KABARMADURA.ID | Jaman dahulu, penjual jamu menjajakan dagangannya dengan digendong. Bahkan, di dunia internasional, Indonesia identik dengan jamu gendong. Namun, jamu di era modern tidak lagi begitu. Ditempatkan di etalase, kemudian diantarkan dengan motor, bahkan mobil.
ALI WAFA, SAMPANG
Usaha jamu milik Ngatinem (52) itu dirintis sejak tahun 2012. Dia memanfaatkan kekayaan rempah-rempah di lingkungannya. Namun, berbeda dari penjual jamu lainnya, dia enggan menggunakan pengawet dalam produknya. Alasannya demi kesehatan. Karena sejatinya jamu untuk menyehatkan.
Bahkan, meski sudah disarankan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes), ibu satu anak itu tak goyah. Dia tetap berprinsip, bahwa produk yang menggunakan pengawet akan mengurangi kemurnian dan manfaat dari rempah-rempah itu. Alasan lainnya, karena dia sendiri juga meminum jamu itu.
“Saya memproduksi jamu hanya bila ada orderan saja. Karena saya tidak pakai pengawet,” ucapnya.
Sekarang, usahanya mulai berkembang. Bahkan, setiap bulannya berhasil meraup omzet hingga jutaan rupiah. Produknya terbagi menjadi dua jenis. Jamu serbuk dan jamu cair. Karena dia memproduksi berdasar pesanan, sehingga tidak perlu khawatir dagangan rusak karena tidak laku.
Pasarnya sudah tersebar di hampir semua wilayah di Madura. Karena meski hanya menjual jamu, Ngatinem memiliki mindset modern dalam hal pemasaran. Dia menggunakan kemasan dan merek pada produknya. Sehingga, usahanya menjadi usaha yang bisa dipasarkan ke wilayah mana pun.
Memilih jamu bukan tanpa alasan. Sebenarnya usaha itu turun temurun. Namun, dulu orang tuanya hanya menjual rempah-rempah seperti kunyit dan semacamnya. Ngatinem memilih jalan lain dengan mengolah rempah-rempah tersebut menjadi jamu. Asas manfaat menjadi pertimbangannya.
“Karena dengan usaha ini, saya bisa membantu menyehatkan orang lain. Barangkali, selain menjadi sumber rezeki, ini juga menjadi sumber pahala buat saya,” ungkapan.
Redaktur: Moh. Hasanuddin