Enzen Okta Rifa’i, Lc.: Alumni International University of Africa (Republik Sudan)
“Di zaman Firaun, orang-orang Israel terusir sebagai pesakitan yang terzalimi, tetapi di zaman Schindler’s List, orang-orang Israel disulap secara visual sebagai pihak yang terzalimi, hingga sebagian mesyarakat dunia bersimpati memberi dukungan mereka untuk menzalimi warga Palestina.” (Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia)
Mukjizat biasanya datang kepada pihak yang terzalimi sebagai manifestasi pertolongan Tuhan. Dalam kaitannya dengan problem Israel dan Palestina, kita dapat menelusuri karya-karya sastra dunia, khususnya perihal apa yang seringkali dituangkan oleh sang peraih nobel Abdulrazak Gurnah. Persoalan kampung halaman (homeland) ditelaah secara arif dan bijaksana, hingga tersirat rasa empati pada nilai-nilai kemanusiaan. Menurut Gurnah, ketika kenyamanan diberikan oleh suatu tempat (wilayah), boleh jadi seseorang atau sekelompok orang akan memilih wilayah tersebut sebagai domisili atau tempat kediamannya.
Dalam peradaban Islam dikenal istilah “hijrah”, ketika rasa nyaman yang diberikan Yatsrib (Madinah) memungkinkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya memandang tempat baru sebagai kampung halamannya. Hal ini tak terlepas dari persoalan sense of belonging, hingga identitas seseorang tak bisa dipatok berdasarkan unsur geografis semata. Dengan sendirinya, akan mengandung konsekuensi ketidakjelasan perihal identitas berdasarkan geografis atau tempat kelahirannya.
Dalam novel By the Sea (2002), Gurnah dengan cermat menggambarkan identitas kebangsaan yang tak bisa dipisah-pisahkan berdasarkan warna kulit, apakah hitam, putih maupun cokelat dan sawo matang. Maka, kita pun sampai pada pembicaraan soal Israel. Ada sinyalemen yang dipropagandakan, seakan-akan warga Palestina “memprovokasi” Israel sehingga melakukan tindakan balasan secara militeristik. Noam Chomsky menegaskan bahwa Israel menggunakan argumen “self defence,” pertahanan diri, seolah-olah rakyat Palestina yang bersikap arogan dan anarkis, hingga dibangunlah tembok-tembok perbatasan. Padahal, Israel tak punya hak untuk menganeksasi wilayah-wilayah perbatasan tersebut.
Sebenarnya, masalah Israel dan Palestina – jika dilihat dari kacamata Gurnah – tidaklah kompleks. Ia sesederhana masalah Indonesia yang menganeksasi wilayah Timor Timur dengan kekuatan militerisme, sejak tahun 1975 hingga 1999 lalu. Memang ada kekuatan propaganda Orde Baru yang mengaburkan persoalan itu, tetapi propaganda politik sehebat apapun hanyalah ciptaan manusia yang bersifat fana dan sementara. Demikian pula halnya dengan propaganda militerisme di wilayah Israel dan Palestina.
Israel di tanah Arab
Sejak berdirinya (1948), negeri Israel muncul dengan mengorbankan ribuan nyawa manusia. Sampai saat ini, penyerobotan tanah dan pengusiran masih terus berlangsung. Di sisi lain, tidak sedikit penulis dan intelektual kita yang belum memahami mengapa banyak orang Israel yang memilih berdomisili di tanah Arab. Padahal, masalah itu adalah keniscayaan, dan merupakan realitas sosial-politik yang tak mungkin dihindari.
Fenomena ini membuat banyak intelektual kita kebakaran jenggot, terjebak pada sikap anti-semitisme, bahkan anti Yahudi. Ratusan mubalig dan penceramah – kalau tak diimbangi dengan ulama-ulama NU – mudah saja tergelincir pada sikap anti-semitisme. Ya, kita memang harus mengkritik Israel sebagai entitas politik dan pelaku ketidakadilan. Tetapi, kita tak boleh menggeneralisir semua itu sebagai biang keladi kaum Yahudi. Sebab, bangsa Yahudi juga manusia yang berhak untuk hidup secara manusiawi. Jadi, tindak represif dan kesewenangan militerisme Israel perlu kita kritik, meski hal tersebut tak boleh menggelincirkan pandangan kita pada sikap anti-semitisme.
Banyak intelektual muslim yang berjibaku di ranah politik, terheran-heran mengapa kebanyakan orang Islam liberal justru mengkritik Israel secara tegas dan terang-terangan. Nampaknya mereka kurang paham bahwa kaum liberal, baik di Islam, Kristen, maupun Yahudi, sama-sama berbaris dan begitu progresif membela Palestina dari perilaku kesewenangan. Terkait dengan ini, mendiang Abdurrahman Wahid pernah menyelenggarakan acara “Malam Puisi Palestina” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (1980), yang kemudian diteruskan jejak-langkahnya oleh sastrawan Mustofa Bisri di tempat yang sama, dengan tema yang sama pula (2017).
Ada juga sikap sebagian kelompok yang menganut paham “new-atheists”, yang merasa trauma dengan dogma dan doktrin agama (khususnya Islam). Mereka kurang simpati jika seorang intelektual muslim berhaluan liberal, ikut-ikutan mengkritik Israel. Ironisnya, tidak sedikit yang terjebak pada sikap-sikap apologis, sehingga memilih berdiri di barisan pendukung militerisme Israel.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip pernyataan almarhum sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, di tempat tetirahnya di daerah Bojong Gede, Bogor (2001), ketika meluncurkan buku 100 Tahun Bung Karno (Liber Amicorum). Di hari-hari senjanya, Pramoedya menyatakan pendapat tentang Timor Leste, yang sehaluan dengan konsep pemikiran sastrawan muslim Abdulrazak Gurnah mengenai peradaban pasca-kolonialisme:
“Kalau kedatangan Indonesia ke wilayah Timor-Timur selaku pengayom dan pelindung rakyat setempat, maka tak jadi masalah. Sebab, rakyat Timor-Timur itu ibarat anak angkat dari republik Indonesia. Jika orang tua angkat itu memberikan perlindungan dan jaminan ketenteraman, anak angkat mana yang mau memisahkan diri dari orang tua yang arif dan bijaksana?”
Jadi pada prinsipnya, masalah Israel-Palestina adalah masalah kemanusiaan dan perilaku kesewenangan yang bersifat manusiawi. Kebencian manusia dapat berlaku secara reaktif, dari pihak yang terzalimi menjadi pihak yang menzalimi sesamanya. Itulah di dalam Islam ditegaskan, bahwa kebencian kita terhadap suatu kaum, tak boleh dijadikan alasan hingga kita berlaku semena-mena terhadap kaum tersebut.
Seperti yang dinyatakan oleh penulis novel Pikiran Orang Indonesia, bahwa masyarakat Israel dulu pernah dizalimi oleh Firaun maupun Nazi di zaman modern. Tuhan mengangkat nasib mereka, hingga kekuasaan saat ini berada dalam genggaman Israel. Semestinya mereka bersikap legawa dan berhati-hati untuk tidak melakukan tindakan militerisme yang arogan dan totaliter. Sebab, dalam sejarah manapun “kekuatan mukjizat” akan selalu berada di pihak yang terzalimi.
Memang berseberangan dengan adagium militerisme, baik dari kubu nasionalis, agamis maupun komunis. Seakan-akan kita boleh mengkhianati pihak lain sebelum kita menjadi korban pengkhianatan. Padahal sejatinya, dalam prinsip manusia beriman (jika pun harus memilih), lebih baik kita menjadi pihak yang dikhianati dalam kehidupan dunia yang sekejap ini, daripada kita berlaku khianat dan sewenang-wenang kepada pihak lain. ***