KABARMADURA.ID | SUMENEP-Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD Sumenep menyuarakan agar rancanagan peraturan daerah (raperda) tentang keris dapat mulai dibahas pada tahun 2023 mendatang. Alasannya, Sumenep sudah disebut Kota Keris namun belum memiliki regulasi yang jelas.
Anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Sumenep Nurus Salam menegaskan akan pentingnya regulasi tentang keris tersebut. Sebab, di Sumenep sudah banyak pengrajin keris namun belum memiliki regulasi.
“Saat ini kami proritaskan agar raperda keris bisa dilakukan pembahasan pada tahun 2023 mendatang,” katanya, Rabu (7/19/2022).
Menurutnya, untuk membahas raperda tentang keris di tahun 2023, ada beberapa mekanisme yang harus dijalani, yakni melalui Bapemperda DPRD Sumenep, kemudian dipersentasikan oleh pengusul.
“Hari ini sedang dilakukan pembahasan di tingkat BP2D untuk kemudian ditetapkan menjadi program legislasi daerah (prolegda) untuk tahun 2023,” ucapnya.
Anggota Komisi IV DPRD Sumenep itu sangat mendukung pembentukan perda tersebut, agar di Semenep bukan hanya berjuluk Kota Keris saja. Namun, dapat dipertanggungjawabkan.
Dia mengakui akan pentingnya keris di Sumenep. Bahwa keris adalah peninggalan adiluhur yang telah diakui oleh UNESCO sejak tahun 2005 lalu. Kemudian pada tahun 2014, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep mencanangkan branding Kota Keris untuk Sumenep.
“Hingga saat ini tidak ada regulasi atau perda tentang itu. Oleh kerana itu perlu direalisasikan,” beber ucap pria yang akrab disapa Oyok itu.
Selain itu, melihat potensi pengrajin keris yang hingga saat ini mencapai 862 orang empu, sehingga, imbuh Nurus, wajar jika Sumenep dikatakan Kota Seribu Empu.
Menurut anggota Badan Kehormatan (BK) DPRD Sumenep itu, jika adanya perda maka bisa mengukur sampai sejauh mana sentuhan pemerintah terhadap UMKM, termasuk mutu dan karyanya.
“Orang tidak dianggap datang ke Sumenep jikalu belum memiliki oleh-oleh keris misalnya, ini kan penting,” bebernya.
Menurutnya, banyak hal yang harus digodok oleh pemerintah tentang adanya regulasi. Kemudian keris tidak dapat dianggap lagi senjata tajam dan menjadi bagian dari tindak pidana seperti dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Padahal dalam undang-undang tersebut, untuk karya seni kerajinan dan lainnya tidak lagi masuk kategori senjata tajam.
“Itulah yang perlu didorong untuk dibuatkan regulasi sehingga nantinya ada lembaganya, serta ada wadahnya dan didorong SDM-nya, agar semakin meningkat, ada bimbingan teknis serta ada pendidikan dan pelatihan dan melestatikannya atau lainnya,” pungkasnya.
Reporter: Imam Mahdi
Redaktur: Wawan A. Husna