Falsafah Harian
Ahmad Sahidah: Dosen Filsafat Keuangan Universitas Nurul Jadid
Uyon-Uyon selalu menggetarkan. Tatkala terdengar di malam hari, justru saya merasakan pukul 11 pagi di Ngaglik Sleman tempat rumah istri. Tetangga memutar radio yang membawakan musik magis ini. Meskipun matahari naik hendak ke atas kepala, sinar itu tidak menyengat. Di ketinggian, kami merasakan angin dan udara segar. Tambahan lagi, suara gending itu membuat suasana begitu syahdu. Jawa hadir dalam kesentosaan. Belum lagi, burung terbang bebas dan bernyanyi di luar kurungan.
Tetangga itu adalah sosok tipikal Jawa dengan selera dan tradisi agamanya. Lalu, bagaimana dengan teman sekamar, Yazid, asal Johor Malaysia, yang pernah belajar di Universitas Sains Malaysia? Apakah dokter tersebut disebut Jawa tanpa bisa berbicara bahasa ibunya? Dari keturunan ibu-bapak Jawa, ia tumbuh besar di Johor dalam dunia Melayu. Namun, tradisi Jaran Kepang dan Reog juga subur di kawasan Selatan Semenanjung. Apa mungkin ada menjawa di pinggiran dan pusat?
Jika identitas Arab dikaitkan dengan bahasa baku, seperti diungkap oleh Musa Kazhim, maka Jawa bisa dihubungkan dengan bahasa resmi. Dalam ungkapan yang terakhir, nilai, norma, dan pandangan dunia bersemayam dengan utuh. Banyak karya yang mengungkapkan alam pikiran Jawa dalam kitab Serat Cebolek, Teks Kajen, dan Serat Centhini. Sejauh ini, khazanah ini hanya disimak oleh segelintir sarjana. Meskipun demikian, kutipan-kutipannya bisa ditemui dalam kegiatan sehari-hari dan tentu perilaku-prilaku orang Jawa juga disinari oleh ajaran-ajaran yang ditulis oleh para pandita itu.
Beruntung, dalam buku Falsafah Hidup Jawa: Menggali Mutiara Kebijakan dari Intisari Filsafat Kejawen (2018) yang ditulis oleh Suwardi Endraswara, kita bisa mengetahui apa dan siapa Jawa itu secara lugas. Dengan mengutip Serat Paramayoga karya R Ng Ranggawarsita, pengarang mengulang bahwa nenek moyang orang Jawa adalah hasil sinkretis Hindu Jawa dan Islam Jawa. Perpaduan keyakinan ini telah melahirkan berbagai mitos kejawaan. Lebih jauh, Claudius Ptolomaeus pernah menulis berita tentang Jawa dengan nama Jabadiu, yang berarti pulau yang subur dan mengandung banyak emas. Akhirnya, filsuf ini menyebut Jabadiu dengan Jawa Dwipa. Dunia Jawa hadir jauh sebelum ajaran luar datang.
Dengan kemampuan mengandung banyak sumber dan tinggal di tempat yang makmur, orang-orang Jawa melihat dunia dalam keluhuran budi, ketentraman hati, dan kedalaman pikiran. Tentu, ada sifat-sifat yang melekat yang dianggap buruk, seperti kebiasaan ingin menang sendiri, menjatuhkan harga diri, dan tradisi lembu peteng. Keadaan yang terakhir ini adalah memiliki anak dari orang yang dianggap terhormat. Sejatinya, karakter baik dan buruk didasarkan pada filsafat etika, yang memiliki pertanyaan besar, apakah moralitas itu mengacu pada penalaran atau kitab suci?
Dari sini, kita bisa melihat Islam Jawa sebagai sesuatu yang unik. Akal budi dan wahyu berjalan secara harmonis. Tanpa terperangkap pada kontroversi istilah tersebut, dari banyak karya yang ditelaah oleh Suwardi, ada fenomena demikian dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa. Betapapun seseorang taat menjalankan ibadah, kadang-kadang masih enggan meninggalkan ritual kejawen, berupa slametan, membakar kemenyan, dan pemujaan roh leluhur. Alih-alih bid’ah ini ditolak, para wali justru memanfaatkan seni tradisi yang populer untuk menyebarkan Islam.
Lagu Ilir-Ilir menggambarkan bagaimana dakwah itu telah menemukan tanah subur di Jawa, namun demikian sebagai tanah baru laksana pengantin anyar, cah angon (penguasa) diminta memanjat pohon belimbing (simbol rukun Islam) sehingga rakyatnya mudah mengikuti panutan. Jelas, pendakwah awal menggunakan pendekatan kultural dan struktural sekaligus. Menariknya, lagu ini hingga kini dibawakan oleh anak-anak dan dewasa dengan riang.
Setelah sekian lama, apakah kini kita bisa bersorak karena Jawa telah diislamkan? Sepertinya pembelahan zaman itu masih terbawa hingga kini. Wajah agama yang ramah dengan budaya dan tidak masih menjadi titik silang sengketa. Titik temu paling kental antara Islam dan Jawa tampak pada amalan Kitab Mujarobat. Kitab ini memuat masalah fiqih, rukun iman, ramalan, tata cara mengobati orang sakit, dan mantra. Pemurnian yang hendak mengikis tradisi ini bisa mengurangi sebagian pengaruh kuno, tetapi tetap tidak berdaya menghadapi kedigdayaan budaya yang telah merembesi batin warganya.
Apapun perbedaan itu, teladan dari Sunan Gunung Jati dengan konsep mijil (keluar) perlu ditimbang untuk diteladani, yakni kaum terpelajar tidak meloncat jauh dari pengetahuan audiens. Kemampuan Anwar Zahid menyampaikan ajaran nabi dalam bahasa Jawa sesungguhnya telah berhasil menyesuaikan pesan-pesan kebaikan dengan alam pikiran khalayak. Sementara, mereka yang mengamalkan kebatinan tidak serta merta menggeser wilayah ini kepada publik. Pendek kata, kejawaan itu berdiri di atas banyak rujukan dan memilih diksi sendiri untuk melihat manusia, memandang Tuhan dan membersamai alam.