Keagamaan 

Banner Iklan

Ahmad Sahidah: Dosen Filsafat Keuangan Universitas Nurul Jadid Paiton

Apa yang ada di benak kita bila ditanya apa itu keagamaan? Untuk menjawab pertanyaan ini saya membaca buku Derridean terbitan Mori. Karya ini ditulis Muhammad Al-Fayyadl, seorang kiai yang pernah belajar di Perancis, tempat sang tokoh Derrida lahir. Keduanya berjarak, tetapi kehendak untuk mengungkai kenyataan saling bersirobok. Sebagai pemerhati tokoh dekonstruksi, penulis harus meletakkan obyek dalam perspektif diri, meskipun secara obyektif, teks pengarang harus dihadirkan secara nyata. Tanpa ini keduanya berjalan serentak, pesan hanya akan menjadi andaian pikiran pengarang, bukan keterlibatan pembaca yang intens. 

Dari asumsi ini, sebagai pembaca saya juga turut melibatkan alam pikiran dan latar belajar filsafat yang masih dibayangi pengalaman dan pengetahuan asal sebagai individu yang telah memiliki keyakinan tertentu. Seiring dengan waktu, sejalan dengan watak kata, ia bisa mungkret dan melar. Ada keasyikan menebak apa yang dipikirkan tokoh dan pengagumnya dalam memahami isu-isu yang di satu sisi, bagi saya, telah selesai, namun kehadiran pembacaan lain, telah memunculkan makna baru dan berseberangan. 

Dengan menilik perkataan yang juga akrab, seperti Tuhan dan agama, saya juga menemukan daya ungkap baru, yang sesungguhnya secara eksplisit dan implisit juga dinyatakan dalam kitab suci dan ajaran yang telah dilalui. Kebaruan itu lebih pada istilah, tetapi arti tersirat dan tersurat juga telah pernah terbayangkan dan terungkapkan. Tak dapat dielakkan, ada kedekatan dan kejauhan sekaligus. Keserentakan inilah yang mendatangkan ketegangan. Saya pun membiarkannya agar dinamika pengamalan terus bekerja. 

Baca Juga:  Anggota DPRD Sumenep Meminta Agar Kegiatan Keagamaan Ditindak Lanjuti

Dalam ulasan ini, isu agama dan Tuhan berkelindan. Seperti diungkapkan dalam subbab “Melanggar Batas-Batas Agama: Derrida tentang Agama dan Tuhan”, hampir mustahil mengingat wajah ganda agama yang sering kali muncul secara paradoksal. Agama adalah kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh. Dalam Alqur’an, Allah itu sedekat kulit air, namun ia sekaligus bertempat di arsy. Itulah mengapa Tuhan yang dipilih adalah coincident oppositorum (dua hal yang bertentangan menyatu) dalam pandangan sufistik, bukan persona dan impersona

Lalu, mengapa agama yang begitu terang benderang dipahami secara diametral, di mana Imam Samudera dan Amrozi mengobarkan perang dan kebencian, sementara Rumi dan Gandhi mengajarkan kedamaian dan cinta kasih di muka bumi (hlm. 79). Dengan contoh ini, karya ini tidak lagi sebagai corong Derrida, tetapi tafsir penulis untuk meletakkan pemikiran filsuf tersebut dalam upaya memahami agama dalam ekspresi yang dipikirkan dengan cara berlainan. 

Mengaitkan agama dengan Derrida mempunyai landasan yang kokoh. Penulis Of Grammatology ini pernah menegaskan bahwa pertanyaan tentang agama adalah yang pertama dari  seluruh pertanyaan tentang pertanyaan. Kegelisahan ini tertuang dalam tulisannya “Faith and Knowledge: The Sources of Religion at the Limits of Reason Alone”. Baginya, agama adalah amat jelas, tetapi pada waktu yang sama justru paling taksa (ambigu), paling abstrak, dan asing bagi dirinya. Justru, inilah tantangannya. Alih-alih meninggalkannya seperti filsuf lain, Sastre dan Marx, Derrida menggelutinya dengan seluruh. 

Ia tidak bisa menampik sebagai orang Yahudi, tinggal bersama komunitas pengikut nabi Musa dan mengagumi Santo Agustinus, orang saleh, yang mempengaruhi hidupnya. Oleh karena itu, ia selalu membaca Confessions berulang-ulang. Tak hanya itu, ia menaruh simpati pada Islam lewat darah Arab yang menitis pada dirinya. Dengan demikian, ia merupakan diaspora dari banyak jejak, agama dan ras. 

Baca Juga:  Ketetanggaan 

Atas dasar inilah, ia menyodorkan pemahaman agama dengan cara lain, yaitu mengawali pemikirannya tentang agama dari persoalan iman. Kepercayaan ini adalah pengalaman singular, yang tidak tergantikan dengan sesuatu yang juga singular. Singularitas di sini terkait dengan rasa takjub dan ketercekaman yang terus-menerus untuk mengenali dan dikenali oleh sesuatu yang diimani. 

Dari pengalaman inilah, Derrida belum mau menyebut apa yang dimaksud dengan “Yang diimani itu”. Ia telah menundanya seraya membiarkannya dalam keadaan “difference”. Dengan tidak diidentifikasi G itu bukanlah siapa-siapa kecuali yang Yang Lain sepenuhnya (tout autre). Kata ini pun tidak memadai untuk menghadirkannya. Jelas, penggambaran ini menunjukkan bahwa Yang Lain itu dalam khazanah Islam sebagai bukan huruf (la harfan) dan bukan suara (la shautan).    

Dengan menjadikannya Yang Lain tetapi misteri, pengiman akan terus menerus melibatkan dengan yang diimani tanpa terperangkap pada ikhtiar untuk memahami yang bisa berujung pada kehadiran ego. Subyek terakhir ini akan meletakkan G sebagai obyek, yang dihindari oleh Derrida. Dari penjelasan ini, kita bisa meletakkan pemikirannya pada ranah tasawuf sebagai sosok yang berada di peringkat khawash al-khawash, yang tidak telah melewati memahami (tafhim) dan berada di kedudukan membenarkan (tashdiq). 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *