Oleh: Hairul Anam*)
Batin boleh terguncang. Nama baik boleh terkikis. Tapi perjuangan, tidak boleh padam! Semuanya tetap akan baik-baik saja, selagi tiada kata menyerah untuk bangkit dalam perbaikan. Namun bila sudah menyerah, perjuangan seketika sirna!
Akhir tahun 2023. Itulah target Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura naik derajat menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Rektor Saiful Hadi kerap menyampaikannya saat diwawancarai para wartawan.
Publik Madura merespons positif rencana alih status IAIN Madura menjadi UIN Madura yang sering didengungkan Saiful Hadi itu. Apalagi, beberapa bulan terakhir, gelar profesor atau guru besar dosen IAIN Madura merebak tak ubahnya jamur di musim penghujan.
Jaringan yang dimiliki rektor mempermudah gerak langkah doktor menjadi profesor, tentu ini juga tidak terlepas dari kelayakan para dosen tersebut menjadi guru besar.
Banyaknya guru besar yang “dicetak” IAIN Madura menjadi pertanda kuat betapa kapal pesiar bernama UIN Madura siap berlayar. Saiful Hadi tampak percaya diri menarik tali layar kapal besar itu disesuaikan dengan arah angin kemajuan.
Merebaknya doktor yang kini menjadi guru besar itu menandakan IAIN Madura sangat siap bermetamorfosis menjadi UIN Madura. Semuanya sudah mematangkan diri, tinggal memberesi urusan lahan kampus yang oleh rektor dicanangkan tuntas akhir tahun ini.
Mimpi warga Madura untuk memiliki kampus bertaraf UIN sudah di pelupuk mata. Pemerintah setempat pun mendukung penuh. Tidak ada penolakan sama sekali dari berbagai pihak.
Terlepas dari itu, kini terdapat noda tebal yang bila dibiarkan akan menjadi sandungan besar bagi IAIN Madura menuju UIN Madura.
Gerak Taktis Perbaikan dari dalam
Setiap ada batu loncatan, tidak akan pernah lepas dari batu sandungan. Demikian halnya dengan spirit perubahan IAIN Madura menuju UIN Madura. Jaringan kuat Saiful Hadi dan mantan Rektor Mohammad Kosim bisa menjadi batu loncatan, tetapi isu miring berkenaan dengan perilaku orang-orang kampus tentu menjadi batu sandungan yang amat nyata.
Perjuangan berdarah-darah stakeholders IAIN Madura menuju UIN Madura, beberapa pekan terakhir ini diguncang oleh dua isu besar: plagiarisme hingga dugaan pelecehan oleh oknum dosen kepada mahasiswinya.
Kasus dugaan pelecehan tersebut dilakukan oleh dosen IAIN Madura berinisial I. Sasarannya adalah mahasiswi berinisial E. Itu terjadi pada 20 Oktober 2023 saat si mahasiswi tengah presentasi di depan kelas.
Penjelasan tersebut beredar dalam bentuk video berdurasi 4 menit 36 detik. Dalam klarifikasinya, E menyebut bahwa dosen I tidak menyentuh dirinya, tetapi tangan si dosen nyaris menyasar bagian dadanya.
Tidak hanya itu, beberapa hari sebelumnya, IAIN Madura menjadi sorotan publik karena kasus plagiarisme yang menerpa dua mahasiswa dan seorang dosen di dalamnya.
Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Tahun 2018 berjudul “Tengka: Etika Sosial dalam Masyarakat Tradisional Madura” karya Hasani Utsman diplagiat menjadi artikel dalam Jurnal Mediasi, Vol. 1, No. 2, Desember 2022, IAIN Ambon, berjudul “Makna Tengka dalam Tradisi Masyarakat Madura”.
Plagiarisme tesis menjadi artikel jurnal tersebut dilakukan oleh tiga penulis dari IAIN Madura berinisial K, H, dan S.
Hingga kini, pihak kampus belum menghadirkan titik terang sikap terhadap dua kasus besar tersebut. Khusus kasus pelecehan, Saiful Hadi menyatakan masih berkoordinasi dengan pihak Fakultas Tarbiyah IAIN Madura. Sementara kasus plagiarisme, dinyatakan sudah disikapi dengan sidang etik.
Publik menunggu ketegasan Rektor Saiful Hadi. Bila lembek dalam menyikapi kasus, tentu masyarakat akan khawatir memasukkan anaknya ke satu-satunya kampus agama berstatus negeri di Madura itu. Mereka tidak ingin anaknya dilecehkan. Mereka juga tidak berharap putra-putrinya lulus dengan cap pernah terjerat kasus plagiarisme.
Sidang etik yang dijanjikan rektor, hingga kini tidak diketahui rimbanya. Hasilnya tidak diumumkan ke publik. Itu membuka peluang publik berasumsi rektor melindungi pelaku kejahatan akademik. Janji untuk menggelar sidang etik bisa dicurigai belum terbukti. Jangan salahkan publik bila menilai pernyataan rektor hanya omong kosong; nyatanya melindungi dosen yang namanya terjerat di kasus tersebut.
Jangan sampai pula rektor mendapat dugaan melindungi pelaku kasus pelecehan. Jika terbukti, pelaku minimal dipecat bila tidak dipidanakan oleh mahasiswi yang menjadi korban.
Meskipun nanti tercapai alih status menjadi UIN Madura, masyarakat bisa saja ragu dengan kualitasnya. Kasus plagiarisme dan pelecehan seksual bukan perkara sederhana. Keduanya adalah “dosa besar” yang harus dilawan oleh stakeholders yang bergelut di dunia kampus, terutama oleh sang rektor yang jadi nakhodanya.
Langkah rektor jangan sampai melambat. Sembari menelorkan solusi atas segala masalah moral di dalam kampus, upaya untuk menyukseskan alih status dari IAIN Madura menjadi UIN Madura, tidak perlu surut.
Kasus plagiarisme dan pelecehan yang melibatkan oknum dosen adalah luka di tubuh IAIN Madura. Butuh waktu dan ketelatenan dalam membersihkannya. Jika kasus tersebut tidak segera diobati dengan kebijakan tegas proporsional sang rektor, otomatis kehadiran UIN Madura nanti diliputi aroma borok yang amis dan tidak sedap dipandang. Perlukah itu terjadi?
*) Pemimpin Umum Kabar Madura.