Ahmad Sahidah: Dosen Semantik dan Ma’anil Qur’an Universitas Nurul Jadid
Tanggal 20 Maret dirayakan sebagai hari kebahagiaan sedunia. Kata terakhir ini sering dikaitkan dengan kepemilikan dan kepenuhan. Seseorang yang tidak pernah kekurangan dan bisa mewujudkan apa yang diinginkan akan senantiasa merayakan kesenangan. Tetapi, dalam rumusan Paul Dolan dalam Happiness by Design: Finding Pleasure and Purpose in Everyday Life, pleasure atau kenikmatan sememangnya syarat bagi kebahagiaan tetapi diimbangi (+) dengan tujuan hidup.
Apa yang menjadikan hidup ini bermakna, inilah yang akan menggenapi kebahagiaan manusia. Tentu, gagasan lama dari Aristoteles bahwa kebaikan adalah sumber kebahagiaan secara eksistensial bisa dijadikan landasan ideal untuk mewujudkan kehidupan manusia di atas bumi tertanggungkan. Tetapi, apa lacur kini modernisme telah memberikan manusia akal budi instrumental untuk mengeksploitasi alam agar individu bisa memenuhi keinginannya yang tidak terbatas. Kelangkaan dipandang sebagai sumber penderitaan.
Tetapi, keberlimpahan (abundance) yang dikejar untuk memenuhi hasrat justru mendatangkan masalah lain dalam kehidupan manusia, sebab ia seringkali beririsan dengan eksploitasi. Ia juga sering dilihat sebagai kemakmuran, yang dihubungkan dengan uang dan kepemilikan materi. Padahal, kita bisa makmur (prosperous), kata Dennis Merritt Jones, dalam The Art of Abundance, melalui pelbagai cara, seperti bakat, hubungan, kedamaian hati, kesehatan yang baik dan waktu untuk menikmati semua itu.
Karena gagal meraih makna kenikmatan yang asli, banyak orang membatasi kesenangan dengan hiburan yang dihasilkan oleh kapitalisme global, seperti godaan untuk menonton konser, mengunjungi destinasi wisata tertentu, dan mengudap makanan negeri asing. Tambahan lagi, kehendak untuk pamer (flexing) yang semakin dipompa oleh media sosial, seperti Facebook atau Tik Tok, membuat banyak orang haus akan perhatian dari mata orang lain. Semakin banyak yang ia tunjukkan, semakin sering ia hendak berusaha untuk mengumbar pengalaman baru.
Padahal, kebutuhan asli (true) menurut Herbert Marcuse itu terkait dengan makanan, pakaian, dan kediaman. Selebihnya, kebutuhan itu adalah palsu yang sering dibalut oleh pesona kamera. Di sini, hakikatnya bumi telah menyediakan cukup, kata Mahatma Gandhi, tetapi tidak bagi orang yang rakus. Ketamakan telah menyebabkan seseorang senantiasa ingin menumpuk, tidak ingin berbagi. Kegagalan melihat secara jernih menyebabkan individu dibelenggu oleh pikirannya yang tertutup, sehingga ia tidak pernah merasa cukup.
Untuk itu, keberlimpahan yang disediakan oleh bumi justru ditelikung oleh pemodal untuk menangguk keuntungan. Kebutuhan pokok telah diatur oleh oligopoli yang menguasai akses sehingga ketersedian keperluan sehari-hari terbatas. Di sini, kata Piketty, penguasa harus hadir untuk menekan orang kaya membayar pajak tinggi dan Sloterdijk, mekanisme distribusi kekayaan harus dibuat sedemikian rupa agar setiap orang bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Pendek kata, karena kapitalisme adalah pemain satu-satunya, maka ia harus diatur.
Mengingat kebutuhan itu juga terkait dengan bakat, maka semua pihak harus mendorong penguasa dan dermawan untuk membangun fasilitas publik, seperti tempat olah raga dan permainan, agar anak-anak bisa menyalurkan bakatnya. Demikian pula, kedamaian hati itu bukan semata-mata terkait dengan ketersediaan hiburan, sebab ia acapkali disandera oleh kapitalisme, tetapi juga kreativitas masyarakat yang didorong untuk menciptakan kebudayaannya sendiri yang otentik.
Budaya massa itu adalah hasil dari pengulangan yang disiarkan terus-menerus melalui pelbagai media sehingga sihirnya memesona khalayak. Oleh karena itu, setiap komunitas mesti menghadirkan budaya tanding sebab hiburan itu adalah instrumen untuk memanggungkan keseharian dalam bentuk bunyi, kata, dan pentas. Manusia bisa melihat dengan kritis apa yang terjadi dengan keseharian yang banal bila mereka terlibat secara emosional dan spiritual dengan apa yang dinikmati. Seni itu bukan hiburan yang dinikmati karena gengsi dan prestise karena gemerlap dan mahal.
Kekurangan yang sering menghinggapi hidup manusia bersumber dari kealpaannya melihat apa yang harus dipenuhi dalam kehidupan sehari-hari. Penyeragaman sebagai dampak dari iklan telah menggiring pemirsa untuk meraup hal yang sama, sehingga mereka berburu sesuatu yang sebenarnya bisa digantikan dengan hal lain. Mereka telah menjadi kerumunan yang mengikuti tuan, yang tak tahu mengapa mereka harus mengikuti majikan yang menjanjikan keberlimpahan.
Untuk itu, dengan mendidik manusia agar menahan hasrat, bukan berlimpah yang tidak berkah, maka banyak manusia akan merasa kaya. Di sini, mereka menikmati apa yang dimiliki, sebab jika kesenangan itu harus diburu, maka kenikmatan akan selalu berada di seberang. Ia tidak pernah berada di titik ketentraman, sebab ia sering melemparkan matanya pada tempat yang lain, bukan pada titik tempat ia berdiri.