Bakat Misterius Seorang Penulis Mefisto

“Manusia hiper-modern memiliki konsep tentang orang terkaya yang sanggup membeli dunia, tetapi dalam ajaran Islam terdapat prinsip ‘qanaah’ yang dimiliki seorang muslim yang baik, ketika seluruh dunia justru tidak sanggup membeli dirinya.” (Hafis Azhari, penulis novel Perasaan Orang Banten)

Bermedia Sosial Tanpa Banal 

Media sosial membawa kemudahan hidup dan renik-renik kesenangan. Ada kebebasan berekspresi sembari memamerkan diri perihal capaian karier, keberpunyaan materi, dan  berlibur di luar negeri.

Sebuah Maha Karya 

Makhluk-makhluk asing tak kasat mata, begitu mudahnya menebar penyakit ke mana-mana. Ketika mereka menyentuh satu dan sekelompok masyakarat, mereka akan melangkah dan merayap dengan pasti, serta menggerogoti para korbannya tanpa pandang bulu. Dari kalangan pejabat, buruh, pedagang, mahasiswa hingga anak-anak sekalipun ikut juga menjadi mangsanya.

Beda Suku dan Agama

Pernikahan mereka sudah berjalan hampir lima tahun, namun suami-istri itu belum juga dikaruniai anak. Mereka sedang mencuci piring bersama-sama. Istrinya yang mencuci sedangkan sang suami yang membilasi cucian. Tidak seperti kebanyakan lelaki yang enggan menyingsingkan lengan bajunya untuk pekerjaan rumah. Kadang teman-temannya menyatakan simpati, bahwa ia memiliki seorang suami yang setia. Membantu mencuci piring, bahkan menyeterika pakaian. Hal itu jarang dilakukan suami-suami untuk sekadar menunjukkan pengertian dan kesetiaan pada istrinya.

Bang Topa Mengaku Imam Mahdi

Sulit dibuktikan apakah Bang Topa itu orang waras ataukah orang sinting dan senewen. Sebagian masyarakat menjauhinya, tapi sebagian lain menganggap wajar dan biasa-biasa saja. Dia asli kelahiran kampung Jombang Wetan, Banten, dengan nama tertera di KTP, Ahmad Mustofa. Tetapi, karena kesulitan mengeja atau menyebutkan nama yang cenderung kearab-araban, orang-orang memanggilnya lebih singkat dan simpel saja, yakni Topa. Sedangkan mereka yang lebih muda dari usianya seperti saya, biasa memanggilnya dengan sebutan “Bang Topa”.

Politik Bahasa Ibu

Sejak abad ke-17 hingga abad ke-19,  politik bahasa pemerintah kolonial begitu superior. Ini menjadi musabab terjadinya polemik dalam lingkaran kekuasaan Belanda. Sikap pemerintah Hindia berbeda dengan gaya imperialisme Portugis, Spanyol, Inggris, dan Prancis yang memaksakan bahasa mereka di tanah jajahan. Persoalan ini dijelaskan dalam Bahasa Melayu Indis: Politik Bahasa Kolonial Belanda Sampai 1901 karya John Hoffman. Buku tersebut merupakan riwayat muasal kelahiran bahasa Melayu dari rahim Hindia-Belanda.

Tidak Ada Lagi Postingan yang Tersedia.

Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.