Oleh Hafis Azhari: Penulis novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten
Pernikahan mereka sudah berjalan hampir lima tahun, namun suami-istri itu belum juga dikaruniai anak. Mereka sedang mencuci piring bersama-sama. Istrinya yang mencuci sedangkan sang suami yang membilasi cucian. Tidak seperti kebanyakan lelaki yang enggan menyingsingkan lengan bajunya untuk pekerjaan rumah. Kadang teman-temannya menyatakan simpati, bahwa ia memiliki seorang suami yang setia. Membantu mencuci piring, bahkan menyeterika pakaian. Hal itu jarang dilakukan suami-suami untuk sekadar menunjukkan pengertian dan kesetiaan pada istrinya.
Kedua suami-istri itu sering bercakap dan berdebat tentang banyak hal. Entah bagaimana, sore itu mereka sampai pada topik pembicaraan bagaimana seandainya si lelaki, yang berasal dari suku Sunda itu, menikah dengan perempuan Jawa. Setelah mempertimbangkan banyak hal, menurut si lelaki, itu gagasan yang kurang cocok dan tidak sepantasnya.
“Lho? Emang kenapa?” tanya istrinya kaget. Kening perempuan itu berkerut, bibir bawahnya digigit, sementara tatapannya terpaku ke arah suaminya.
“Enggak kenapa-napa,” jawab si lelaki tak acuh.
“Kamu bilang tadi enggak cocok?”
“Bukan enggak cocok, tapi kurang cocok.”
“Jadi, kurang ideal, maksudnya?”
Si suami diam terpaku. Tangannya memegang mangkok yang masih berbusa. Ia kembali membilasnya dengan air keran yang keluar dari atas bak.
“Dengar nih,” ujar istrinya kemudian, “waktu SMU dulu, teman-teman saya banyak yang dari suku Jawa. Ada juga beberapa laki-laki yang orang tuanya pendatang dari Padang dan Madura. Di kantor saya bahkan ada yang dari Medan dan Ambon, bahkan salah satunya beragama Kristen. Tapi, kami enggak pernah ada masalah. Salah seorang teman saya malah menikah dengan non-muslim…”
“Sudahlah, sepertinya kamu mau menuduh saya fanatik, iya kan?” timpal suaminya.
“Lho? Jangan curiga begitu dong,” balas sang istri. Ia mulai mencuci mangkok lagi, memutar keran dan membersihkannya dengan air, “Saya cuma mau bilang bahwa enggak ada salahnya lelaki Sunda menikah dengan wanita Jawa, bahkan meskipun dia beragama Kristen, iya kan?”
Si suami terdiam, lalu jawabnya suara melenguh, “Tapi kan, budaya mereka enggak sama dengan kita. Coba dengar kalau mereka ngomong, bahasa mereka kan lucu banget? Secara pribadi, buat saya sih gak ada masalah, tapi… ah, bagaimanapun Sunda dan Jawa enggak pernah sama, sampai kapanpun…”
“Kalau bicara soal perbedaan, faktanya kamu laki-laki dan saya perempuan, padahal jelas-jelas kita berbeda, iya kan?”
“Kalau kita kan, karena sama-sama saling cinta?”
“Oya?” kata si istri tak acuh. Kini ia mencuci dengan lebih cepat lagi, tak mau menengok ke arah suaminya.
Sambil mengelap beberapa piring dan mangkok, si suami berujar, “Coba kita buka data statistik, kebanyakan kalau istrinya berasal dari Jawa, sementara suaminya Sunda, biasanya berakhir dengan perceraian.”
“Kalau istrinya non muslim?”
“Sama saja… tapi ah sudahlah, ngapain membahas begituan?”
Istrinya menumpuk cucian yang telah dilap di atas rak dengan cepat sekali. Banyak yang masih berminyak, juga masih tampak sisa-sisa makanan pada beberapa sendok. “Lalu, bagaimana kalau berbeda negara, misalnya si lelaki dari Indonesia, sementara wanitanya dari Arab atau Amerika?” desak istrinya lagi.
“Bagaiamana mungkin orang bisa bersatu dari latar belakang dan warna kulit yang berbeda?”
“Tapi kan mereka sama-sama manusia, seperti halnya Adam dan Hawa?”
Si lelaki merasa gusar. Ia melihat beberapa piring yang masih kotor, kemudian mengambilnya kembali dari rak sambil mencampakkannya ke dalam bak, “Ini masih kotor, kenapa buru-buru ditaruh di atas rak?”
Si istri tersenyum, lalu kembali mengulangi pertanyaannya, “Bukankah mereka sama-sama manusia?”
“Iya, mereka kan berbeda? Tapi kalau soal Adam dan Hawa…”
Air di dalam bak sudah tenang dan berwarna kelabu. Istrinya menunduk. Bibirnya terkatup, menunggu jawaban suaminya. Ia mencemplungkan kedua tangannya, tapi tiba-tiba jemarinya tertusuk sendok garpu yang tajam. “Aduh!” teriaknya kesakitan.
Ketika diangkat, telunjuk kanannya berdarah. Si lelaki segera menuju kamar untuk mengambil obat. Ketika kembali, istrinya sedang bersandar ke tembok, masih memegangi tangan. Lelaki itu mengangkat tangan istrinya dan mengoleskan kapas pada jemari perempuan itu. Pendarahannya telah berhenti. Dia menekan telunjuknya untuk mengetahui seberapa dalam lukanya. Setetes darah menggenang, bergetar dalam warnanya yang terang, lalu jatuh ke lantai. Ia memborehi lukanya dengan betadine, menutupnya dengan kapas dan melingkarinya dengan plester.
Si suami berharap istrinya menghargai betapa sigap dirinya dalam mengobati sang istri. Alangkah baiknya jika perempuan itu menyudahi ocehannya soal pernikahan beda suku dan agama. Bahkan, ketika percakapan sudah memasuki perbedaan antar partai politik, cebong dan kampret, maka perbincangan jadi ngalor-ngidul, njelimet, dan malah semakin menjurus pada kegaduhan.
“Oke cukup-cukup, hanya luka sedikit. Biarlah saya yang menaruh kapas dan betadine ini.”
Lelaki itu mulai mengelap peralatan makan satu persatu, meski ia menaruh perhatian khusus pada beberapa sendok garpu.
“Jadi,” kata istrinya ketika kembali ke dapur, “apakah kamu mau menikahi saya seandainya saya ini orang Jawa?”
“Ya ampun… sebaiknya kamu istirahat saja di kamar, Yang?” tegur sang suami lirih.
“Lho? Maksud saya, kalau seandainya saya ini orang Jawa atau orang Amerika, apakah kamu mau menikah dengan saya?”
“Orang Amerika enggak mungkin wajahnya seperti kamu.”
Si istri menerka-nerka arah pembicaraan suaminya, apakah perkataannya itu merupakan sindiran atau justru menyanjung. “Tapi kalau saya orang Jawa, dan wajahnya sama seperti ini?”
Si lelaki terdiam, berhenti mengelap piring. “Kalau kamu orang Jawa, kemungkinan kita enggak ketemu, Yang? Karena, kamu punya teman-teman Jawa, dan saya punya teman-teman Sunda. Satu-satunya perempuan Jawa di kantor saya adalah Sunarti, sebagai kepala bagian. Dan saya baru kenal dia setelah kita tiga tahun menikah.”
“Tapi bagaimana kalau kita saling ketemu, sementara saya berasal dari Jawa?”
“Kemungkinan kamu akan berpacaran dengan lelaki sesama Jawa juga.” Dia membanting lap di atas meja dengan kesal. Si istri menarik nafas panjang, melihat kekesalan sang suami dengan tatapan menerawang.
Si lelaki melangkah cepat-cepat menuju ruang depan lalu duduk di sofa. Tak berapa lama, istrinya menyusul dan mengambil posisi di sebelahnya. “Maksud saya begini,” ketusnya lagi, “misalnya saya orang Jawa, dan saya enggak punya hubungan apa-apa dengan lelaki Jawa, apakah kita bisa bersama dan saling jatuh cinta?”
“Aduuh, plis dong ah!” si suami mendengkus kesal, sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Sepintas ia menatap istrinya. Perempuan itu mengamatinya dengan tatapan berkaca-kaca. “Jadi begini, misalnya saya orang Amerika dan berkulit putih, apakah kamu mau menikahi saya?”
“Kalau kamu orang Amerika, tentu wajahmu akan beda… termasuk warna kulitmu juga.”
“Iya, saya ngerti,” kata istrinya, “tapi kalau saya Jawa, tentu warna kulit kita sama?”
“Tapi latar belakang budaya akan beda.”
“Juga bahasa?”
“Ya, tentu saja… bahasa kamu akan lucu…”
“Kok lucu? Tapi menurut orang Jawa, justru bahasa kita yang lucu?”
“Ya sudahlah, bagaimanapun Jawa adalah suku terbesar di negeri ini,” kata si suami menurunkan nada suaranya. “Tapi, Sunda juga tergolong terbesar kedua, kan?” tambahnya lagi.
Mereka saling diam, si lelaki mengambil bantal sofa dan memeluknya, matanya melotot ke arah foto pernikahan mereka dulu. Kemudian kata si istri menandaskan, “Buktinya, presiden pertama kita dari Jawa.”
“Tapi Soeharto juga Jawa?”
“Dan presiden-presiden berikutnya juga dari Jawa…”
“Habibie bukan?”
“Tapi Gus Dur, SBY, Jokowi… semuanya Jawa…”
“Ma’ruf Amin dari Banten?”
“Tapi Jawa Banten, iya kan?”
“Kalau Megawati?”
“Jawa-Bali… ya, sama juga, ada Jawanya.”
Mereka saling membisu. Si istri pergi ke dapur, dan suaminya mengira urusan sudah selesai, hingga ia dapat bernafas lega. Tak lama kemudian, si istri muncul lagi sambil membawa dua gelas teh manis hangat. Ia menaruh dua gelas itu di atas meja. Sambil menghirup teh, si istri kembali menghadap ke arah suaminya, “Jadi, kalau seandainya saya seperti Megawati dan Jawa… lalu kita saling jatuh cinta… apakah kamu mau menikahi saya?”
“Tuuh kan kumat lagi? Plis dong ah!”
“Ayo jawab terus terang,” pancing sang istri.
“Kalau badanmu seperti Megawati, mungkin akan saya suruh diet,” canda si suami sambil memoncongkan mulutnya.
“Tapi biarpun gemuk, yang penting kan presiden RI?”
“Iya, presiden yang jari-jarinya terluka gara-gara sendok garpu,” candanya lagi sambil tersenyum.
“Jangan bercanda dong, ini serius,” si istri menegur suaminya sambil memukul bahunya dengan bantal, “maksud saya, kalau wajah dan fisik saya tetap seperti ini, tapi bahasa saya Jawa, dan budaya saya juga Jawa…”
“Terus?”
“Kalau kondisinya seperti itu, berarti kamu enggak bakal menikahi saya, iya kan?”
Lelaki itu berpikir keras dengan dahi mengerut, “Enggak tahu… mungkin saja,” jawabnya ragu.
“Bilang, kamu enggak bakal nikahi saya walaupun kita saling jatuh cinta, iya kan?”
“Hmm.”
“Bilang, iya atau enggak?” rajuknya lagi.
“Entar dulu, saya lagi mikir nih…”
“Jangan entar-entar, jawab sekarang, iya atau enggak?” desaknya lagi.
“Sabar dulu dong, kamu itu kayak wartawan aja.”
“Ayo bilang, iya apa enggak?”
“Iya,” katanya sambil menggaruk tengkuk dan menghembuskan nafasnya.
“Baik, kalau begitu…”
“Baik apanya?”
“Sudah cukup, terimakasih.”
Si istri ngeloyor pergi sambil mengangkat kedua tangannya. Ia masuk kamar sambil rebahan dan membuka-buka majalah. Ia membuka halaman demi halaman, tapi tidak menyentakkan kertas sebagaimana lelaki itu membanting lap di atas meja tadi. Pelan-pelan ia membolak-balik halaman, seakan tengah mempelajari dan menelusuri setiap kata dan kalimat. Perempuan itu seakan mempertunjukkan ketidakacuhan pada suaminya. Akibatnya, sebagaimana yang perempuan itu harapkan, lelaki itu pun terdiam dan merasa tersakiti.
Tidak ada pilihan bagi sang suami selain menjaga ego dan harga diri kelelakiannya. Daripada harus bertengkar gara-gara Megawati, Jokowi dan orang Jawa, lebih baik ia menyibukkan diri dengan mengepel seluruh lantai dari ruang depan, tengah hingga dapur. Selesai mengerjakannya, seluruh lantai jadi bersih kinclong, seperti pertama kali ia melihat lantai rumah itu, setelah beberapa minggu menikah dan menjadi pengantin baru dulu.
Lelaki itu mengambil keranjang sampah, lalu pergi keluar dan membuangnya di tong sampah. Malam begitu cerah hingga dia melihat beberapa bintang di langit timur, dalam cahaya kota yang mulai mempersolek diri dengan jalanan beraspal dan taman kota yang asri. Di Rangkasbitung, lalu lintasnya cukup lancar, setenang bukit-bukit dan aliran-aliran sungai di bawah kaki Gunung Pulosari. Dia merasa malu karena telah membiarkan dirinya terseret ke dalam arus pertengkaran dengan istrinya. Dalam lima tahun pernikahannya tentu dia mendambakan seorang anak, tetapi barangkali Tuhan belum mengizinkannya.
Suatu kali, istrinya pernah bertanya, kenapa kita belum diizinkan Tuhan untuk memiliki momongan? Apakah kita ini termasuk rumah-tangga yang belum pantas dianugerahi amanat untuk mengasuh anak?
Suaminya tidak menjawab. Karena menurutnya, Tuhan selalu bekerja dengan cara-cara misterius, yang membuat manusia kadang merasa kesulitan menjawabnya secara pasti. “Jangan bicara soal kepastian mengenai rencana Tuhan, karena Dia bekerja dengan cara-Nya sendiri, dan kadang sulit terjamah oleh pikiran rasional kita,” demikian nasihat suami pada sang istri.
Dia melihat kucing manis mengais-ngais sampah di pekarangan. Kucing itu berguling-guling di sekitar tong sampah. Ia memungut sesuatu pada mulutnya seraya menikmati seleranya. Binatang itu mengeluarkan suara menggeram, dan sorot matanya melotot tajam. Dia tidak paham apa yang sedang dipikirkan si kucing, juga tak pernah memahami gerak-gerik dan ekspresi para binatang. Seketika, kucing itu melompat-lompat, meliuk-liukkan tubuh dan merentangkan kaki depannya dengan manja. Biasanya dia memungut kerikil dan melemparakannya agar menjauhi tong sampah. Tapi kali ini, ia hanya mengamatinya dan membiarkan si kucing rebahan di atas sampah.
Lampu ruang tamu sudah dimatikan saat dia kembali ke dalam. Istrinya berada di kamar mandi. Lelaki itu berdiri di sisi luar pintu dan memanggil perempuan itu. Si istri melangkah pelan-pelan menuju tempat tidur.
“Yang, saya minta maaf, ya?” katanya sambil duduk di sisi ranjang.
“Minta maaf untuk apa?” tanya istrinya sambil tersenyum.
“Soal yang tadi?”
“Yang tadi apa?” tanya istrinya lagi.
“Lho? Jadi, kamu enggak marah ya?”
“Marah kenapa?” Si istri tertawa cekikikan sambil menarik tangan suaminya ke tempat tidur. Mereka saling menanggalkan pakaian, bercumbu mesra, dan bersenggama dalam waktu yang cukup lama.
Satu jam kemudian, si istri mengelap keringat pada wajah dan leher suaminya yang mengucur deras membasahi bantal. Ia bangkit dari tempat tidur seraya menyalakan lampu kamar. Ia menuju dapur, menyeduh dua gelas susu, serta mengambil dua bungkus roti dan sosis dari dalam kulkas. Sesampainya di kamar, si suami bangkit dalam posisi duduk.
“Untuk sosisnya, apakah mau pake garpu atau tidak?” tawar istrinya.
“Engak usah ah, masih enak pake tangan aja,” jawab sang suami sambil mengerling. Ia mencomot sosis dari piring, dan mendorongnya dengan susu segar yang disediakan istrinya.
Luka pada jari istrinya belum mengering, tapi ia tak merasakan sakit sedikit pun. Suaminya mengangkat tangan istrinya, kemudian mencium telapak dan jari telunjuknya yang masih dilingkari plester.
Susu pada gelas mereka tinggal setengah. Si istri menatap sendu ke wajah sang suami, lalu pancingnya lagi, “Jadi, bagaimana menurut pendapatmu?”
“Apanya?” tanya si suami terseksiap.
“Mengenai Megawati tadi.”
“Kenapa, Yang?”
“Kalau seandainya saya Megawati, apakah kamu mau menikahi saya?”
“Tuh kan, kumat lagi….”
Si suami segera mengamit selimut, dan merebahkan istrinya dengan paksa di tempat tidur. Mereka saling bergulingan dan berjumpalitan dengan amat sengit, hingga kokok ayam bertalu-talu menyongsong azan subuh. Ketika sinar mentari mulai manampak, suami-istri itu bergotong-royong menjemur kasur di halaman rumah, bagaikan dua orang pengungsi yang terdampak banjir bandang. ***