Kelezatan

Ahmad Sahidah: Dosen Semantik dan Ma’anil Qur’an Universitas Nurul Jadid

Kata lezat seringkali dikaitkan dengan makanan. Lema yang kadang disebut maknyus dalam acara kuliner menunjukkan bahwa pengaruh asupan pada kepuasan selera begitu ketara. Bagi sebagian orang, pemenuhan ini bisa dilakukan dengan menikmatinya begitu saja, tetapi sebagian yang lain ia perlu tempat khusus dengan tata urutan, dari pembuka, utama dan penutup.

Bagi kami, kelezatan itu terkait dengan kebiasaan dan penundaan. Ketika mampu mengatur sahur dan berbuka, saya betul-betul merasakan cincau, terung bakar, dan goreng ikan tongkol di waktu magrib. Cao, sebutan orang Madura untuk cincau, adalah buatan Pak Syam. Terung itu adalah andalan menu di pondok dan ikan tongkol yang digoreng itu sering disuguhkan di rumah. Jelas, selera memiliki rekam jejak.

Tentu, gulai kambing di hari raya merupakan puncak dari cita rasa yang saya rasakan. Setiap kali menikmati gule, sebutan orang kampung, saya merasakan kenikmatan yang tidak hanya selera, tetapi jiwa. Seusai khotbah Idulfitri, kami berkumpul di teras masjid untuk menikmati sajian istimewa tersebut. Pendek kata, makanan itu tidak hanya berupa bahan yang diambil dari tanah, tetapi juga dari kepercayaan. Dengan keberkahan, kita memperoleh sesuatu yang lain dari sekadar asupan.

Lalu, apa kata David M Kaplan dalam The Philosophy of Food? Para filsuf memiliki sejarah panjang tetapi tersebar dalam menganalisis makanan. Plato terkenal merinci diet yang tepat dalam Buku II Republik. Stoa Romawi, Epicurus dan Seneca, serta filsuf Pencerahan seperti Locke, Rousseau, Voltaire, Marx, dan Nietzsche, semuanya membahas berbagai aspek produksi pangan dan konsumsi. Pada abad kedua puluh, para filsuf mempertimbangkan masalah seperti itu sebagai vegetarianisme, etika pertanian, hak pangan, bioteknologi, dan estetika pengecapan.

Betapa kebiasaan sehari-hari yang kita lakukan terkait dengan banyak isu sejak zaman klasik. Tatkala kecambah mentah dicampur ulekan terasi bakar, goreng ikan kering, nasi jagung, dan kuah kelor menimbulkan selera pada waktu kecil, itu karena saya baru bermain bola di lapangan sebelah rumah. Dalam keadaan lapar, kita bisa kalap. Jelas, secara sederhana diet ini tepat, karena menu tersebut memenuhi kebutuhan karbohidrat, sayur, dan protein. Tetapi, kini menu seperti ini hampir musnah dengan masuknya gaya hidup baru dalam masyarakat.

Di abad modern, pembahasan produksi dan konsumsi jelas menempatkan makanan sebagai komoditas. Ia tidak lagi sekadar kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, tetapi juga berkelindan dengan industri, modal, dan persaingan usaha. Lebih jauh, kesadaran etis muncul bahwa asupan itu bisa diperiksa kembali karena ia terkait dengan hak-hak binatang lain dan lingkungan. Filsuf masa kini yang sangat getol membela hak hidup hewan adalah Peter Singer, yang menuangkannya dalam karya berjudul Animal Ethics. Apalagi, kerakusan pertanian modern terhadap pupuk telah menyebabkan krisis lingkungan, yang bisa menjadi ancaman terbesar pada masa depan, termasuk penguasaan bibit oleh perusahan besar yang mendongkrak harga pangan.

Pada abad kedua puluh satu, jelas Kaplan, para filsuf terus membahas masalah-masalah di atas dan yang baru mengenai globalisasi makanan, peran teknologi, serta hak dan tanggung jawab konsumen dan produsen. Biasanya, para filsuf menyebut karya mereka sebagai “etika makanan” atau “etika pertanian”. Kini, kita bisa menikmati makanan Korea tanpa pernah melalui pengalaman di masa kecil karena tuntutan “aktualisasi diri” di era media sosial. Tidak afdal kalau kita tidak mengunggah apa yang kita makan di dinding Facebook atau Instagram.

Tentu, selera terhadap menu luar tidak memaksa pelaku usaha untuk mengimpor bahan-bahan tersebut karena akan menambah jejak karbon. Kita tentu tidak ingin menukar pemenuhan selera dengan mengorbankan kelestarian lingkungan. Belum lagi, konsumen membayar lebih mahal makanan yang seharusnya bisa diganti dengan bahan lokal. Meskipun kita tahu bahwa banyak jenis menu lain yang kita punya berasal dari negeri asing yang telah disesuaikan dengan lidah sendiri.

Apa pun, pekerjaan rumah yang mungkin masih belum dikerjakan adalah swasembada bahan pangan, seperti kedelai. Bahan tempe yang disukai oleh banyak warga ini perlu dipikirkan untuk dibudidayakan sesuai dengan tanah kita, termasuk diganti dengan kacangan serupa. Bayangkan kelezatan dari tempe mendoan, tepung yang digunakan untuk menguliti kudapan ini juga diimpor luar. Kelezatan itu sejatinya tidak hanya berhenti di lidah, tetapi juga di pikiran kita. Makanan yang tidak dihasilkan oleh tanah sendiri adalah celaru!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *