Oleh: Ribut Baidi*)
Kejahatan narkoba terutama jenis sabu merupakan kejahatan lintas negara (transnasional) yang sampai saat ini belum bisa diberantas. Kejahatan ini, merambah-masuk mulai dari perkotaan sampai dengan pelosok desa yang memakan korban tidak hanya orang dewasa, tetapi juga para remaja dan bahkan anak-anak di bawah umur.
Sebagai tindakan pelanggaran hukum dan merupakan perilaku yang dilarang dan diancam dengan hukuman (sanksi pidana), kejahatan narkoba telah mengancam dasar-dasar pemerintahan, hukum, ketertiban, dan kesejahteraan sosial dan pelakunya adalah orang yang tidak perduli terhadap kesejahteraan umum, keamanan, ketentraman sosial-masyarakat, dan mengabaikan (ignore) terhadap hak-hak orang lain.
Kejahatan narkoba adalah tindakan mendahului hukum disebabkan adanya perbuatan yang merugikan masyarakat. Oleh karenanya, kehadiran hukum bertujuan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat (public interests) yang telah atau akan dirugikan oleh orang lain (orang tertentu), serta dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) melalui sanksi hukum yang tegas (sanksi pidana) kepada pelanggarnya.99
Kejahatan Narkoba Semakin Ekspansif
Penyalahgunaan narkoba tahun 2017 berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) sebanyak 3.376.115 orang pada rentang usia 10-59 tahun. Selanjutnya, tahun 2019 penyalahgunaan narkotika pada anak dan remaja meningkat sebesar 24-28 persen. Kemudian, berdasarkan data dari Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri) sepanjang Januari-Juni 2021 tercatat 24.878 orang ditangkap dari 19.229 kasus di Indonesia. Dalam rentang enam bulan tersebut, Bareskrim Polri telah menyita barang bukti, yakni: ganja 2,14 ton, sabu 6,64 ton, heroin 73,4 gram, kokain 106,84 gram, tembakau gorila 34 ton, dan ekstasi 239.277 butir.
Problematika kejahatan narkoba di Indonesia sangat serius dan akut, di mana kejahatan ini telah memakan korban tidak hanya pada ranah masyarakat perkotaan dengan latar belakang ekonomi yang mapan, tetapi sudah merambah-masuk tanpa terkendali pada ruang pedesaan dengan korban masyarakat miskin.
Di sisi lain, kejahatan narkoba juga menyasar masyarakat tanpa mengenal usia, baik anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orang tua. Pencegahan dan penindakan dari pemerintah melalui aparat penegak hukum sampai saat ini belum mampu menghentikan kejahatan narkoba, bahkan yang sangat miris, justru banyak oknum aparat penegak hukum yang terkena dan bahkan menjadi bagian dari “penikmat” kejahatan ini, baik sebagai pemakai, kurir, bahkan bandar.
Peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba di Indonesia semakin mencapai “titik nadir”. Berbagai dampak dan implikasi buruknya mengancam generasi muda dan masa depan bangsa Indonesia. Tahun 2015 diperkirakan angka prevalensi pengguna narkoba mencapai 5,1 juta orang dan angka kematian akibat penyalahgunaan narkoba setiap hari sekitar 49-50 jiwa. Kerugian material diperkirakan kurang lebih 63 triliun yang mencakup kerugian akibat belanja narkoba, kerugian akibat barang-barang yang dicuri, kerugian akibat biaya rehabilitasi, serta kerugian biaya-biaya yang lainnya.
Kejahatan ini sudah merengkuh berbagai lapisan masyarakat, bahkan anak TK dan SD sudah ada yang terkena narkoba. Saat ini, sasaran kejahatan narkoba bukan hanya tempat tempat hiburan malam, tetapi sudah merambah ke daerah pemukiman, kampus, sekolah-sekolah, rumah kos, dan bahkan di lingkungan rumah tangga. (BNN, 2017).
Sebagai salah satu kejahatan transnasional di dunia, perkembangan kejahatan narkoba sangat mempengaruhi perkembangan segala aspek dalam kehidupan bermasyarakat. Kejahatan ini merupakan kejahatan lintas negara, yakni suatu kejahatan yang dilakukan secara terorganisir dan terdapat lebih dari satu yurisdiksi nasional yang dilanggar.
Kejahatan transnasional atau “Transnational Organized Crime (TOC)” merupakan fenomena jenis kejahatan yang melintasi perbatasan internasional, melanggar hukum beberapa negara dan memiliki dampak buruk terhadap eksistensi negara lain. Fenomena ini telah menjadi persoalan besar, tidak hanya di tingkat nasional Indonesia sendiri, melainkan telah menjadi bagian dari masalah yang serius dalam taraf internasional. Bahkan, berdasarkan catatan terbaru “World Drug Report” 2018, total pengguna narkoba di seluruh dunia sejak 2016 meninggal dunia sebanyak 450.000 jiwa. (Roni Gunawan Raja Gukguk & Nyoman Serikat Putra Jaya, 2019).
Kejahatan narkoba yang merupakan salah satu jenis kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan terorganisir lintas negara dapat menjadi ancaman serius karena merusak kehidupan suatu bangsa. Ancaman dari narkoba di Indonesia meliputi beberapa hal, salah satunya adalah daya rusak. Daya rusak akibat dari narkoba lebih serius dibanding kejahatan korupsi dan kejahatan terorisme karena dapat merusak otak dan tidak ada jaminan sembuh. (http://www.lemhannas.go.id).
Kejahatan narkoba sebagai kejahatan terorganisir (persekongkolan) dengan segala modus dan sistem kejahatan yang canggih, disamping sasaran korban tidak mengenal lapisan ekonomi, lapisan sosial, umur, jenjang pendidikan, dan profesi, kejahatan ini juga memiliki orientasi penghancuran masa depan generasi bangsa di dunia, termasuk di Indonesia. Kejahatan ini tidak saja memiliki orientasi keuntungan (profit oriented), tetapi juga memiliki misi penghancuran terhadap negara melalui pengrusakan fisik dan mental generasi bangsanya. Oleh sebab itu, kejahatan narkoba dengan segala dampak buruknya adalah kejahatan kemanusiaan luar biasa (extra ordinary crime) yang harus dicegah dan diberantas dengan tindakan dan cara yang luar biasa pula dalam suatu negara.
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Pelaku Kejahatan Narkoba
Sebagai bentuk komitmen di dalam memutus matarantai kejahatan narkoba yang semakin hari semakin banyak menelan korban jiwa dan harta benda, maka selain penegakan hukum pidana (kriminalisasi) yang tegas dilakukan oleh pemerintah melalui aparat penegak hukum, juga diperlukan satu kebijakan hukum pidana (dekriminalisasi) terhadap bandar, kurir, dan korban (pecandu) yang sedang menjalani proses pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Tentu, kebijakan dekriminalisasi terhadap bandar dan kurir ini secara sepintas bertentangan dengan nalar kita, mengingat bandar dan kurir seharusnya mendapatkan sanksi pidana penjara yang berat sebagai konsekuensi dari tindak pidana narkoba yang dilakukannya.
Upaya pergeseran paradigma pemidanaan yang dijalankan terhadap bandar, kurir, dan korban (pecandu) narkoba di dalam Lapas menjadi rehabilitasi medis dan sosial merupakan terobosan baru yang bertujuan agar narapidana narkoba dengan segala tingkat kejahatannya bisa diputus dan dibina secara pelan-pelan, baik ketika masih menjalani hukuman penjara di dalam Lapas atau setelah ke luar dari Lapas. Upaya memberantas kejahatan narkoba bisa berjalan seimbang (balance) antara pencegahan (deterrence), penindakan hukum (pidana penjara), dan pembinaan di luar pemidanaan (dekriminalisasi), termasuk rehabilitasi medis dan sosial yang tentunya butuh dukungan (support) oleh semua elemen, terutama dari stackholders pemerintah (pemangku kebijakan).
Dengan demikian, jika tugas pemberantasan kejahatan narkoba yang berat tersebut dilakukan oleh pemerintah melalui aparat penegak hukum dengan bersama-sama masyarakat, mulai dari kejahatan narkoba yang terkecil sampai jaringan yang paling besar, maka harapan menyelamatkan generasi bangsa dan negara Indonesia ke depan akan senantiasa terealisasi dengan baik sebagaimana harapan masyarakat yang bersambut baik dengan perencanaan dan keinginan pemerintah.
*) Advokat dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan; Pengurus DPD Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) Jawa Timur Periode 2022-2027.