Ahmad Sahidah: Dosen Semantik dan Ma’anil Qur’an Universitas Nurul Jadid
Dalam Alqur’an, kehidupan dunia ini hanyalah main-main (la’ib)dan senda gurau belaka (lahw). Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? Surat al-An’am: 32 ini tentu perlu pembacaan lebih utuh agar pesannya tidak dipahami secara dangkal. Justru, di dunia ini kita memiliki ruang untuk serius dan fokus, serta akhirat itu adalah bonus.
Lagipula, dalam ayat lain, al-Nahl: 97, kita menemukan anjuran bahwa dengan berbuat baik dalam keadaan iman, maka Tuhan akan menganugerahkan kehidupan yang bahagia (hayatan thayyibatan). Betapa dua ayat yang berbeda ini menyampaikan pesan yang sama untuk melakukan kebaikan di dunia. Kenyataannya, manusia memiliki cara berbeda untuk memahami dan menjalani kebaikan.
Lalu, bagaimana filsafat melihat kehidupan? Dalam The Weight of Things: Philosophy and the Good Life, Jean Kazez mengurai pertanyaan besar bagaimana kita seharusnya menjalani kehidupan. Bagi Plato dan Aristotles serta filsuf sesudahnya, ini merupakan sebuah persoalan tentang “kebaikan tertinggi”, hal terakhir yang harus kita tuju. Pada abad kesembilan belas, fokus persoalan tentang yang baik lebih konkret dan intens.
Berbeda dengan abad keduapuluh, kata baik itu terlalu hambar bagi kehidupan sehingga Nietzsche mendorong pembacanya untuk hidup secara berbahaya. Penulis Those Spoke Zarathustra itu pun menulis, “Bangunlah kota-kotamu di lereng gunung Vesuvius”. Bayangkan, kita mendirikan kediaman berhampiran gunung yang pernah meluluhlantakkan kota Romawi Kuno, Pompeei. Kini, gunung di Itali itu masih mungkin “batuk” lagi.
Apa pun pijakan kita tentang hidup, pondasi yang dipilih akan menerangi jalan dalam mengambil tindakan. Kazez sendiri adalah seorang pegiat bersama suaminya di Amnesti Internasional, organisasi hak asasi manusia. Namun, sebagai orang tua baru, ia beralih untuk sungguh-sungguh menjaga kebajikan keluarga. Apakah peralihan ini lebih baik tau buruk? Justru, dari perubahan dari dunia kerja ke keluarga, seluruh dunia ke dunianya, mendorong sebuah renungan baru.
Sejauh ini, perbedaan cara melihat semestinya tidak harus menghalangi untuk mewujudkan kebaikan. Betapa bencana di dunia telah mendatangkan dukungan dan bantuan dari banyak negara yang berbeda ideologi. Ini pertanda bahwa kebaikan itu tidak dibatasi oleh sentimen ras dan agama, dua hal yang seringkali memicu pertengkaran dan perselisihan. Padahal, esensi dari ajaran itu adalah untuk berlomba dalam kebaikan serta ras itu adalah bukah pilihan, tetapi warisan.
Dalam skala kehidupan lebih kecil, kita pun tidak pernah sama dalam melihat sesuatu. Betapapun di kampung, kami jelas tidak memiliki penjelasan yang sama tentang akidah dan ibadah, tetapi kebersamaan di musala memberikan makna. Kami tidak terjebak untuk mengurus perbedaan. Ketika sang imam mendoakan agar warga sehat sejahtera dan makmur, jemaah mengaminkan. Setelah ini, mereka bersama-sama membaca Yasin setiap malam Jum’at. Dalam keadaan seperti ini, masing-masing memunyai kesempatan untuk melakukan refleksi ke dalam diri.
Bagi kami di masjid Ali bin Abi Talib, kegiatan jemaah dan Yasinan adalah ruang ibadah (bakti) dan tarbiyah (pendidikan). Anak-anak dan remaja meluangkan waktu untuk tepekur dengan berhenti sejenak dari keterpaparan pada gawai dan permainan yang lain. Di sini, kebaikan itu diajarkan untuk diam agar seseorang belajar untuk melihat ke dalam dan melihat dari dekat orang lain sejak dini. Tentu, di sini masing-masing belajar untuk memberi sebagai bentuk peduli.
Betapa menyenangkan makan bersama setelah Yasinan karena salah satu jemaah menyuguhkan “tumpeng” selamatan untuk anaknya. Di sela mengasup nasi dan lauk, kami saling bertukar cerita. Jadi, kehidupan dilalui dengan membuka diri, di mana dari sini kita bisa tahu bahwa kita menjalani hidup tidak sendirian. Kesepian itu lahir karena individu terlalu asyik dengan dirinya dan merasa bahwa gawai itu cukup untuk mengisi waktu luang.
Tentu, ada banyak kegiatan lain yang bisa mengajak setiap anggota masyarakat untuk saling merawat hubungan dan menjaga kelestarian lingkungannya masing-masing. Dengan menyangganya secara bersama, kehidupan itu bisa tertanggungkan. Bila masing-masing asyik dengan dunianya, ia sesungguhnya mengkhianati orang lain, karena apa yang dinikmati itu adalah buah dari karya liyan.
Bahkan dalam kematian, manusia masih memerlukan kehadiran jiran. Jadi, kehidupan harus dijalani dengan menimbang kebutuhan dan kenyamanan orang lain. Secara etis, batas-batas itu semakin luas, karena bumi kita satu. Jadi, tugas kita bersama untuk menjaganya agar kehidupan terus terjaga tanpa dibebani oleh perbedaan. Sebab, apa yang terjadi nun jauh di sana, bisa berakibat baik dan buruk di sini.