Ahmad Sahidah: Dosen Semantik dan Ma’anil Qur’an Universitas Nurul Jadid
Menjadi dewasa secara luas dipandang sebagai masalah meninggalkan harapan dan impian Anda, menerima batas-batas realitas yang diberikan kepada Anda, dan mengundurkan diri ke kehidupan yang akan kurang penuh petualangan, berharga dan signifikan daripada yang Anda sangka ketika Anda memulainya. Pandangan tersebut adalah kutipan dari buku Why Grow Up oleh Susan Neiman.
Pendek kata, matang itu ditunjukkan dengan berterima pada keadaan hari ini setelah indiividu tertentu telah berusaha keras. Tentu, kedewasaan itu bersanding dengan kerja cerdas, sehingga seseorang tidak perlu membanting tulang begitu saja tanpa perhitungan. Tentu, semua ini diraih melalui perjalanan panjang dari petualangan. Itulah mengapa seseorang akan memilih untuk diam setelah meraup banyak pengalaman. Pada akhirnya, setiap orang akan berhenti mencari.
Itulah mengapa kekanak-kanakan sering dikaitkan dengan pandangan jangka pendek dan hitam putih. Padahal, kenyataannya, kehidupan itu tidak sesederhana dalam alam pikiran anak kecil sebab mereka lebih memilih untuk bermain dan berkhayal. Namun, orang dewasa bertanggung jawab agar kepolosan ini tetap menjadi bagian cara menjalani keseharian, namun perlu didasarkan pada pengetahuan.
Tatkala saya, Biyya, dan Zumi berada di depan televisi, berita pembakaran kitab suci memantik pertanyaan si bungsu. Apa yang terjadi? Oh, itu Salwan Momika, orang Iraq berkewarganegaraan Swedia, hendak membakar Alqur’an. Karena sang adik masih belum sepenuhnya memahami, saya menimpali, orang itu membakar Tartila. Baru, ia paham dan menukas “not nice”. Tentu, kami sebagai orang tua tidak mengipasi agar si anak meluapkan amarah.
Generasi baru perlu diberi jalan berpikir untuk melihat isu ini dalam banyak sudut pandang. Mereka yang membakar kitab suci telah melihat lembaran suci itu sebagai kotor dan tidak layak untuk dibaca. Jadi, secara jelas, mereka telah membakar pikirannya sendiri, sebab kami memandangnya sebagai petunjuk (hudan) untuk kesejahteraan manusia seluruh alam. Untuk itu, kami mendorong buah hati untuk belajar dan membacanya dengan usaha untuk memahaminya. Tentu, kita membelanya tidak dengan melampiaskan amarah, tetapi menyuburkan di rumah dan di lingkungan kita tinggal.
Kedewasaan beragama perlu ditimbang karena ide kebenaran mutlak itu kekanak-kanakan. Lagipula, agama itu lahir dari ruang dan waktu yang telah lalu, sehingga nuansa, lokasi, dan sejarah telah terlewati. Untuk itu, menghadirkan semua ini pada hari ini, kita perlu berhati-hati, sebab dalam agama itu sendiri ada bentuk dan isi. Keduanya bisa hadir secara serentak, namun penghayatan masing-masing orang tidak sama, sehingga siapa pun perlu menunda untuk menghakimi dengan pijakannya.
Salah satu sifat dari kematangan itu adalah kemampuan menunda. Tentu, salah satu ibadah yang mengajarkan ini adalah puasa, di mana seseorang menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang bisa dipenuhi, seperti makan dan minum. Sifat ini tidak hanya terkait dengan pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi juga kemampuan berpikir dalam jangka panjang atau yang dikenal dengan cathedral thinking. Pemikiran ini adalah pola pikir yang berasal dari abad pertengahan, yakni tentang berpikir dalam beberapa generasi, bukan satu kehidupan. Dengan demikian, perspektif itu beranekaragam dan kaya pendekatan. Dari sini, kearifan lahir, sebagai ciri lain dari kedewasaan.
Ketidakmampuan orang untuk menahan diri akan mendorong seseorang untuk bersikap seperti anak kecil, apa yang diinginkan segera dipenuhi. Untuk itu, mengajak anak-anak berpuasa sejatinya mengajarkan mereka untuk menjadi dewasa. Lebih jauh, ini juga terkait dengan tantangan hari ini, di mana dunia instan telah menjadi lubang matinya kreativitas, karena generasi baru dengan mudah untuk mendapatkan keperluannya tanpa proses dan tahapan.
Dengan melihat gaya hidup konsumerisme hari ini, betapa orang dewasa itu seperti anak kecil yang tidak melihat bahwa banyak barang yang diproduksi itu memiliki riwayat panjang. Dari eksploitasi alam, jejak karbon, dan polusi, apa yang dikonsumsi telah menghasilkan kerusakan di muka bumi. Untuk itu, berpikir kritis adalah cara kita menjadi dewasa. Jika tidak, manusia akan selamanya menjadi bayi yang secara fisik besar, tetapi psikis kecil. Apakan tidak, “kejahatan” yang dilakukan itu tanpa disadari telah melukai diri dan rumah tempat mereka tinggal.