Cukuplah Allah sebagai Penolong 

Opini153 views

Oleh: Supadilah Iskandar*)

“Dalam iklim politik modern, Anda akan mengatakan harus ada pihak yang menang dan kalah. Namun, dalam perjuangan Islam, kemenangan politik tak boleh dianggap sesuatu yang final, karena ada perjuangan yang lebih besar untuk menaklukkan hawa nafsu, bersikap rendah-hati serta sanggup memperlakukan yang kalah secara adil dan bijaksana.” (Hafis Azhari, pengarang novel Pikiran Orang Indonesia)

KM10082023
COVER 09 AGUSTUS 2023-1@1x_1
KM07082023
KM03082023

Memang tahun baru Hijriyah bukan diawali sejak peristiwa kelahiran Nabi Muhammad, juga bukan pada peristiwa Fathu Makkah sebagai simbol kemenangan. Ini menunjukkan bahwa hidup ini adalah proses perjuangan untuk meraih yang terbaik dari yang baik, terus-menerus secara simultan. Sementara, pendapat sebagian intelektual kita, seolah-olah umat Islam telah keluar dari tanah kufur menuju tanah Islam (Darussalam), atau keluar dari kesulitan menuju kehidupan yang serba mudah dan instan.

Padahal, sepanjang sejarah kehidupan Rasulullah tak pernah lepas dari langkah yang satu menuju langkah problematika baru yang terus-menerus, baik di Mekah maupun di Madinah. Seusai berhijrah, memang ada keleluasaan untuk bergerak dan merancang agenda, terutama secara moral dan spiritual. Ibnu Atha’ilah as-Sakandari pernah membahas perihal hijrah yang tak lepas dari kekhilafan dan kealpaan menuju muhasabah dan introspeksi diri, bahkan dari masyarakat dan negeri jasmani menuju masyarakat rohani.

Di sisi lain, cukup banyak ulama dan cendekiawan membahas dua tipologi hijrah, yakni perpindahan dari satu tempat ke tempat lain (shugra), dan dari kebiasaan buruk menuju tabiat dan kebiasaan baik (kubro). Dalam peristiwa kemenangan Badar, jelas tercermin ketika Rasulullah menegur para sahabat yang masih minim wawasan, seolah-olah kemenangan pertempuran fisik adalah jihad akbar. Padahal sejatinya, jihad terbesar itu justru kemenangan melawan diri sendiri, atau kesanggupan menaklukkan ego dan hawa nafsu manusia.

Teguran Rasulullah menunjukkan betapa lugu dan polosnya wawasan sebagian sahabat, terutama mereka yang keliru berkesimpulan perihal substansi hijrah. Seolah-olah tempat dan wilayah sebagai poros dan esensinya. Padahal, ada peran utama spiritualitas hijrah, yakni kepercayaan dan keyakinan kepada Yang Transenden dan Maha Pemelihara dan Pemberi pertolongan dan rizki tiada batas (al-Wakil dan ar-Razzaq).

Kita mengenal konsep hijrah yang klasik pernah dilakukan Nabi Ibrahim yang menghijrahkan istrinya, Siti Hajar, di tempat gersang dan kering kerontang. Namun, dengan keyakinan yang mantap pada Kekuasaan Tuhan, ikhtiar yang diperjuangkan (antara Shafa dan Marwa) sampai pula kepada titik sasaran yang dicita-citakannya.

Jadi, esensi utamanya ada pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dan bukan pada soal Sumber Daya Alam (SDA). Perjuangan Siti Hajar yang tanpa mengenal lelah, penuh kesabaran dan percaya pada pertolongan Tuhan, identik dengan upaya-upaya menaklukkan hawa nafsu, serta kegigihan mencapai hasil akhir yang dijanjikan Tuhan. Dengan kualitas SDM yang mumpuni, bahkan di negeri dan wilayah yang tanpa SDA memadai, dapat pula ditaklukkan oleh keyakinan yang bulat pada kekuasaan dan keterlibatan ar-Razzaq, Sang Pemilik, Pemberi dan Penguasa jagat raya, yang kekayaan-Nya sangat melimpah ruah ini.

Baca Juga:  Dikotomi Pendidikan

 

Perjuangan di Madinah

 

Setelah Nabi dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib (Madinah), mereka merancang agenda-agenda baru yang lebih kompleks lagi. Di samping menghadapi orang-orang yang berbeda paham dan kepercayaan, seperti Yahudi, Nasrani dan kelompok lainnya, juga ancaman riil dari kaum kafir Mekah, yang merasa jengkel dan mendendam lantaran obsesi-obsesinya yang belum tercapai.

Hijrah ke Madinah juga tak bisa diartikan sebagai perpindahan dari masyarakat zalim menuju masyarakat berperadaban luhur. Karena dalam perjalanannya kemudian, Rasulullah justru menghadapi orang-orang yang “berbaju Islam” dan tampil di muka masjid, namun perangai dan wataknya begitu menghasut, merongrong dan menelikung dari belakang, yang kelak kemudian disebut “orang-orang munafik”.

Konsep ulama-ulama sufi mengenai hijrah kepada kualitas spiritual tinggi, sudah dijalani bertahun-tahun pada pematangan dan pendewasaan kepribadian Nabi, termasuk para sahabat yang setia dan istiqomah dalam misi perjuangan. Hijrah mengenal Allah yang dilakoni para sufi, tergolong kualitas spiritual khusus bagi mereka yang mampu menangkap esensi dari massage Nur MuhammadMeskipun, Rasulullah juga merangkul dan memaklumi mereka yang kapasitasnya baru di tingkat kasat-mata, termasuk kalangan masyarakat Baduy Arab, yang rela memihak kelompoknya.

Dalam soal ritual sekalipun, Nabi tidak menekankan agar para sahabat melihat dan mencontoh kualitas ibadahnya yang tinggi, namun beliau hanya menyatakan Shallu kama ra’aitumuni ushalli.” Solatlah sebagaimana kalian melihat aku melakukan solat. Nabi tidak menekankan mereka agar melakukan solat setinggi kualitas ibadah seperti dirinya. Karena, bagaimana pula orang-orang tradisional Baduy melakukan aktivitas ritual yang derajat dan kualitasnya sudah sampai pada maqam hakikat hingga makrifat?

Ketika orang-orang suku Baduy Arab bertanya, “Ya, Rasulullah, apakah kami ini sudah tergolong hamba-hamba yang beriman?” Maka, Rasul pun menanggapi mereka sebagai golongan yang baru mencapai tataran berserah diri (Islam) dan menaati aturan syariah. Sebab, kualitas keimanan yang luhur memang membutuhkan ilmu dan wawasan universal dalam menghayati hidup keberagamaan, bukan semata-mata lokal, harfiah, dan tekstual semata. 

Menghadapi ujian berat

Berbagai ujian dan cobaan berat yang menghadang, serta kepergian orang-orang yang dicintai seperti Khadijah sang istri dan Abu Thalib, paman yang mengasuh dan melindunginya, membuat Rasulullah berada di puncak kemalangan dan kepedihan hidup. Dalam kesendiriannya, seakan tak ada tumpuan harapan yang bisa dijadikan pegangan, kecuali Yang Maha Perkasa dan Maha Penolong yang sejati, “Ya Tuhan (Rabb), jadilah permulaan perjuangan ini karena ridha dari-Mu, dan jikapun harus keluar dari semua ini, maka keluarkan aku di dalam ridha-Mu. Berikan dari sisi-Mu kekuatan yang memberi pertolongan.” (al-Isra:80).

Dalam situasi getir dirundung duka nestapa, maka konsep Jabariyah tentang kemaksuman Nabi sebagai manusia pilihan, atau “manusia utusan” yang bertindak semata-mata hanya kehendak Tuhan, kini menjadi limbung seakan kehilangan keseimbangan. Mengapa ayat berikutnya tidak juga turun? (pikir Muhammad). Adakah makhluk lain selain Muhammad, dari kalangan malaikat maupun jin, yang dinilai lebih mumpuni ketimbang dirinya, dan layak disebut kekasih Allah? Lalu, apa fungsi para nabi yang diutus sebelumnya, selaku khalifah di muka bumidirinya Dalam terminologi filsafat, seakan para penganut eksistensialisme dapat tertawa nyinyir menikmati kemenangannya.

Baca Juga:  Sekolah Jalanan: Belajar Bukan Sebatas Kertas dan Kelas

Secara manusiawi Muhammad berikhtiar menyelamatkan diri dari kepungan prahara yang bertubi-tubi menyergapnya. Ia berusaha menemui sahabatnya Abu Bakar, serta mengajaknya untuk berangkat mengungsi ke Yatsrib. Abu Bakar sepakat dan segera mempersiapkan kendaraan, menetapkan rute perjalanan, merekrut seorang pengembara, petualang dan penunjuk jalan handal dari Bani Adil.

Pasokan perbekalan dikirim oleh Siti Aisyah dan Asma, juga penyamaran oleh pemuda Ali bin Abi Thalib di kediaman Nabi. Dipantau pula kekuatan dan gerak-gerik kaum Qurays yang berambisi mengejar dan menemukan Muhammad dan Abu Bakar di tempat persembunyiannya. Terutama dari seorang yang bengis dan pantang menyerah seperti Amir dan Fuhairah. Semua usaha yang dilakukan menunjukkan bahwa Muhammad adalah manusia biasa, bukan seorang paranormal atau peramal yang dikasyafkan mengenai apa yang terjadi di kemudian hari.

Ia mempersiapkan strategi dan berpikir keras agar usahanya dapat tercapai. Demikian halnya dengan Abu Bakar yang ketakutan kalau-kalau Muhammad juga terbunuh, sebagaimana banyak nabi dan utusan Tuhan sebelumnya yang mengakhiri hidupnya karena kezaliman dan kesewenangan dari mereka yang menentangnya. Bagaimana kalau kejadian serupa menimpa diri Muhammad?

Makna dari segala ikhtiar dan perjuangan selama perjalanan hijrah yang bersejarah, merupakan pendidikan bagi umat manusia agar selalu berpikir positif dan pantang menyerah dan putus asa dari rahmat Tuhan. Setiap individu maupun kelompok masyarakat harus bisa memahami dan menyadari, bahwa hakikat manusia dalam dunia fana ini selalu dipergilirkan nasib hidupnya, baik di atas maupun di bawah, sehat-sakit, lapang-sempit, bahkan ada saatnya kita akan diuji dengan ketakutan, kekurangan harta-benda, bahkan caci-maki dan penghinaan.

Selama ancaman dan penghinaan itu datangnya dari manusia atau makhluk lainnya, percayalah, yakinlah, bahwa ada kekuatan Yang Maha Menolong, Maha Melindungi, dan Menentramkan batin kita semua. Namun demikian, segala doa dan keyakinan itu mesti selaras dengan usaha dan perjuangan yang optimal agar dapat bebas dan menyelamatkan diri. Kita semua milik Allah, dan jikapun Allah menghendaki kita punah, kita pun harus ikhlas dan ridho untuk berpulang kepada-Nya. Tetapi, kita semua diciptakan untuk hidup, mengada, dan menjalankan tugas sebagai khalifah. Kalau manusia sampai berputus asa dari kasih-sayang Tuhan, maka boleh jadi kematiannya akan menjadi kepunahan yang merugi dan sia-sia belaka.

Konsep inilah yang disebut husnudzan atau positif thinking, yang dulu juga pernah diupayakan oleh sosok perempuan Siti Hajar di tanah kering kerontang (antara bukit Shafa dan Marwa) yang kemudian memancarkan mata air. Juga dialami oleh sang suami Nabi Ibrahim, ketika dihadapkan oleh malapetaka dan peristiwa genting, hingga beliau mengucap doa dengan khusuk: Cukuplah Allah sebagai penolongku, karena Dialah sebaik-baik Pemberi pertolongan.” 

*Pengamat dan penikmat sastra milenial, menulis cerpen dan esai sastra di berbagai media nasional, luring dan daring.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *