Ahmad Sahidah: Dosen Filsafat Keuangan Universitas Nurul Jadid
Pilihan kata kediaman untuk rumah atau tempat tinggal itu menarik. Secara semantik, ia membayangkan tempat kita untuk diam dan berbeda dengan ruang luar yang mengandaikan gerak. Keadaan ini hendak menyiratkan bahwa setelah bergiat di luar, penghuni akan berdiam untuk beristirahat. Tak dapat dielakkan, membawa pekerjaan ke rumah itu tampak celaru, apabila bekerja dari rumah (Work from Home). Lebih aneh lagi, ada hotel yang bisa ditinggali serasa di rumah. Mengapa harus membayar hanya untuk merasa tinggal di rumah?
Apa pun, ada banyak perspektif untuk melihat rumah, seperti material, fenomenologi, kultural dan etis. Secara bendawi, rumah bisa dipandang sebagai kumpulan dari obyek, seperti kayu, bata, plastik, dan kaca. Pilihan-pilihan bahan tentu menggambarkan selera dan fungsi. Dulu, rumah kakek yang kami pernah tempati terdiri dari ruang teras terbuka, ruang tengah tanpa kamar, dapur dan kamar mandi. Dua jendela besar cukup menerangi ruang tengah yang tidak disekat dengan kamar.
Praktis, dengan rumah seperti ini kami tidak memerlukan banyak lampu dan colokan, karena kami tidak memiliki televisi dan radio. Demikian pula, kami hanya perlu menimba air dari sumur yang berada di belakang. Kini rumah kami menggunakan pompa dan mempunyai colokan untuk mengecas laptop, telepon genggam, kipas dan alat elektronik yang lain. Tentu, penambahan ini terkait dengan kebutuhan dan kenyamanan fisik serta psikis.
Dari sudut obyek fenomenologis, rumah dilihat sebagai ruang yang mempunyai pengaruh pada pengalaman penghuni. Ia bisa mempengaruhi persepsi dan pengalaman melalui desainnya yang mempengaruhi cahaya, suara dan lingkungan sekitar. Dengan menyediakan halaman yang luas di depan, dan sedikit di depan, kami ingin memiliki ruang bermain, yang berfungsi untuk bermain bola dan bulu tangkis. Keberadaan musala kecil tentu hendak memenuhi ajaran agama agar kita menerangi rumah dengan salat dan bacaan Alqur’an.
Tidak semata-mata sebagai ruang pribadi, ia juga seeloknya fungsi ekologis yang terkait dengan lingkungan lebih luas. Bagaimanapun, rumah merupakan bagian dari ekosistem dan memiliki pengaruh pada sekitarnya. Ia tidak hanya menuntut pentingnya desain rumah dengan keseimbangan ekologis. Apalagi, rumah adalah penghasil sampah yang turut menambah beban lingkungan. Jelas, ini merupakan fungsi etis sekaligus dari tempat tinggal kita.
Lebih jauh, seperti diungkapkan oleh Joanna Richardson, dalam Place and Identity: The Performance of Home (2019), rumah itu merupakan jaringan tempat, ruang dan identitas serta negosiasi konflik di antara mereka, karena ia bukan ruang pasti, tetapi terkait dengan tanah, keturunan, dan kebudayaan.
Richardson menegaskan bahwa “home is a cyclical construction of us. We shape home and home shapes us. Home is a feeling, not a structure. We bring home to our house. When we feel ‘at home’ we can be our true self. But home is not always a fairytale with a fixed happy ending. There are dark corners in our attempt to be ‘at home’, our house may not protect us – it may indeed feel like a trap”.
Ketika kita merasa nyaman di rumah, kita menjadi diri sendiri. Saya menggunakan kaus Swan dan celana pendek dalam beraktivitas sehari-hari, yang tidak akan melakukannya di luar. Kita memiliki dua ruang, tempat kita menjadi diri sendiri dan menyesuaikan dengan pandangan orang lain dalam membawa diri. Tetapi, meskipun kita mempunyai kebebasan, kita harus berbagi dengan anggota keluarga yang lain, termasuk tanggung jawab masing-masing. Dua anak kami bebas menempel gambar di pintu kamarnya dan tidak di tempat yang lain.
Akhirnya, keseharian di rumah akan membentuk cara berpikir, termasuk di luar kotak, di mana kadang kami makan bersama di lantai sambil bersimpuh, meskipun kami memiliki meja makan di dapur. Kediaman tetap akan mendapatkan sentuhan terus-menerus agar setiap anggota mendapatkan suasana baru. Di tengah keterbatasan, kami saling berbagi untuk menambah atau mengurangi ini dan itu agar kebaruan bisa dirasakan. Namun demikian, anak-anak akan mendapatkan apa yang mereka pikirkan sebagai jalan menikmati kesenangan, hiburan, dan pengetahuan, dan bukan apa yang harus dilakukan agar kita bisa memberikan cara bagaimana berpikir dan merasa, bukan generasi yang menerima apapun dari otoritas tanpa bertanya.
Rumah adalah tempat yang mampu membuat diri ini tenang, nyaman dan dapat menyembuhkan kepenatan. Rumah juga merupakan tempat yang akan selalu menimbulkan rasa rindu, rindu akan kenangan yang tersimpan dalam memori tak batas.