Oleh: Muakhor Zakaria*
“Bermazhab dan berakidah itu identik dengan berpikir dan berfilsafat. Mayoritas muslim Indonesia mengaku bermazhab Syafi’i dan berakidah Asy’ariyah, tanpa pernah mengenal (diperkenalkan) siapa itu Imam Syafi’i, dan siapa itu Abu Hasan al-Asy’ari.” (Hafis Azhari, penulis novel “Pikiran Orang Indonesia”)
Imam As-Syafi’i menikah di usia 30-an dengan seorang wanita cantik yang merupakan cicit dari khalifah ketiga Utsman bin Affan. Nama istrinya adalah Hamdah binti Nafi’ bin Anbasah bin Amr bin Utsman bin Affan. Dari pernikahannya dengan Hamdah, ia dikaruniai tiga orang anak, satu putra dan dua putri. Selain itu, ia pun menikahi istrinya yang kedua, seorang wanita bekas budak, dan dikaruniai seorang putera bernama Abu al-Hasan Muhammad.
Di usianya yang ke-7, Syafi’i sudah mampu menghafal Alquran, kemudian ia dibawa ke perkampungan Bani Huzail untuk mempelajari sastra Arab dan fiqih. Ia kemudian berguru pada seorang ulama besar Mekah bernama Imam Muslim bin Khalid az-Zanji. Di usianya yang ke-10, Syafi’i sudah hafal kitab Al-Muwatha karya Imam Malik. Bahkan, di usianya yang ke-15, telah diizinkan oleh para ulama (mufti) untuk memberi fatwa di Masjidil Haram, Makkah al-Mukarromah.
Ketika beranjak dewasa, Imam Syafi’i punya keinginan untuk mengenal dan belajar langsung kepada pengarang kitab Al-Muwatha, yakni Imam Malik bin Anas. Niatan itu didukung oleh gurunya, hingga Gubernur Mekah akhirnya membuatkan surat pengantar yang dialamatkan kepada Gubernur Madinah agar memfasilitasi keperluan Imam Syafi’i.
Pada mulanya, Imam Malik merasa keberatan dengan adanya pengantar dari pihak pemerintah dalam urusan menuntut ilmu. Namun, ia tak menolak kehadiran Syafi’i yang mengemukakan maksud kedatangannya menuntut ilmu. Setelah Imam Malik mengetahui ia sudah hafal Alquran, bahkan hafal kitab yang ditulis sang guru (Al-Muwatha), seketika itu Imam Malik menjadi kagum dan geleng-geleng kepala.
Kurang lebih satu tahun Imam Syafi’i tinggal bersama Imam Malik bin Anas, hingga akhirnya ia terobsesi untuk mendalami ilmu fiqih, lalu mendapat izin dari Imam Malik untuk menempuh perjalanan menuju Baghdad (Irak) guna menemui Imam Muhammad Al-Hasan, murid dari Imam Abu Hanifah. Ia banyak mempelajari kitab-kitab Muhammad Al-Hasan dan Abu Yusuf, serta mendiskusikannya bersama kedua penulis dari mazhab Hanafi tersebut.
Sekitar dua tahun berdiam di Irak, Imam Syafi’i meneruskan pengembaraannya ke Persia, Anatolia, Hirah, Palestina, dan Ramalah. Di setiap kota yang dikunjungi, tak lupa ia mengunjungi ulama-ulama yang tak jauh dari tempatnya menuntut ilmu. Ia pun banyak berdialog perihal agama dan kebudayaan setempat (local wisdom).
Ketika berada di Mesir, Imam Syafi’i bahkan berguru pada ulama wanita, khususnya Sayyidah Nafisah. Di negeri itu, ia banyak menulis fatwa-fatwa baru (qaul jadid) sambil terus mengajar dan mendidik murid-muridnya di sekitar masjid Amr bin Ash.
Murid Imam Syafi’i
Banyak murid Imam Syafi’i yang sangat piawai dan masyhur selevel dengan gurunya. Di antara murid-muridnya sewaktu ia mengajar di Baghdad adalah Ahmad bin Muhammad al-Asyari, Abu Tsur al-Kalbi dan Abul Hasan Al-Sabah. Di antara murid-muridnya sewaktu mengajar di Iran dan Irak adalah Ahmad bin Hanbal, Dawud bin al-Zahiri, hingga Abu Jafar al-Thabari. Sewaktu ia mengajar di Mesir, di antara murid-muridnya adalah Abdullah bin Zubair al-Humaidi, Abu Ya’kub Yusub Ibnu Yahya Al-Buwaithi, Al-Rabi’in bin Sulaiman Al-Muradi, hingga Yunus bin Abdil A’la dan banyak lagi yang lainnya.
Sekitar tahun 200 Hijriah, ketika terbebas dari tuntutan pemerintah Harun ar-Rasyid, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi gubernur Mesir. Selaku gubernur baru, Abbas segera mengajak Imam Syafi’i ikut ke Mesir untuk dijadikan qadly sekaligus mufti di sana. Akhirnya, ia tinggal di Mesir bersama sang Gubernur.
Sejak saat itulah, ia mulai menyusun sistematika, merumuskan serta mengkodifikasikan ilmu Ushul Fiqih, melalui kitab terbarunya, Ar-Risalah. Ia menerangkan cara-cara pengambilan hukum (istinbat) dari Alquran dan Hadist, menerangkan mukashis nash yang mujmal, men-tarjih nash-nash yang secara zahir saling bertentangan, menerangkan kehujahan ijma’, qiyas dan seterusnya. Ia juga melakukan penilaian terhadap metode istihsan Imam Abu Hanifah, metode maslahah mursalah Imam Malik dan praktek penduduk Madinah yang dipakai oleh Imam Malik.
Nasab Imam Syafi’i
Kelahiran Imam Syafi’i di Jalur Gaza pada 150 Hijriah (767 Masehi) bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Bahkan, ada sejarawan yang menulis malam kelahirannya persis dengan malam wafatnya Abu Hanifah. Nama lengkapnya Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’, kemudian bertemu dengan nasab Rasulullah pada buyutnya Abdu Manaf. Sejak masih kanak-kanak, ayahnya meninggal dunia, kemudian ia tumbuh dewasa oleh asuhan ibunya, setelah berpindah dari Gaza menuju Mekah.
Imam Syafi’i wafat pada malam Jumat menjelang subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 Hijriah (809 Masehi). Ketika wafatnya, kesedihan melanda masyarakat Mesir, dan para tetangga berbondong-bondong mendatangi kediamannya untuk turut andil mengangkat dan mengantarkan jenazahnya hingga ke pemakaman.
Sejumlah ulama pergi menemui seorang wali di Mesir, yaitu Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam, agar memandikan Imam Syafi’i sesuai wasiatnya. Al-Hakam menyatakan kepada hadirin, jika Imam Syafi’i wafat dengan meninggalkan hutang, maka ia akan bersedia melunasi hutang-hutangnya saat itu juga.
Jenazah Imam Syafi’i dibawa dari rumahnya menuju jalan al-Fustath, melewati pasar hingga sampai ke daerah Darbi as-Siba (sekarang jalan Sayyidah an-Nafisah). Saat itu, Sayyidah Nafisah meminta untuk memasukkan jenazah Imam Syafi’i ke rumahnya, seraya mendoakannya. Jenazah kemudian dibawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam. Di sanalah tempat dikebumikan jenazahnya yang kelak di kemudian hari dikenal dengan sebutan “Turbah As-Syafi’i”.
Penduduk Mesir terus-menerus menziarahi makam sang Imam selama 40 hari 40 malam. Di samping pemakamannya kemudian dibangun masjid besar yang dinamakan “Masjid As-Syafi’i”. Sampai sekarang, masjid itu terus dikunjungi para peziarah dari penjuru dunia, untuk melakukan salat dan mendoakan Imam Syafi’i.(*)
*) Penulis merupakan dosen di Perguruan Tinggi La Tansa, Rangkasbitung, Banten Selatan.