Ahmad Sahidah:Dosen Semantik dan Ma’anil Qur’an Universitas Nurul Jadid
Saya masih mengingat dengan baik kapan dan di mana saya pertama mendengar syair “Kematian” Kiai Aminullah Murad. Syiir, sebutan Madura, ini sangat menggetarkan. Ia terdengar sayup-sayup secara tidak sengaja ketika saya bermain di sawah pada waktu kanak-kanak. Saya menyangka Sayyid Amin memutarnya karena arah suara berasal dari kediamannya. Beruntung, kenangan ini bisa diselamatkan dengan pengunggahan syair tersebut di kanal Youtube. Dari sini, saya mengetahui sosok sang penulis yang berasal dari Larangan, Pamekasan, tersebut.
Tidak hanya suara, latar video yang memperlihatkan pemandian jenazah dan pengusungan keranda membuat suasana semakin mencekam. Tentu, perasaan ini tidak terlepas dari pengalaman pribadi yang membesar dalam pandangan dunia kematian yang diselimuti dengan misteri dan ketakutan. Betapa kami berlarian tatkala melewati kuburan di malam hari, meskipun pada waktu itu banyak remaja yang justru mencari jangkrik di areal pemakanan, karena binatang yang berasal dari kawasan ini ‘jago berkelahi’.
Lagu Rhoma Irama berjudul “Kematian” mengungkapkan tentang sang malaikat yang mencabut nyawa tanpa bisa dihalangi oleh apa pun. Tentu, nyanyian lain, “Sebujur Bangkai”, menampilkan kisah tatkala manusia menghembuskan napas terakhir yang tak kalah menyeramkan, bahwa setelah tubuh mayat ditanam di tanah, orang-orang tersayang akan meninggalkan kuburan dan selanjutnya badan itu akan dimakan cacing, menjadi bangkai tak berguna. Lalu, apa kata Bang Haji setelah kematian? Setiap manusia bergantung pada iman dan amal.
Adakah masih ada ruang untuk mengulik apa makna kematian? Stephen Luper dalam The Philosophy of Death (2009) mengulas bahwa kematian itu bisa ditetapkan secara klinis dan dipahami secara filosofis, dengan yang terakhir menyegarkan kembali gagasan filsafat. Kata Luper, tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa kematian adalah akhir dari kehidupan, dan kematian tertentu adalah akhir dari kehidupan suatu hal tertentu – akhir dari proses vitalnya. Tetapi komplikasi muncul mengenai gagasan tentang akhir. Seperti yang akan kita lihat nanti, komplikasi lain muncul mengenai hubungan antara berhenti hidup dan berhenti mengada (hlm. 41).
Mengada inilah yang menjadi kata kunci untuk memahami kematian. Itulah mengapa dalam sejarah evolusi upacara kematian dibarengi dengan banyak kegiatan dan aksesoris yang berbeda sebagai cermin dari pengalamannya tatkala mereka hidup. Masalahnya adakah kehidupan masih dijalani jika orang tidak lagi mengada? Inilah ruang untuk kita bersama menghadirkan eksistensi otentik. Setiap orang secara eksistensial menjalani individualitas, nilai, dan kebebasan pribadinya. Sejauh ini, kerumunan justru memenangkan pertarungan di antara pencerahan dan penggelapan dalam menelusuri hidup.
Mereka yang betul-betul hendak memikirkan hidup yang asli agar bisa mewujudkan keyakinannya, pada kenyataannya mereka akan berkompromi dengan banyak aturan yang dianggap sebagai kebiasaan. Ketika orang mati dilarang untuk disakiti sebagai pesan untuk menghormati manusia, maka kita juga pada waktu yang sama jangan membebani keluarga si mati. Namun, kenyataannya kematian anggota keluarga telah menjadi beban baru karena biaya sosial yang harus ditanggung. Jika hendak menjaga kehidupan, semestinya kematian mendatangkan kesadaran agar ia menjadi akhir bagi seseorang untuk memberikan jalan bagi orang terdekat dan orang lain dengan kehidupan yang lebih baik.
Apalagi, dasar etis dari amal baik dalam agama, salah satunya, adalah menjaga kehidupan (hifzh al-nafs). Ini bisa dilakukan dengan amal baik kita yang berupa dorongan untuk akses publik pada pelayanan kesehatan dan lingkungan yang aman dan sehat. Artinya, kematian itu akan dihadapi dengan tenang apabila manusia menjaga kehidupan dengan baik. Tanpa ini, kematian akan menjadi tragedi dan penderitaan yang menguras tenaga dan pikiran. Selagi hidup, setiap orang akan berusaha untuk menjaga tubuhnya agar bisa menyangga badan sebelum akhirnya ruh meninggalkannya secara alami.
Dari sini, apa yang diungkapkan oleh Kierkegaard menyentuh, bahwa karena kekhidmatannya yang luar biasa, kematian adalah cahaya di mana nafsu besar, baik dan buruk, menjadi transparan, tidak lagi dibatasi oleh penampilan luar. Apa pun yang menempel pada kita tanggal di kala nyawa terpisah dari badan. Manusia akan dilihat begitu jelas, apakah dia telah mewariskan sesuatu yang baik untuk sekelilingnya. Tetapi, maukah setiap individu mau belajar dari kematian?