Kolom: Falsafah Harian
Ahmad Sahidah: Dosen Filsafat Keuangan Universitas Nurul Jadid
Ini asli lo?! Ucap seorang bintang iklan. Barang yang ditunjukkan bukan palsu. Tentu, pesan lain yang hendak disisipkan bahwa produk yang ditawarkan hebat dan bermutu. Biasanya, penegasan ini muncul karena ada barang tiruan yang beredar di pasaran. Lalu, keaslian itu sejatinya pada merek atau bahan? Andaikata, barang tiruan mengandung bahan baku yang sama dengan yang dipalsukan, apakah ia tetap tidak asli?
Dulu, saya pernah membeli baju koko dan sarung yang sewarna di toko Haji Hamidah. Hingga kini, pakaian itu masih saya pakai dan sarungnya sudah usang dan dibuang. Tidak dinyana, merek adalah Itang Yunasz. Itu artinya baju ini dibuat oleh desainer ternama, meskipun ketahuan itu lahir kemudian. Untuk pertama kalinya, saya mengisahkan pengalaman ini di khalayak. Bagi orang Madura, tanda dari keaslian justru pada sarung, semisal BHS dan Lamiri. Keasliannya bisa dilihat secara kasat mata dan dicek dari bandrol harga.
Lalu, apakah tanda keaslian dari sarung? Apakah ia dirujuk pada merek ternama, bahan yang bagus, dan tidak murah? Di sini, pemahaman yang utuh tentang kebutuhan jelas diuji, karena fungsi dan gengsi dari barang itu bisa berjalan serentak. Bagi si pemakai yang menggunakan BHS, kehadirannya tidak hanya berhenti pada dirinya, tetapi juga uang yang ada di kantong dan selera yang hendak ditunjukkan. Tentu, dengan sarung, ia diterima oleh komunitas tempat warga menganggap itu sebagai pakaian resmi untuk acara tertentu.
Bila keaslian dikaitkan dengan dua hal di atas, apakah seseorang yang memakai sarung Wadimor kehilangan keaslian? Secara substantif, ia telah menggunakan barang asli, meskipun tak semahal cap tersohor lain. Tetapi dengan mengenakan busana sesuai tempatnya, yang bersangkutan telah tahu membawakan diri karena berhasil menimbang kepatutan. Jelas, selera itu bisa dilihat sebagai alat berkomunikasi yang secara umum khalayak tahu mengapa seseorang menggunakan barang bermerek.
Lalu, mengapa banyak orang gandrung pada keaslian? Sejatinya, setiap manusia menemukan ketenangan pada kejujuran dan kerelaan. Tetapi, sayangnya tatkala seseorang menggunakan barang palsu atau KW untuk diketahui orang lain sebagai barang asli adalah kebohongan. Demikian pula, kerelaan kita untuk menerima apa yang dimiliki adalah wujud dari penerimaan terhadap eksistensi. Memaksakan diri untuk tampak berkelas dengan barang mewah atau membeli sesuatu dengan memaksakan diri dengan berhutang jelas lancung.
Asli hakikatnya adalah apa yang seadanya. Dengan menerima dirinya apa adanya, inilah puncak dari keaslian itu sendiri. Apa yang dipikirkan dan dirasakan adalah sesuatu yang dilakukan sehingga kepalsuan tidak menjadi daya ungkap. Itulah mengapa Charles Taylor menjelaskan dalam The Ethics of Authenticity (1991: 26), bahwa berdasarkan pandangan orisinal, suara batin adalah penting karena ia menceritakan kita apa hal baik yang dilakukan. Tentu, panggilan nurani tidak terkotori oleh sikap buruk untuk tidak menjadi orang lain. Pendek kata, keaslian tetap terkait dengan perenungan mengenai hakikat menjadi manusia dalam sehari-hari.
Ketika kata otentik ditempelkan pada barang semata-mata, khalayak akan berbondong-bondong untuk memenuhi hasrat kebendaan. Hakikatnya, keaslian itu terkait keperluan untuk mengantar individu pada sesuatu yang asali dari perbuatan dan penggunaan barang. Lagipula, kegunaan itu mudah retak. Sarung yang bermerek tentu tidak akan digunakan untuk tidur, karena pemilik tentu khawatir kainnya kucel atau kusut. Betapa, pikiran seseorang dituntun oleh pikiran bahwa hidupnya diatur oleh persepsinya sendiri tentang barang.
Kalaupun menimbang apa respons orang lain, apa jadinya bila kain mahal itu tampak kusut? Berarti kehadiran liyan dalam keseharian telah menjadi penjara. Kita adalah sosok narapidana dari orang yang memperhatikan segara gerak-gerik dari menara pengawas. Panopticon bekerja dengan sempurna, bahwa ada dan tidak ada orangnya di sana, tahanan itu telah memenjara dirinya sendiri. Padahal, tatkala seseorang tampil secara otentik atau asli, ia akan menunjukkan dirinya tanpa harus diperiksa oleh orang lain.
Lebih jauh, di era digital, media sosial telah menjadi penjara yang sempurna karena penggunanya akan sering mematut diri untuk dipandang oleh mata orang lain. Apa yang dipakai dan dikerjakan oleh pemilik akun akan disesuaikan dengan pandangan pelihat. Tidak dapat dihindari, seseorang harus memaksakan diri untuk mengulang-ulang pose dan memilih barang yang hendak ditunjukkan agar kehadirannya seperti yang akan dibayangkan oleh orang lain. Kini, individu tidak lagi menjadi dirinya sendiri, tetapi kepanjangan dari imajinasi liyan. Tetapi, pernahkah kita memeriksa untuk apa pesona itu? Padahal, menjadi asli itu adalah menjelma secara sejati tanpa harus membuat orang lain terpukau.