Kearaban

Banner Iklan

Ahmad Sahidah: Dosen Semantik dan Ma’anil Qur’an Universitas Nurul Jadid Paiton 

Saya meminta mahasiswa yang mengambil mata kuliah Living Qur’an untuk membaca buku Identitas Arab Itu Ilusi: Saya Habib, Saya Indonesia yang dianggit oleh Musa Kazhim Alhabsyi. Mungkin, inilah karya yang ditunggu-tunggu untuk bisa memahami bahasa Arab dan pada gilirannya kitab suci dengan bahasa sastrawi dan analitis. Tidak hanya itu, saya menulis dalam status Facebook, inilah buku yang menyampaikan apa yang saya pikirkan dan memberikan efek Aha! karena cetusannya membuka daya ungkap baru untuk menguliti pandangan stereotip, sempit, dan asal ceplos tentang apa itu kearaban.  

Pengantar Haidar Bagir, pemilik penerbitan, menambah tajam terhadap ulasan sang pengarang. Ia telah menanggalkan nama warga Alhabsyi dengan penuh kesadaran. Dengan demikian, ia berhasil mengelak dari identifikasi sebagai orang Arab. Meskipun terlahir dari migran Hadramaut Yaman, sang ayah memilih sarung, kemeja, dan songkok hitam, sehingga tidak membuatnya berbeda dengan orang lokal. 

Tentu, pengalamannya yang paling mengesankan tatkala sang ayah menjadi salah satu yang mendorong perubahan nama sekolah Rabithah al-Alawiyah, perkumpulan kaum Alawi, keturunan Alwi bin Ubaidillah, cucu Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir, migran pertama keturunan Nabi dari Irak ke Hadramaut, menjadi Sekolah Diponegoro. Keputusan keluar dari kampung Arab di Solo tentu mengokohkan tekad sang ayah untuk menjadi Indonesia. 

Baca Juga:  Kesyukuran 

Masalahnya, apa yang menjadi penanda dan mengapa jati diri Arab itu ilusi? Kumpulan tulisan ini tentu membantu pembaca untuk keluarga dari politik identitas yang semakin mengeras akhir-akhir ini. Penggunaan kata-kata kadrun, kadal gurun, sering disematkan pada kelompok pendukung Anies dan sebaliknya pada penyokong Jokowi kampret. Penolakan terhadap Arabisme juga mengemuka dengan penggeloraan pakaian tradisional, kebaya dan penolakan pada jubah. 

Tetapi, apa sebenarnya Arab itu? Bagi pengarang, fenomena kearab-araban yang berselang-seling dengan kehabib-habiban akhir-akhir ini tidak lebih daripada gerakan bermotif politik, yang sangat dangkal dan banal. Tidak ada dasar-dasar otentik, apalagi keagamaan, di balik fenomena itu kecuali usaha mengeraskan identitas yang sejatinya sekadar ilusi. Jelas, dari pernyataan tersebut, kita bisa menghentikan membaca karya ini di prolog. 

Tetapi, penegasan ini bisa dianggap sebagai klaim asal-asalan atau angan-angan (wishful thinking), bukan penalaran yang kokoh. Untuk itu, menelusuri buku ini menjadi pembacaan yang mengasyikkan. Meskipun demikian, pengarang tidak menyebut tulisannya sebagai karya akademis, apalagi riset bertahun-tahun. Anehnya, ia menganggit pemikirannya dengan pendekatan multidisipliner, dari linguistik, hermeneutik, filsafat, sosiologi, dan sejarah. Jelas, ini bukan anggitan kaleng-kaleng, karena tanpa penguasaan terhadap disiplin ini uraiannya akan terasa hambar. Pengalaman sebagai wartawan jelas terasa dari ungkapannya yang mengalir dan enak didaras. 

Baca Juga:  Kekeluargaan

Secara semantik, ada dua kata yang membedakan antara arabi dan a’rabi terkait penggunaan bahasa, yang pertama adalah bahasa fasih dan kedua kasar. Artinya, Arab itu terkait dengan penggunaan bahasa dengan standar tertentu. Secara generik, ia mencakup berbagai macam kelompok etnik, wilayah geografis, pemeluk agama, karakter, budaya dan suku. Bayangkan, organisasi Liga Arab yang memiliki 22 negara anggota mencerminkan keanekaragaman yang dimaksud. 

Selain itu, ‘arabi sering dipertimbangan dengan ‘ajami, yang terakhir dikaitkan dengan Baduwi, suku pedalaman. Padahal, peng-‘ajam-an menunjukkan penyimpangan dari satu bahasa yang asli, jelas, lugas dan jernih. Kenyataannya, pengguna bahasa Arab di kawasan Timur Tengah dan Afrika tidak lagi menggunakan bahasa baku (fushha), tetapi pasaran dalam keseharian. 

Itu artinya bahwa orang Arab itu tidak hanya ada di tanah asalnya, tetapi mungkin juga di Nusantara, di mana para tokoh agama menggunakan tata bahasa rumpun semitik ini dengan baik. Jadi, bila seumpamanya Anies Baswedan fasih berbahasa Inggris dan dan tidak bahasa Arab, maka ia adalah bukan orang “Arab”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *