Ahmad Sahidah: Dosen Filsafat Keuangan Universitas Nurul Jadid
Politicians hide themselves away
They only started the war
Why should they go out to fight?
They leave that role to the poor
Lirik di atas adalah sebagian dari lagu Black Sabbath dalam nomor War Pigs. Sebagai nyanyian yang menggugat perang, kelompok heavy metal asal Inggris itu mengkritik politisi yang memulai perang dan menyerahkan peran itu pada orang miskin. Lirik ini juga serupa dengan Bring Your Own Bom oleh SOAD. Kini suara protes itu terbentur tembok. Perang antara Ukraina dan Rusia tidak bisa dicegah oleh negara-negara besar. Demikian pula, Palestina dan Israel memasuki perang baru. Noam Chomsky menyebut negara raksasa itu kerdil.
Pertanyaan yang muncul dari perang itu adalah siapa yang jahat? Apa sebenarnya kejahatan itu? Karya yang disunting oleh William Irvin, Black Sabbath and Philosophy: Mastering Reality (2013), dapat didaras untuk menjernihkan masalah ini. Secara umum, kejahatan itu adalah sesuatu yang buruk, namun kejahatan berbeda dari sekadar kejahatan biasa karena yang buruk dapat menggambarkan apa pun yang tidak sesuai dengan keinginan kita, dari nilai yang gagal pada ujian hingga sakit gigi yang menjengkelkan. Kejahatan membawa serta tingkat bobot moral yang biasanya tidak melekat pada kejahatan belaka.
Secara umum, para filsuf membedakan antara kejahatan alamiah dan kejahatan moral. Kejahatan alamiah mencakup segala sesuatu mulai dari bencana alam, seperti angin topan dan tsunami yang menyebabkan ribuan orang tewas atau melarat, hingga penyakit pada hewan dan manusia, penderitaan yang disebabkan oleh cacat genetik, hewan di alam liar berburu dan membunuh hewan lain, dan sebagainya. Jadi, kejahatan alamiah terdiri dari peristiwa atau keadaan yang tidak menguntungkan di mana tidak ada manusia yang bertanggung jawab secara langsung.
Sementara, kejahatan moral terdiri dari tindakan dan konsekuensinya yang menjadi tanggung jawab langsung manusia, seperti perang, pembunuhan, polusi, dan sebagainya. Jenis kejahatan yang terakhir inilah yang menjadi fokus dari banyak lirik grup rock tersebut di atas. Electric Funeral menggambarkan dunia masa depan yang menakutkan dan berpotensi realistis yang dirusak oleh perang nuklir. Tidak berlebihan, kekhawatiran perang nuklir semakin dekat setelah negeri Beruang Putih mengancam Barat untuk menggunakan senjata yang sangat mematikan ini.
Tentu, perang itu juga berupa perang kecil, seperti tawuran atau adu mulut. Kadang, pertengkaran yang dipicu oleh gelegak adrenalin remaja kota berasal dari hal remeh-temeh, seperti adu pandang atau rebutan pacar. Demikian pula, konflik warga di banyak daerah dengan polisi tentara adalah perang lain yang disebabkan oleh keputusan politisi yang tidak berpihak pada rakyat. Tragisnya, pemodal dan para politisi tidak berada di wilayah yang disengketakan ketika warga dan aparat beradu fisik.
Lagu lain Black Sabbath yang layak direnungkan secara filosofis adalah “Solitude,” yang menggambarkan keputusasaan dan kesepian eksistensial. Narator rupanya telah menghancurkan hatinya secara tidak adil dan bertanya secara retoris, “Oh, ke mana saya bisa pergi dan apa yang bisa saya lakukan? /Tidak apa-apa hanya bisa menyenangkan saya pikiran tentang Anda, “dan kemudian, berbicara kepadanya mantan kekasih, meratap, “Kamu hanya tertawa ketika aku memohon padamu untuk tinggal / aku sudah tidak berhenti menangis sejak kamu pergi.” Jelas, ini semakin menegaskan absurditas, karena apa yang diinginkan dan yang terjadi berseberangan.
Lagu ini dengan sedih diakhiri dengan pengamatan bahwa “dunia adalah tempat yang sepi Anda sendirian,” sebuah situasi yang membuat narator tidak punya pilihan selain pulang dan “duduk dan mengerang,” seraya menambahkan bahwa “menangis dan berpikir adalah semua yang saya lakukan.” Rintihan Black Sabbath berhubungan dengan sisi gelap umat manusia. Tetapi untuk percaya bahwa sisi gelap ini benar-benar didorong oleh kejahatan dapat menyiratkan dua kesimpulan yang dipertanyakan.
Pertama, menurut garis pemikiran Ravi Zakharia, teolog, mengasumsikan keberadaan kejahatan adalah mengandaikan keberadaan Allah. Kedua, dan yang lebih penting, untuk melihat hal-hal buruk di dunia sebagai benar-benar jahat mewarnainya dengan cara supernatural yang pada dasarnya di luar kendali manusia, membuat kita tidak berdaya melawan hal-hal buruk itu. Kenyataannya, hingga ke hari ini, kejahatan moral senantiasa menghantui manusia. Menghadapi hal ini, Søren Kierkegaard pun hanya pasrah dengan beranjak pada fase tertinggi dari kehidupan eksistensial, religius. Iman tidak lagi menuntut ganjaran dan kesenangan, tetapi berterima pada keadaan tanpa alasan.