Oleh: Sasmito*)
Pemilihan umum (pemilu) merupakan sarana penting bagi publik untuk menentukan pemimpin, wakil rakyat, dan arah negara dalam lima tahun ke depan.
Karena itu, setiap proses tahapan pemilu perlu mendapat pengawasan maksimal dari publik, khususnya media massa. Hal ini untuk memastikan tidak ada kecurangan dalam setiap tahapan yang nantinya dapat merugikan publik.
Sayangnya, independensi perusahaan media dan jurnalis yang diharapkan
menjadi watchdog masih memiliki catatan kritis dalam sejumlah pemilu.
Sebagai contoh pada pemilu 2019, sejumlah pemimpin media terpantau menjadi tim sukses pasangan calon presiden. Akibatnya jurnalis dan pekerja media seperti ‘dipaksa’ untuk membuat berita-berita yang menguntungkan salah satu pasangan calon.
Sebagian jurnalis atau pemimpin media yang maju menjadi calon legislatif juga
tidak mundur dari pekerjaannya. Sejumlah organisasi profesi bahkan menoleransi tindakan ini hanya dengan meminta yang bersangkutan cuti dari pekerjaan. Padahal kondisi ini dapat menimbulkan konflik kepentingan yang tinggi antara jurnalis dengan berita-berita yang dihasilkan.
Tidak hanya itu, sejumlah jurnalis kadangkala terjebak menjadi corong kandidat tertentu karena kurang kritis terhadap lembaga-lembaga survei yang menjamur menjelang pemilu.
Tidak sedikit pula, jurnalis yang membuat berita dari satu lembaga survei tanpa pembanding dari lembaga survei lain. Kondisi ini tentu merugikan publik karena berita yang disajikan masih jauh dari verifikasi atas kebenaran informasi yang diberikan lembaga survei.
Belum lagi tantangan lain seperti maraknya informasi bohong atau hoaks yang beredar di media sosial menjelang pemilu yang dapat menyesatkan publik dalam mengambil keputusan.
Jurnalis sebagai penjaga gawang kebenaran tentu memiliki tanggung jawab dalam menjernihkan informasi di masyarakat. Terutama dalam momentum politik yang akan menentukan arah perjalanan bangsa. Kendati, tanggung jawab ini tidak akan mungkin dilakukan sendiri tanpa kolaborasi dengan masyarakat.
Berangkat dari kondisi tersebut, AJI Indonesia berupaya membuat “Panduan
Peliputan Pemilu 2024 Bagi Jurnalis”. Panduan ini diharapkan dapat memperkuat Kode Etik Jurnalistik yang kurang memberikan penjelasan khusus terkait liputan pemilu.
AJI Indonesia berharap panduan ini dapat diadopsi komunitas pers, melalui Dewan Pers sehingga dapat digunakan seluruh jurnalis di Tanah Air.
Kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun buku yaitu Heru Margianto, Edy Can, UmarIdris, Ahmad Arif, Adi Marsiela, dan Erick Tanjung yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya.
AJI Indonesia juga mengucapkan terima kasih kepada Internews dan USAID yang
telah mendukung pembuatan buku “Panduan Peliputan Pemilu 2024 Bagi Jurnalis”.
Kami berharap kerja sama dengan Internews dan USAID dapat terus
berlangsung dalam upaya memajukan kemerdekaan pers di Indonesia.
*) Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
_________________
Tulisan ini merupakan kata pengantar dalam buku “Panduan Peliputan Pemilu 2024 Bagi Jurnalis”.