Oleh: Taufik Hasyim*)
Sejak beberapa minggu lalu, banyak pertanyaan masuk ke saya baik melalui telpon atau tulisan WhatsApp (WA).
Mengapa KH Imaduddin ditolak? Dulu Gus Muwaffiq ditolak dan KH Makruf Amin dihadang, sedangkan penceramah Si A, dan Si B tidak ditolak?
Dalam benak saya juga timbul pertanyaan itu dan sampai saat ini saya belum menemukan jawaban yang bisa diterima, baik oleh akal maupun oleh nalar keagamaan.
Jika kita memaknai penceramah atau da’i adalah orang yang berdakwah mengajak umat untuk patuh menjalankan perintah Allah dan perintah Rasulullah serta menjauhi larangan Allah dan larangan Rasululllah.
Tentunya dia harus paham tentang hukum-hukum syariat dan bisa menyampaikan hukum-hukum itu kepada umat melalui berbagai cara, baik melalui pengajian di pesantren, madrasah, majlis ta’lim maupun di mimbar pengajian yang diadakan oleh masyarakat.
Berbeda dengan kampanye politik yang tidak mengharuskan oratornya paham dalam ilmu agama.
Namun akhir-akhir ini, di Madura sering terjadi penolakan terhadap penceramah tertentu untuk tidak datang ke Madura, dengan alasan yang kurang jelas.
Hal ini membuat saya sebagai orang awam tidak paham apa syarat dan kualifikasi seorang penceramah ditolak atau diterima di Madura ketika tebang pilih dalam menerima atau menolak seseorang.
Jika kualifikasinya seorang penceramah harus diterima dan ditolak adalah keilmuan, mengapa seorang yang ilmu agamanya diragukan dan menafsiri al-Qur’an seenaknya (menafsiri hewan sebagai ulama, misalnya) bisa diterima? Namun jika di luar kelompoknya meskipun keilmuan dan sanad ilmunya jelas, mengapa ditolak?
Lalu, jika syarat dan kualifikasi penceramah ditolak dan diterima adalah uswah, mengapa penceramah yang materi ceramahnya tidak jelas, caci maki dan ujaran kebencian diterima, padahal kita tahu bahwa Rasulullah SAW tidak pernah mencaci dan selalu santun dalam berdakwah, sedangkan penceramah yang santun dan penuh ilmiah ditolak?
Jika melihat tujuan mengundang da’i itu untuk mengajak umat agar takwa pada Allah, mengajak persatuan, mengajak perdamaian, lantas mengapa yang terjadi sebaliknya? Hal ini tentunya menjadi pertanyaan di benak orang orang yang berpikir jernih dan objektif.
Sebagai hamba Allah, manusia seharusnya rendah diri, merasa hina di sisi Allah. Sebab, hanya Allah-lah yang satu-satunya Tuhan pemilik alam semesta jagad raya ini. Hanya Dia yang berhak mengatur alam dan isinya, bukan manusia yang posisinya sebagai hamba.
Allah yang akan memberi hidayah pada siapapun yang dikehendaki dan Allah juga yang akan menyiksa siapapun yang dikehendaki.
Manusia hanya ditugaskan oleh Allah untuk menyampaikan (tabligh) risalah ketauhidan dan hukum syariat.
Manusia tidak diperintah untuk menghukum, mengkafirkan, menilai dan memunafikan hamba lainnya.
Imam Syafii, pendiri Madzhab Syafii mensunnahkan doa Qunut waktu salat Subuh, Imam Hambali tidak men-sunnahkan doa Qunut waktu salat Subuh. Namun, keduanya saling menghargai dan pengikutnya tidak saling menolak.
Kita perlu meniru para ulama terdahulu, selama perbedaan itu bukan masalah Ushul yang mengakibatkan fatalnya keimanan seseorang, sudah selayaknya saling menghormati, sebab sebagai sesama hamba kita sedang ber-ijtihad mecari jalan menuju ridla-Nya.
Bukankah Nabi bersabda, bahwa “Barang siapa ber-ijtihad dan benar, maka akan mendapat dua pahala, dan jika salah, akan mendapatkan satu pahala.”
Kami akan berdakwah, berjalan sesuai ijtihad kami dan ijtihad guru kami. Silakan kalian berdakwah sesuai dengan jalan kalian. Mari berjalan bersama-sama menuju ridla-nya sesuai ijtihad kita masing-masing, sebab tidak ada jaminan tentang ijtihad siapa yang benar di mata Allah.
Perbuatan kita, amal kita, bahkan kebaikan kita-pun berasal dari-Nya.
Allahu Musta’an.
*) Ketua PCNU Pamekasan