Di Balik Prestasi Dakwatul Anisah Jadi Juara Atletik Nasional, Korbankan Segalanya untuk PON Aceh Sebelum Pensiun

News431 views
Banner Iklan

KABARMADURA.ID | Sukses itu butuh proses. Tidak ada yang instan. Begitu pula dengan perjalanan hidup Dakwatul Anisah (31). Untuk menjadi atlet berprestasi tingkat nasional, dia memulai sejak usia belia. Dia dilatih oleh ayahnya sejak duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar (SD).

ALI WAFA, SAMPANG

Berbakti
Kharisma 2

Wanita kelahiran Sampang, 12 Mei 1992 itu akrab dipanggil Anis. Dia seorang atlet Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) tingkat nasional. Namanya kerap tampil sebagai juara di berbagai kejuaraan atletik. Dia bahkan telah dua kali mengikuti Pekan Olahraga Nasional (PON).

Pada pagelaran PON XIX di Jawa Barat (Jabar) tahun 2016 menjadi kali pertamanya mengikuti PON. Prestasi membanggakan diperoleh Anis setelah meraih dua medali, yakni medali emas di nomor lari estafet putri 4×400 meter dan medali perunggu di nomor 400 meter lari gawang putri.

Tidak berhenti di situ, Anis kembali mewakili Jawa Timur di PON XX Papua pada 2021. Namun kala itu, alumnus magister pendidikan olahraga Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu harus puas dengan hanya meraih medali perunggu di nomor lari estafet putri 4×400 meter. Tahun depan, dia akan kembali hadir di PON Aceh.

Baca Juga:  IKBAS Kembali Berbagi dengan Duafa, Fauzi: Sarana Mendekatkan Diri kepada Allah

Tahun 2024 nanti, Anis akan kembali tampil di PON XXI Aceh pada nomor yang sama. PON tahun depan ini akan menjadi PON terakhirnya. Karena di usia 35 tahun nanti dia harus pensiun. Oleh sebab itu, saat ini Anis sedang bekerja keras untuk mewujudkan mimpi terakhirnya.

“Ini akan jadi PON terakhir saya. Karena itu saya latihan sangat keras. Saya ingin karir saya ini ditutup dengan bahagia. Saya berusaha semaksimal mungkin. Bahkan saya korbankan banyak hal,” ungkap ibu satu anak itu, Kamis (25/4/2024).

Untuk meraih mimpi di PON terakhirnya, Anis harus korbankan banyak hal. Selama tiga tahun menjelang PON dia harus latihan keras. Setiap mengikuti training camp (TC) dia harus jauh dari keluarga, terutama anaknya. Dia juga terpaksa harus absen di sekolah tempat dia mengajar.

Anis adalah seorang guru honorer di SMPN 1 Lawang, Kabupaten Malang. Menjadi guru adalah satu caranya untuk menghidupi keluarga. Saat mengikuti pra-PON, dia bisa dua bulan absen mengajar. Namun dia yakin, usaha kerasnya akan membuahkan hasil maksimal.

“Di PON Aceh ini saya korbankan banyak hal. Saya jauh dari anak. Dan sekolah mana sih yang mau mengizinkan guru tidak masuk berbulan-bulan,” imbuhnya.

Kini, Anis tinggal di Kabupaten Malang bersama suami dan anaknya. Suaminya adalah seorang atlet angkat besi. Mereka berdua menikah setahun setelah keduanya mengikuti PON Jabar tahun 2016. Pada PON Papua, mereka berdua kembali tampil bersama dengan status sudah suami istri.

Baca Juga:  DLH Pamekasan Berikan Sanksi Administrasi Terhadap Pengusaha Tahu 

Mereka berdua dipertemukan oleh olahraga. Namun suaminya telah pensiun lebih dulu. Sehingga di PON Aceh nanti, Anis tampil tanpa ditemani suaminya. Namun demikian, keluarga mereka dihidupi oleh olahraga. Karir keduanya sebagai atlet sangat membantu perekonomian mereka.

Saat Anis dipanggil untuk jadi delegasi Jawa Timur dalam setiap PON, maka selama TC dia akan menerima honor setiap bulan. Masa TC umumnya berjalan selama tiga tahun sebelum PON. Setelah PON dan setelah mendapatkan bonus, maka dia tidak akan lagi mendapatkan honor.

Semula, honor itu cukup untuk kebutuhan keluarganya. Karena setiap bulan dia dapat honor Rp7 juta. Namun besaran honor itu hanya dirasakan saat hendak mengikuti PON Jabar dan PON Papua. Sementara honor untuk PON Aceh menyusut. Anis hanya terima honor Rp2 juta setiap bulan.

“Semoga di PON Aceh nanti sukses. Saya ingin menyelesaikan rumah saya di Malang. Lagi bangun rumah soalnya. Kalau setelah pensiun, saya akan lebih banyak dengan keluarga dan mengajar,” tutup Anis.

Redaktur: Moh. Hasanuddin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *