KABARMADURA.ID | Sekelompok orang itu membentuk barisan berhadap-hadapan. Pada saat mereka melakukan syarafal anam, salah satu orang keluar membawa bayi untuk dikelinglingkan ke semua orang yang hadir saat itu. Kejadian itu berlokasi di Kampung Lembung Dusun Nangger Desa Plakaran Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang.
FAUZI, SAMPANG
Mereka menyebutkan diri sebagai kelompok Tanian Lembung. Saat itu yang menghadiri ritual nemmung atau temmung bheji’, merupakan warga yang ada di di kampung itu.
“Nemmung bheji’ harus tetap dilaksanakan. Sebab ritual ini merupakan adat yang ada di Tanian Lembung sejak dulu,” ucap salah satu sesepuh Tanian Lembung, Moh. Raji.
Hal itu dia tegaskan karena situasi saat ini sudah tidak bisa dikondisikan. Yakni, banyak para pemuda yang belum paham tata cara ritual nemmong bheji’. Penyebabnya, karena para pemuda di kampung itu sudah terbius oleh pengaruh modernisasi.
“Saya pernah bertanya kepada pemuda terkait tatat cara nemmong bheji’ ini. Mereka banyak tidak faham,” ungkapnya.
Sehingga dia khawatir budaya nemmong bheji’ itu punah nantinya. Maka dari itu, ia acap kali mengingatkan warga yang memiliki bayi berumur 40 hari agar melakukan budaya tersebut.
“Meski saya bukan kiai setempat, tetapi saya mengingatkan warga,” sambungnya.
Hal itu dilakukan agar ada contoh kepada para pemuda Tanian Lembung, agar menghindari kepunahan budaya, kelak. Tentunya, acara semacam itu, perlu juga mengundang para pemuda yang ada.
“Kami para tetuah Tanian Lembung selalu berdiskusi terkait adanya budaya-budaya yang ada. Yakni, berjuang agar budaya itu diketahui oleh pemuda,” lanjutnya.
Sebab, ia lanjut bercerita, saat ini budaya yang ada di Tanian Lembung sudah banyak hilang, atau tidak dilestarikan. Seperti, ngembhen mantan, tombek aleler, aghutta kepatean, dan banyak lagi yang sudah hilang di Tanian Lembung ini.
“Maka dari itu, kami para sesepuh Tanian Lembung berusaha mempertahankan budaya nemmung bheji’ ini,” katanya.
Terkait tata cara nemmung bheji’, ia menjelaskan, ada beberapa hal. Di antaranya, pada saat syarafal anam, tuan rumah atau warga yang memiliki bayi berumur 40 hari, mengeluarkan sang bayi untuk dikelilingkan atau di perlihatkan kepada warga.
“Bayi yang dikeluarkan itu, ditidurkan di atas geddeng atau nampan. Di samping bayi itu, harus ada bedak. Nantinya saat dikelilingkan, para warga yang melihat akan mengoleskan bedak itu ke pipi sang bayi,” jalasnya.
Pihaknya berharap, perjuangan perjuangan mereka tidak sia-sia. Artinya, generasi penerus melestarikan budaya tersebut hingga akhir hayat.
“Mudah-mudahan para pemuda kami meneruskan budaya ini, amin,” pungkasnya.
Redaktur: Muhammad Aufal Fresky