Pagelaran event yang dilaksanakan Dinas Kebudayaan, Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disbudporapar) Sumenep, nampak jelas hanya sekedar seremonial dan menyelenggarakan kegiatan rutinitas belaka. Tak ubahnya, kegiatan yang digelar hanyalah ‘event onani’. Di mana, acara-acara yang siselenggarakan dianggarkan sendiri, dan dinikmati sendiri.
Misal, event ketupatan beberapa bulan lalu, lomba ketupat diperuntukkan bagi kalangan pejabat tanpa melibatkan masyarakat umum. Maka jelas, kegiatan itu diadakan sendiri, dianggarkan sendiri, hadiahnya untuk kalangan pejabat, dan dinikmati sendiri. Ya, tak ubahnya onani.
Yang terbaru, kegiatan jaran serek, yang juga diprotes penggunaan istilah yang dinilai salah besar dan terkesan serampangan. Tapi biarkan, soal pagelaran jaran serek dibahas pihak lain yang lebih kompeten. Sehingga tidak semakin membuat malu Disbudporapar—yang kemudian—menghadirkan pembelaan ‘jangan syirik’. Karena yang jelas, kegiatan jaran serek pun lagi-lagi tak ubahnya hanya ‘event onani’.
Nampak terlihat, dengan bangganya, Kadisbudporapar bersama para pejabat yang lain naik kuda melambaikan tangan sambil tebar senyum, sementara warganya melihat dari bawah menyaksikan ‘event onani’ ala Disbudporapar.
Maka wajar, Wabup Sumenep saat hadir pada acara ketupatan di Pantai Lombang berharap, supaya perserta lomba adalah masyarakat umum, bukan lagi OPD. Karena mungkin, wabup tidak ingin kegiatan itu dinikmati sendiri.
Ada banyak klaim oleh Disbudporapar yang dibanggakan. Misal, meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke Sumenep, lalu menghadirkan angka-angka. Namun pada kenyataannya, tidak ada yang berubah dengan event yang digelar.
Jangankan mengubah Sumenep jadi jujukan wisatawan nasional maupun luar negeri, mengubah tampilan objek wisata pun tidak bisa. Bisa dlihat, infrastruktur objek wisata, masyarakat sudah bisa menilai jika yang terjadi hanyalah sebatas klaim belaka.
Sekitar tujuh tahun silam, geliat wisata di Sumenep pernah sangat terasa. Banyak desa dan masyarakat berlomba-loma melibatkan diri untuk menjadi bagian mensukseskan keinginan Pemerintah Sumenep. Yakni, banyak bermunculan objek wisata alam dan buatan yang digawangi oleh masyarakat.
Namun, sejumlah wisata yang pernah bergeliat dan semangat luar biasa masyarakat Sumenep saat ini sudah mulai surut. Terbukti, sejumlah objek wisata yang pernah ramai pengunjung, saat ini sudah mulai menemui titik nadir, bahkan tutup. Lihat saja, objek wisata Bukit Tinggi, saat ini sudah gelap.
Lalu, pernahkah Disbudporapar ada keinginan untuk kembali menghidupkan semangat masyarakat untuk menggeliatkan wisata Sumenep, dan kembali menghidupkan objek wisata yang mati suri. Paling tidak, event-event tersebut ditempatkan di objek wisata kondisinya hidup segan, mati tak mau.
Nyatanya, event yang digelar, dilaksanakan di tempat wisata yang sudah pasti ramai pengunjung. Misal, pada event ketupatan, jadi langganan tempatnya adalah Pantai Lombang. Padahal, tanpa event Disbudporapar, pantai legendaris tersebut sudah pasti ramai ketika musim libur hari raya. Maka secara logika, event tersebut hanya menumpang keramaian di Pantai Lombang.
Sangat sayang, anggaran yang mencapai Rp2,8 miliar untuk 104 kegiatan sebagaimana yang tertera di kalender event untuk 2024 jika hanya sebatas acara-acara yang bersifat pura-pura serius.
Katanya, event-event yang digelar sebagai pemantik untuk menarik wisatawan ke Sumenep. Terbukti, jumlah kunjungan wisatawan dikabarkan naik drastis. Tahun 2021 lalu tercatat 225 ribu wisatawan ke Sumenep. Kemudian pada tahun 2022, wisatawan yang berkunjung naik menjadi 1,52 juta. Lalu, di tahun 2023 tercatat 1,55 juta.
Namun semua itu, hanya sebatas angka belaka. Nyatanya, sama sekali tidak ada perubahan di Sumenep. Malah yang ada, objek wisata di Sumenep berguguran. Itu faktanya.
Sementara untuk event yang digelar, hanyalah kegiatan itu-itu saja. Misal, parade musik tong-tong, festival macapat, kerapan sapi, lalu kegiatan festival ketupat di Pantai Lombang. Seakan, Disbudporapar mati ide, dan ‘hilang akal’ untuk menyajikan event yang jauh dari kegiatan sebatas seremonial yang tujuannya terkesan sekedar melaksanakan kegiatan tahunan dan menyakikan SPj di meja bupati dan di depan wakil rakyat.
Kasian bupati dan wabup, hanya menjadi pemotong pita dan kalung melati. Pemimpinnya menjadi ‘korban’ OPD yang menyajikan kegiatan yang malah jadi bahan tertawaan, misal jaran serek.
Anehnya lagi, tiga kontrol dari DPRD Sumenep nampak tidak berjalan dengan baik. Terbukti, pada tahapan pembahasan bersama Komisi IV, kegiatan bersifat ‘onani’ tersebut malah ikut lolos. Kecurigaan kemudian muncul, bahwa wakil rakyatnya juga ikut serta dalam ‘kenikmatan’ di dalamnya.
Fathor Rahman
Kepala Biro Kabar Madura, Sumenep
Isinya hanya Opini wartawan