KABARMADURA.ID | SUMENEP -Meskipun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep turun tangan, polemik pembukaan lahan tambak garam baru tidak menemukan solusi. Langkah Pemkab Sumenep tersebut adalah mempertemukan Badan Pertanahan Nasional (BPN), kepala desa dan warga Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura.
Kepala Dinas Penanaman Modal Perizinan Terpadu Satu Pintu dan Tenaga Kerja (DPMPTSP dan Naker) Sumenep Abd Rahman Riadi, yang memimpin pertemuan tersebut, mengatakan, pihaknya telah berbicara baik-baik dengan masyarakat setempat. Namun belum menemukan rumusan yang bisa menjadi titik akhir dari permasalahan tersebut.
Bahkan, Rahman mengungkapkan, pihaknya menemukan fakta baru melalui forum itu. Kawasan laut Gersik Putih seluas 20 hektare yang akan digarap jadi tambak garam itu sudah memiliki Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), dengan wajib pajak atas nama Mohab, kepala desa yang saat ini menjabat.
“Dari 41 hektare yang akan digarap 21 sudah dikuasai perorangan dengan dasar SHM (sertifikat hak milik). Sementara 20 hektare di luar SHM itu atas nama Kades (Mohab). Sekarang sudah ada SPPT, tapi belum ber-SHM,” jelas Rahman, Selasa (30/5/2023).
Kemudian, dia juga menjelaskan, setelah diklasifikasi terkait atas nama SPPT itu, Mohab berdalih nantinya akan diserahkan ke pemerintah desa untuk dikelola bersama demi kesejahteraan masyarakat.
“Karena menurut Kades Mohab, tidak mungkin diatasnamakan warga satu per satu. Makanya diatasnamakan dirinya, nanti akan diserahkan ke masyarakat,” tambahnya.
Menurut Rahman, hingga saat ini belum ada kesepakatan antara warga yang menolak, penggarap, pemdes, dan pemilik SHM. Untuk itu, pihaknya mendorong pemerintah desa supaya melakukan komunikasi lagi kepada masyarakat mengenai program pembangunan tambak garam tersebut.
”Jadi perlu komunikasi lagi dengan masyarakat supaya kondusif. Apalagi, tadi kades bersedia untuk menyerahkan lahan yang ber-SPPT itu kepada masyarakat,” tegas Rahman.
Namun, ada keterangan berbeda dari perwakilan Pemerintah Desa Gersik Putih, Masdawi. Menurutnya, 21 hektare dari 41 hektare yang akan digarap dikuasai perorangan atas dasar SHM. Sedangkan, sisanya 20 hektare masih berstatus tanah negara.
“Tapi, bukan semuanya SPPT atas nama Kades, hanya 6 hektare. 20 hektare tanah negara termasuk yang SPPT atas nama kades itu yang akan dibagi dengan pihak penggarap dan masyarakat (masing-masing, red) 10 hektare dalam bentuk lahan jadi (dibangun tambak),” dalihnya.
Sementara itu, Koordinator Gerakan Masyarakat Tolak Reklamasi (Gema Aksi) Amirul Mukminin mengaku heran dengan terbitnya SPPT atas objek lahan di kawasan laut dengan atas nama Mohab.
“Ini fakta baru yang kami terima, sangat lucu. Artinya di luar SHM yang sebelumnya ada 4 atau 6 hektare atas nama Mohab, masih ada lahan lain yang juga diproses untuk di-SHM dan sekarang masih SPPT atas nama Mohab,” ujarnya.
Gema Aksi mempertanyakan proses atau mekanisme penerbitan SPPT atas objek lahan di kawasan laut tersebut. Dalam waktu dekat, kata Amir, pihaknya akan mendatangi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) untuk meminta penjelasan mengenai dasar terbitnya SPPT itu.
“Kami menduga ada konspirasi banyak pihak, tidak hanya BPN dan desa. Tapi juga ada pihak lain, termasuk pemkab dalam legalisasi kepemilikan lahan yang awalnya laut menjadi milik perorangan,” tukasnya.
Sekadar diketahui, pihak BPN Sumenep yang juga hadir dalam pertemuan itu memilih bungkam, meski sejumlah media mengejar untuk meminta penjelasan.
Pewarta: Moh. Razin
Redaktur: Sule Sulaiman