkecuali Ustaz Juned dari Desa Baros, yang pintar mengobati patah tulang, bahkan pernah menerbitkan buku kecil berjudul: “Bersilaturahmi dengan Makhluk Gaib”.
Apa yang mereka percayai jelas sulit terjamah dengan akal sehat. Mungkin benar mungkin tidak. Karena memang, tidak jarang tukang pijat dan ahli-ahli pengobatan herbal di Banten, yang mengaku-ngaku berjumpa dengan Tuhan. Di kampung seberang juga begitu kondisinya. Masyarakat tampak berbeda-beda menjuluki Pak Kusen, seorang dokter atau mantri keliling yang memiliki keahlian menyunat anak-anak balita. Ada yang bilang dia itu orang pintar, dukun, paranormal, bahkan tidak sedikit yang memanggilnya Kiai Kusen.
Tiap malam Selasa, Ustaz Topa mengisi acara pengajian di masjid kampung kami. Dari minggu ke minggu, jamaahnya semakin bertambah dari puluhan hingga ratusan yang kebanyakan dari kalangan ibu-ibu. Kini, ia sengaja menumbuhkan jenggot dan mengenakan jubah putih. Pada jari-jemarinya terselip tasbih manik-manik yang dibelinya sewaktu ia membawa rombongan peziarah ke makam Sultan Hasanudin di masjid agung Banten.
Ia pun pernah memboyong ratusan jamaahnya untuk berziarah ke makam-makam walisongo di sepanjang Pantura, dari Kota Cilegon hingga Surabaya, Jawa Timur. Ia semakin dikenal sebagai dai dan penceramah, dengan cara-cara yang agak aneh, menyentak-nyentak, hingga tak jarang ibu-ibu yang menangis sesenggukan, antara rasa takut dan cemas, atau merinding membayangkan kiamat dan panasnya api neraka. Dalam keadaan masih sesenggukan, ibu-ibu itu sontak memeluknya sambil menyebut, “Oh, Habib Topa, tolonglah saya…!”
Saya jadi penasaran ingin menghadiri pengajian dan mendengar langsung ceramah Ustaz Topa. Dengan tasbih manik-maniknya, ia mengangkat tangan dan berkoar-koar bahwa di masa akhir zaman, kita akan menyaksikan bersama bahwa para istri akan memakan suaminya sendiri, orang tua menyantap daging anak kandungnya sendiri, saudara-kerabat akan saling menerkam saudaranya sendiri. “Kalian perhatikan saya ini! Wahai, pemilih calon presiden, bupati dan gubernur, awas kalian hati-hati memilih mereka! Jangan sampai kalian membeli kucing dalam karung! Jangan sampai para menteri dan aparat kepolisian, orang-orang yang enggak becus dipilih untuk mengurusi umat! Para kepala sekolah dan kiai pesantren juga akan menyembelih santri dan murid-muridnya di akhir zaman ini! Karena itu, awas… kalian perhatikan saya ini! Sekali lagi, perhatikan saya!!”
Dia pun menggebrak mimbar, berteriak-teriak sambil membetulkan posisi sorbannya lalu berdehem seakan ingin menenangkan hadirin, “Tapi tak usah khawatir,” ia pun mulai menurunkan nada suaranya, “Sebab, pintu tobat masih terbuka… karena apa? Karena Allah kemarin lusa telah membisiki telinga saya, bahwa masih ada pintu tobat yang akan dibukakan malaikat Jibril, khusus untuk masyarakat Jombang…”
Seketika ia tertawa dengan sumringah. Keringat mengucur dari kepala hingga menetes deras di sekitar kening dan bola matanya. Ia melepas kopiahnya sebentar, mengelap keringat di keningnya, sementara baju koko di sekitar ketiaknya dibiarkan basah kuyup.
Sebagian ibu-ibu tersenyum simpul mendengar akhir uraian sang ustaz, seolah terbebas dari beban yang teramat berat. Karena masih ada harapan atas permaafan Tuhan dari segala dosa gosip, ghibah bahkan saling fitnah antara satu dengan yang lainnya.
Tapi anehnya, semakin Ustaz Topa berhasil menakut-nakuti orang, semakin banyak jamaah berduyun-duyun memadati masjid, dan seketika itu pula beberapa kotak besar diedarkan di tengah hadirin, dan sumbangan semakin membanjir memenuhi kotak amal.
***
Sebagian masyarakat di kampung Jombang Wetan, Jombang Masjid, Jombang Cemara, memang tidak mengerti mengapa Bang Topa bisa berputar haluan dan berubah sekian puluh derajat. Dengan jenggot hitam menggelayut, serta pandangan mata yang dalam dan kusam, ia keliling kampung membawa-bawa map berisi amplop-amplop kosong, agar sudi kiranya masyarakat dengan ikhlas dan ridhonya mengulurkan bantuan, mengorbankan harta bendanya demi syiar dan dakwah untuk menegakkan apa yang disebutnya amar maruf dan nahi munkar.
Ketika ia sampai di ambang pintu rumah orang tua saya, kontan ia berseloroh lantang yang ditujukan kepada saya, “Gimana Neng? Udah disampaikan salam Bang Topa buat Bu Dosen?”
“Salam apaan?” tanya saya mengerutkan dahi, karena telah lupa apa yang pernah dia pesankan.
“Kok salam apaan? Sama ibu dosen yang cantik itu?”
“Ibu dosen yang mana?” Imam Mahditanya saya lagi. Karena memang di kelas saya ada empat dosen wanita yang mengajar pada mata kuliah berbeda-beda.
Dia bercakap-cakap lama dengan ibu saya di ruang tamu, sampai kemudian berakhir dengan canda-tawa yang sulit dimengerti. Lalu, ujung-ujungnya entah kenapa, tiba-tiba salah satu amplop kosong sudah terisi sambil dihiasi dengan ucapan: “Alhamduliilah, semoga amal baik dan keikhlasan Ibu diterima di sisi Allah Subhanahu wata’ala.”
Hari demi hari, pandangan masyarakat tetap terbelah menjadi dua kelompok. Sebagian mengatakan Bang Topa tergolong orang soleh yang mendapat limpahan petunjuk dan hidayah, namun sebagian lain berpendapat bahwa ia benar-benar orang sableng dan senewen.
Tapi di sisi lain, barangkali ada orang lain seperti saya yang memiliki pendapat tersendiri. Kalaupun Bang Topa disebut gila, sepertinya dia tidak tergolong orang yang benar-benar gila.
Sampai kemudian, ada yang membuat saya merasa tercengang sekaligus kaget menyaksikan sepak-terjang Bang Topa. Ternyata, dia berhasil merekrut dan membayar dua mahasiswa di kelas saya, agar turut-serta membantunya mencalonkan diri sebagai lurah desa Jombang untuk pemilihan mendatang.
“Neng, sudah dengar kabar baru tentang Bang Topa?” tanya Bi Siti ketika saya membeli cemilan di warung kelontongnya.
“Kabar baru apaan, Bi?”
“Sekarang dia mencalonkan diri jadi Lurah?”
“Ha, yang bener?” kata saya pura-pura kaget.
“Lihat saja empat foto yang terpampang jelas di depan kantor kelurahan, salah satunya dia!”
Bi Marfuah yang duduk di sebelahnya menambahkan dengan panjang-lebar, “Malam Selasa kemarin, Bang Topa juga teriak-teriak di mimbar masjid agar ibu-ibu mendukung dia jadi Lurah… ah, ada-ada saja, wong edan!”
Stiker-stiker, spanduk dan berbagai umbul-umbul berwarna-warni semakin bermunculan di sana-sini. Di samping merasa jengkel dan dongkol, seakan terselip kebanggaan tersendiri di hati Bi Marfuah, bahwa Bang Topa adalah asli warga kampung Jombang Wetan, dan mengingat nostalgia masa lalu, bahwa ia kerap mencorat-coret bangku dan pohon mangga miliknya.
Hari H tiba. Masing-masing kampung menyelenggarakan acara pencoblosan pada waktu yang bersamaan. Para bapak, ibu dan para pemuda yang sudah memiliki hak suara berbondong mendatangi tempat-tempat pemungutan suara. Puluhan aparat keamanan dari polres dan polsek setempat berjaga-jaga. Para santri dan beberapa ibu-ibu yang duduk di samping pemain debus dan atraksi topeng monyet, bersorak-sorai gembira meneriakkan yel-yel: “Hidup Bang Topa… hidup Sang Nabi, Waliullah, hidup Imam Mahdi…!”
Barangkali orang-orang yang menjatuhkan pilihan suara untuk Bang Topa, tak ada yang mengetahui bahwa hari itu, pada saat pencoblosan pemilu berlangsung, enam orang polisi dari Polres Cilegon mendatangi dan menggerebek kediaman Bang Topa.
Sang calon lurah itu digelandang ke kantor polisi, karena telah terhimpun bukti-bukti yang akurat, sah dan meyakinkan, bahwa dua orang yang melakukan pelemparan bom molotov di kantoir MUI beberapa bulan lalu, salah seorang pelakunya adalah Bang Topa sendiri. (*)
*Penulis adalah pegiat organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa), menulis prosa dan esai sastra di berbagai media nasional cetak dan online. Pemenang nominator untuk cerpen terbaik tahun 2021 lalu, yang diselenggarakan litera.co.id.