Kemiskinan 

Ahmad Sahidah : Dosen Semantik dan Ma’anil Qur’an Universitas Nurul Jadid 

Diogenes Laertius sering dikutip untuk menunjukkan bahwa kemiskinan itu bukan bencana. Dengan hanya berumah di guci besar di tepi pasar Athena dan tak memiliki apa-apa, ia menjalani hidup dengan bahagia. Tetapi, keadaan ini memang dipilih secara sadar. Filsuf yang dianggap suka nyinyir itu tinggal sendirian. Gaya hidupnya mungkin bisa diterima karena ia tidak menanggung nafkah keluarga. Lagi pula, ia bergantung pada belas kasihan orang lain untuk bisa makan. Apakah cara ini bisa menjadi pilihan khalayak? Jelas, tidak. 

KM10082023
COVER 09 AGUSTUS 2023-1@1x_1
KM07082023
KM03082023

Kemiskinan di atas bukan lahir dari ketidakberdayaan, tetapi pandangan dunia. Namun, hidup dalam keseharian tetap mengandaikan relasi produksi dan konsumsi, di mana ada kelas pemodal dan pekerja yang menyuburkannya. Pasar tak jauh dari rumah Diogenes bisa berfungsi apabila ada orang yang bekerja, mengawasi, mengatur dan mengembangkan tempat berdagang menjadi ruang produktif bagi semua pihak, bukan segelintir. Tidak dapat dielakkan, sistem ekonomi apa pun, ada dua pandangan yang perlu ditimbang, Sloterdijk dengan gagasan distribusi kekayaan pada orang yang memerlukan dan Piketty dengan peningkatan besaran pajak untuk orang kaya. 

Kenyataannya, hingga kini kita harus menghadapi banyak orang yang terpaksa hidup dalam kekurangan. Keadaan ini tentu tidak diselesaikan dengan mendengar lagu Rhoma Irama “Kaya Hati”. Lagu yang dibawakan bersama dengan Rita Sugiarto tersebut menggambarkan bahwa kemiskinan itu tidak menjadi soal, apabila manusia kaya hati. Sebagai karya estetik, ia mungkin enak didengar, tetapi sulit untuk dijalani. Selagi kehendak untuk menjalani keseharian, setiap individu atau keluarga harus memenuhi kebutuhan dasar dan lanjutan. 

Baca Juga:  Kewirausahaan 

Untuk itu, dalam The Poverty Dynamics: Interdisciplinary Discipline (2009), Tony Addison, David Hulmen, dan Ravi Kanbur mengumpulkan banyak gagasan dari para sarjana dengan latar belakang yang beranekaragam, seperti ekonomi pembangunan, antropologi, pembangunan urban, kebijakan pembangunan, dan termasuk pegiat yang turun ke lapangan untuk mengatasi isu kemiskinan di banyak belahan dunia. Pendek kata, teori dan praktik harus berjalan serentak agar musuh bersama dikalahkan secara telak. 

Kata Addison, ada tiga bidang utama di mana kemajuan harus dibuat jika kita ingin memperdalam pemahaman kita tentang mengapa kemiskinan terjadi, dan secara signifikan meningkatkan efektivitas kebijakan pengentasan kemiskinan. Pertama, kebutuhan penelitian kemiskinan untuk fokus pada dinamika kemiskinan — selama perjalanan hidup dan lintas generasi. Sekarang ada penerimaan luas bahwa analisis statis memiliki kekuatan penjelasan yang terbatas dan dapat menyembunyikan proses yang penting bagi masih adanya kemiskinan dan/atau penghapusannya.

Kedua, ada kebutuhan untuk memindahkan upaya untuk mengukur dinamika kemiskinan di luar sekadar pendapatan dan konsumsi menjadi lebih banyak konsep multidimensi dan ukuran kemiskinan. Ini semakin umum dalam analisis statis tetapi jarang terjadi dalam pekerjaan pada dinamika kemiskinan. Ini mungkin melibatkan aset atau, lebih ambisius, menggunakan konsep pembangunan manusia atau kesejahteraan.

Ketiga, pada saat yang sama ada konsensus yang berkembang bahwa pemahaman menyeluruh tentang kemiskinan dan pengurangan kemiskinan memerlukan penelitian lintas disiplin, menggunakan kekuatan berbagai disiplin ilmu dan metode, dan pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk analisis kemiskinan. Secara teoritis, tiga bidang ini tentu lahir dari penelitian lapangan, sehingga ia bisa menjadi rujukan dari banyak pihak bagaimana kemiskinan bisa dientaskan agar manusia bisa hidup dengan nyaman, tentram dan sejahtera. 

Baca Juga:  Kesentosaan 

Berdasarkan catatan di atas, jelas isu kemiskinan terkait dengan isu kemanusiaan universal, bukan dipicu oleh identitas primordial. Lalu, mungkinkah keyakinan agama bisa menjadi jalan keluar dari persoalan abadi? Mengingat keimanan harus diwujudkan dengan kebajikan (amal saleh), semestinya kesadaran beragama harus berbuah keberpihakan. Pengorbanan di hari raya Iduladha tidak hanya berhenti pada ritual penyembelihan hewan di hari tasyriq, sebab darah dan daging itu tidak sampai pada Tuhan. Takwa adalah tujuan dari kurban dengan berbagi kebaikan pada orang yang miskin sepanjang masa. 

Jadi, ekonomi kurban semestinya menjadi kajian lintas disiplin, agar manfaatnya betul-betul lestari. Dengan menimbang kehadiran Islam di Nusantara yang sudah berabad-abad, swasembada daging itu dilihat sebagai perantara untuk menaikkan taraf hidup peternak dan melestarikan lingkungan dalam jangka panjang. Penyediaan daging tidak bisa diserahkan pada pemodal untuk mewujudkan industri pemeliharaan hewan dan pengolahan daging yang menyumbang pada pemanasan global. Pendek kata, agama membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan, baik lahir dan batin. Iduladha adalah momen untuk mewujudkan jaringan sosial dan solidaritas lebih luas. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *