Ahmad Sahidah: Dosen Semantik dan Ma’anil Qur’an Universitas Nurul Jadid
Ketika mengikuti Forum Group Discussion (FGD) Majelis Masyayikh di Tuscany Tangerang, 1 Maret 2023, saya melihat dari dekat dan cermat bagaimana lembaga yang diamanatkan oleh UU Pesantren 18/19 mengurus penjaminan mutu pesantren untuk memastikan peningkatan kualitas di institusi pendidikan tertua tanah air. Dalam kegiatan ini, panitia mengundang tiga pembicara luar dan dalam sebagai bahan penyusunan sistem penjaminan mutu pada masa yang akan datang.
Prof Sugiyono (Asesor BAN PT), Anindita Aditomo (Kepala BSKAP Kemendikbud Ristekdikti) dan Abdul Malik (Asesor BAN S/M) adalah dari pihak eksternal, sementara dari pihak internal adalah KH Abdul Hamid Wahid (Nurul Jadid Probolinggo), KH Wafiul Ahdi (Tambak Beras Jombang), dan KH Anang Rizka Masyhadi (Tazakka Batang). Pihak pertama memaparkan bagaimana lembaga pendidikan dijamin mutunya, manakala pihak kedua menyampaikan praktik baik pembelajaran di masing-masing pondok yang dipimpinnya.
Tentu, gambaran besar tentang kualitas disederhanakan menjadi dua hal, yaitu pemenuhan standar dan kepuasaan. Namun, kata Sugiyono, orang Indonesia seringkali melanggar standar, seperti mempreteli motor buatan Jepang untuk mendapatkan kepuasaan maksimal. Knalpotnya diganti dengan buatan sendiri yang bunyinya bikin bising, tetapi membuat penggunanya puas karena bisa menunjukkan eksistensi dirinya. Tentu, ini lancung!
Dalam diskusi, Nyai Badriyah Fayumi, anggota MM, menegaskan bahwa akreditasi untuk pesantren perlu dihindari karena lembaga ini adalah institusi mandiri yang bertolak dari kehendak pengabdian yang jauh lebih inklusif, yakni mencerdaskan, memberdayakan, dan memajukan masyarakat dengan kepercayaan penuh pada kiai. Sehingga instrumen pertama, akreditasi, kurang sesuai karena menempatkan pondok pada kedudukan dilematis, yakni tradisi patron-klien menjadi salah satu pijakan keberlangsungan lembaga bisa goyah.
Tetapi, secara umum penjaminan mutu pendidikan itu meliputi akreditasi, asesmen dan penilaian, pengembangan kurikulum, pengembangan profesional berkelanjutan, serta pelayanan dukungan pelajar. Secara formal, dokumen terkait dengan instrumen ini bisa dipenuhi, tetapi ruh pendidikan, seperti diungkapkan oleh Anindito, adalah bagaimana iklim pengajaran-pembelajaran berjalan dengan baik. Melihat suasana pondok, seperti tercermin dari lagu qasidah Kota Santri, bagaimana pengajian dan aktivitas sehari-hari di sini begitu hidup dengan syiar keagamaan.
Lalu, bagaimana dengan sesuatu yang tidak (bisa) diukur dari kegiatan ibadah yang begitu menyita perhatian dan waktu santri, seperti riyadah, istighatsah dan berjemaah? Nilai-nilai apa yang hendak ditanamkan pada mereka yang belajar selama 24 jam? Kebatinan. Kata ini memang mudah retak di alam pikiran Jawa karena ia dikaitkan dengan olah batin yang diiringi dengan menahan diri dan mengurangi asupan lahir dengan kehendak mencapai tujuan tertentu.
Dalam khazanah tasawuf, kebatinan dikaitkan dengan keselamatan hati tanpa mengabaikan keselamatan badan. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Maw’izhah al-Mu’minin, “wafa’afiyat al-qalb a’la min a’fiyat al-badan” bahwa kesejahteraan hati lebih tinggi daripada tubuh. Melalui kegiatan spiritual, para santri diajarkan untuk merawat (kesempurnaan) diri melalui banyak ibadah, zikir dan bacaan Alqur’an, bahkan pengajian kitab kuning. Tentu, aktivitas ini bisa dikuantifikasi, tetapi puncak dari pengalaman ini adalah tindakan, yakni budi pekerti terhadap diri, orang lain, dan alam.
Di tengah perayaan kelahiran, sebagai lawan kebatinan, manusia modern terpapar pada gemerlap kehidupan hedonis. Setiap individu berusaha untuk menunjukkan menikmati kuliner asing, destinasi wisata luar negeri, dan selera yang mewah tentang pakaian dan tempat tinggal. Tentu, tulisan ini tidak hendak menjadi polisi moral, tetapi ingin menyodorkan bahwa kekuatan batin itu terwujud dalam kehidupan yang sederhana dan tenang karena benda tidak menyilaukan untuk mengada dalam menjalani hidup fana.
Betapa banyak orang tergesa-gesa untuk meraup semua kenikmatan sehingga menunjukkan kecemasan, padahal ia telah memiliki banyak kemudahan. Batin yang gelisah tidak akan pernah hadir tatkala seseorang tersandera oleh pesona bendawi. Batin akan tenang bila pemiliknya merasa cukup dengan dirinya, sebab ketika ia merasa mulia dengan benda, maka ia telah membunuh jiwanya, tempat batin bersemayam dengan tentram dan sentosa.
Sebagaimana dulu pondok tumbuh dari warisan ashram dan cantrik, keduanya bahasa Sanskerta, kebatinan itu menempati kedudukan istimewa untuk membebaskan manusia dari hitungan-hitungan yang didasarkan pada penampakan duniawi. Ini tampak klise, tetapi manusia sering mengulang-ulang kegagalan dengan menjadi budak nafsu dan hasrat. Seringkali banyak orang terlambat menyadari hakikat hidupnya. Untuk itu, kecerdasan spiritual perlu ditanamkan untuk membentuk karakter pelajar tanpa harus diukur, tetapi dijalani melalui teladan.