Keimanan

Falsafah Harian

Ahmad Sahidah: Dosen Filsafat Keuangan Universitas Nurul Jadid

KM10082023
COVER 09 AGUSTUS 2023-1@1x_1
KM07082023
KM03082023

Lagu Harga Diri Rhoma Irama adalah salah satu nomor yang saya suka. Ia tidak hanya merupakan sebuah karya yang enak didendangkan, tetapi juga direnungkan. Kita boleh lapar, tetapi tidak bisa menggadaikan keimanan. Kata terakhir ini dikaitkan dengan medan semantik lain oleh Satria Bergitar, yakni kehormatan dan kehargadirian. Tentu, kita bisa membayangkan makna iman di sini karena pelantun telah meninggalkan jejak di banyak lirik tentang dimensi lain dari bangunan Islam, yakni syariah dan akhlak.

Shabbir Akthar dalam The Qur’an and the Secular Mind: A Philosophy of Islam (2008) secara lugas mengurai tentang iman yang sering disebut di banyak tempat dalam kitab suci. Iman berbeda dengan Islam, yang berarti berserah diri pada kehendak Tuhan. Oleh karena itu, dalam surat al-Hujurat: 14, orang Baduwi yang menyatakan beriman disoal karena ia belum memasukkan keyakinan itu ke dalam hatinya. Ia masih berada dalam fase berserah (Islam). Lebih jauh, iman sering diikuti dengan seruan untuk mengerjakan amal baik.

Berbeda dengan bad faith dalam Jean Paul Sartre. Kata majemuk yang merupakan padanan dari kata asalnya mauvaise foi  adalah kebiasaan yang dimiliki orang untuk menipu diri mereka sendiri untuk berpikir bahwa mereka tidak memiliki kebebasan untuk membuat pilihan karena takut akan konsekuensi potensial dari membuat pilihan. Secara terbalik, keyakinan yang baik tentu memberikan ruang pada manusia untuk jujur pada dirinya sendiri. Pada gilirannya, ateisme sebagai buah dari kepercayaan diri yang besar tentu tidak mudah ditanggung oleh khalayak.

Baca Juga:  Kesarjanaan

Dua pondasi yang berbeda sejatinya berasal dari kehendak manusia secara umum untuk memahami dan menjalani hidup. Sebebas apa pun kaum eksistensialis hendak membebaskan dirinya dari belenggu dari luar, ia akan hidup bersama orang lain. Ia tidak bisa hidup sendirian untuk merawat eksistensinya, karena esensi itu dibuat kemudian dalam situasi yang tidak kosong. Sementara, orang beragama telah mengikatkan dirinya pada iman yang perlu ditilik lebih utuh, sebab suasana perlu dicandra.

Dalam banyak khazanah keagamaan, justru iman tidak melulu disorot dalam pengertian diskursif, melainkan praktis. Ia hadir dalam narasi bahwa keimanan seseorang tidak sempurna bila ia tidak mencintai liyan seperti menyukai dirinya. Betapa konsep filosofis Martin Buber tentang i-thou dan i-it menggambarkan kehadiran orang lain perlu dilihat sebagai manusia bukan benda. Buber percaya bahwa dua pasangan kata dasar ini sangat penting untuk memahami bagaimana seseorang merespons atau berkomunikasi dengan yang lain.

Bila keimanan diuji dengan peduli pada tetangga yang lapar tentu pesan moral yang jauh besar dari ini adalah keberpihakan kepada kemanusiaan. Ia tidak lagi dipamerkan dengan simbol-simbol yang hendak menunjukkan kejemawaan betapa tinggi kedudukan seseorang karena berdiri di atas kebenaran. Padahal, lambang-lambang itu hanya mewakili dari pesan-pesan yang perlu ditunaikan, bukan dipamerkan.

Baca Juga:  Kesantrian

Jika memindahkan onak agar orang yang lewat di jalan tak tertusuk, maka iman yang sekecil ini mengusung seruan bahwa betapa menjaga liyan agar tidak menderita jelas amal yang baik. Kalau kita memiliki kewajiban untuk tidak membuat orang lain menderita, bahkan hanya luka kecil, maka tanggung jawab yang lebih besar adalah tidak mencegah bencana yang lebih besar. Di sini, manusia mempunyai titik temu untuk merawat kehidupan.

Tentu, jalan lain agar iman bisa dipahami dari banyak sudut adalah dengan menghadirkan lawan kata ini, yakni kafir. Lema ini digambarkan sebagai bermewah-mewah dengan kekayaan dan harta bendanya (Lihat Al-Balad: 6; Al-‘Adiyat: 8). Itulah mengapa ibadah yang lahir dari keimanan semestinya muncul dari sikap kesederhanaan dan kepedulian pada kesejahteraan manusia serta kelestarian alam. Lagi-lagi, kata Rhoma Irama, dengan keimanan, hidup jadi bahagia. Tentu, keimanan itu dipahami dan dijalani secara menyeluruh.

Betapa pengertian kafir dan iman yang pada awalnya abstrak menjadi tindakan konkret dalam kehidupan sehari-hari. Pada gilirannya, apabila diwujudkan dalam perbuatan, keduanya berpapasan dengan keyakinan dan budi pekerti komunitas atau umat lain yang didasarkan pada sumber dan bahasa yang berbeda. Bila manusia secara bahu membahu merealisasikan imannya di bumi, mereka akan menyelamatkan alam dan penghuninya secara bersama-sama. Inilah pesan utama keimanan yang hari ini perlu dilaksanakan tanpa disandera dengan perbedaan masing-masing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *