Oleh: Alim Witjaksono*)
Manusia adalah makhluk yang berhati nurani dan berakal budi, dan ia diberi hak dan keleluasaan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Sastrawan dan filosof Prancis, Jean Paul Sartre berpendapat bahwa perbuatan manusia akan dikatakan “bermoral” manakala pelakunya bertindak bebas sesuai dengan kehendak pribadinya. Kebebasan yang menjadi sumber nilai moral berakibat pada pemahaman bahwa kebebasan layak menjadi hakim dalam menentukan apa yang baik dan buruk, bahkan benar dan salah. Filosof dan sastrawan Albert Camus (juga dari Prancis), akhirnya berkesimpulan bahwa kebebasan bukan hanya sebagai sumber nilai, namun sekaligus hadir sebagai pencipta dari nilai-nilai kehidupan manusia.
Terkait dengan ini, Nietzsche (Jerman) lebih tajam lagi mengungkapkan bahwa hanya manusia bebaslah yang dapat memberi makna dan nilai kepada hidupnya. Gagasan para pemikir dan filosof itu bertolak dari pengamatannya akan kehidupan masyarakat (khususnya Eropa) di abad pertengahan, ketika para bangsawan dan aristokrat memakai kewenangannya yang mutlak untuk menciptakan nilai-nilai, meskipun dimaksudkan untuk menjaga stabilitas dan kemaslahatan.
Hasil dari analisis dan pengamatan para filosof Eropa, yang kemudian diadopsi oleh kaum intelektual dan sastrawan Asia (termasuk Indonesia) menegaskan bahwa ikhtiar untuk bertindak bebas adalah fitrah kecenderungan pribadi (self-actualization) guna memperjuangkan apa yang mereka harapkan dan cita-citakan di kemudian hari. Dan fokus utamanya adalah pencarian identitas demi untuk perbaikan bagi kelestarian eksistensi peradaban manusia itu sendiri.
Saat ini, generasi milenial lebih cenderung pada pendapat Sigmund Freud hingga Erich Fromm, bahwa dengan cinta dan kebebasan, manusia bisa memiliki kekuatan dan integritas, yang memungkinkan ia dapat menguasai alam, mengasah akal budi, dan menciptakan relasi solidaritas dengan sesamanya. Dengan demikian muncullah adagium, bahwa cinta dan kebebasan seakan dapat mengantarkan manusia kepada nilai-nilai martabat yang lebih tinggi, bahkan bermoral dan bertanggungjawab.
Manusia bebas
Kehadiran “manusia bebas” dalam menentukan nilai-nilai boleh jadi akan berpengaruh baik bagi kepentingan diri sendiri, namun akan berdampak buruk bagi kepentingan sesamanya. Dunia bebas akan berproses dan bermuara pada tindakan yang sewenang-wenang, sulit dipahami oleh nalar dan akal sehat. Kebebasan mutlak tentu akan berpotensi menghadirkan ketidakadilan, yang mengarah pada sifat irrasional serta penyangkalan akan nilai-nilai kemanusiaan. Jadi pada prinsipnya, kebebasan yang tidak terarah pada suatu nilai apapun, justru tidak akan memiliki nilai. Ia harus dibatasi oleh nilai-nilai etika dan moral, seperti solidaritas terhadap sesama, keadilan, kejujuran, kesetiaan, keberanian, kemurnian hati dan seterusnya.
Kebebasan mutlak yang membela kepentingan individu akan berseberangan dengan kemaslahatan yang lebih memperjuangkan kepentingan banyak orang (kemanusiaan). Inilah yang mendasari pemikiran spiritualis Gandhi (India), bahwa seorang nasionalis belum tentu bisa menjadi humanais, akan tetapi seorang humanis sudah mencakup sebagai nasionalis juga. Hal itu berlaku pula bagi mayoritas orang Indonesia, bahwa seorang humanis sudah tentu bersikap islami, tetapi orang yang terpaku pada aturan-aturan baku keagamaan, boleh jadi akan menyimpang dari nilai-nilai humanitas.
Untuk itu, kita telah memasuki prinsip kebebasan individu yang dipegang teguh oleh pendapat para pemikir dan filosof Barat di atas, khususnya mengenai “eksistensialisme humanis”, apakah ia masih relevan dalam konteks pemikiran masyarakat global di era milenial ini?
Prinsip kebebasan individu yang merupakan hak bagi dirinya, pada gilirannya takkan terbebas dari nilai-nilai universalitas. Penyair Afrizal Malna yang mengutip tulisan Hafis Azhari (Memoar Joesoef Isak), pernah menyangsikan prinsip kebebasan dalam sistem pemerintahan Indonesia, yang berujung pada “penghakiman” terhadap orang-orang tak berdosa, hanya untuk memenuhi selera dan hawa nafsu publik.
Yang menjadi problem pada pemikiran “eksistensialisme humanis” justru terletak pada pengembangan diri dan kepentingan ekonomi individu dan orang-orang di sekelilingnya, meskipun mereka sudah terbilang cukup dan makmur. Sementara, mereka yang tidak berada dalam barisan kelompoknya akan dikategorikan sebagai pihak yang tak mau berbaris dalam jargon “modernisasi” dan kehendak bebas (liberalisme).
Lalu, dari manakah sumber-sumber dana yang menjadi modal kapital kaum terpelajar itu, kalau bukan dari menumpuk harta, yang secara kultural dan struktural dihasilkan oleh kolonialisme dan imperialisme yang diagendakan leluhur mereka selama berabad-abad?
Teknologi dan kebebasan
Sastrawan Yogyakarta, Y.B. Mangunwijaya pernah memperingatkan bahwa teknologi, terlebih di dunia militer dan luar angkasa, pada gilirannya akan menjelma raksasa-raksasa kapital yang hanya mementingkan kelompok (negara adidaya) sebagai lapisan paling atas. “Manusia terus menerus merancang teknologi terbaru, sampai pada waktunya mereka menciptakan sistem agar manusia bergantung kepadanya,” tegas Y.B. Mangunwijaya.
Dalam edisi 12 Juni 2023 lalu, majalah Time menampilkan teks dalam cover depannya, ”The End of Humanity”, yang diilustrasikan dengan gambar monyet yang berevolusi menjadi manusia, lalu manusia juga berevolusi menjadi robot-robot. Kekhawatiran bahwa teknologi AI (artificial intelligence) akan menggerus dan mendegradasi derajat dan nilai-nilai kemanusiaan bukanlah perkara baru. Bertahun-tahun setelah televisi swasta merebak sejak era 1990-an, kita pernah khawatir bahwa televisi akan mendikte cita-rasa dan hajat hidup manusia Indonesia. Bahkan, di Amerika sendiri, sejak era 1970-an dunia pertelevisian dianggap sebagai candu masyarakat (the opium of the people).
Kini, dunia AI telah membuka peluang bagi kebebasan yang tanpa batas. Kita khawatir, AI bukan cuma mengatur hidup manusia, melainkan juga mendehumanisasi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Kualitas moral akan merosot, karena dengan keberadaan AI, manusia akan dianggap seonggok daging yang menghimpun data di dalam otaknya (datafication of human).
Pada prinsipnya, jurnalis dan sastrawan yang menulis berdasarkan algoritma bukanlah manusia kreatif, melainkan hanya manusia instan. Menurut Hafis Azhari selaku penulis novel Pikiran Orang Indonesia, “Jika tanpa diimbangi dengan kekuatan moral dan etika, kreativitas dan pikiran manusia Indonesia akan mudah dikendalikan oleh AI, yang pada gilirannya mereka hanya akan menulis serba instan, dan bukan lagi berkarya demi keabadian.”
Namun demikian, Hafis menambahkan bahwa dunia artificial intelligence tak ubahnya dengan penemuan telepon, radio dan televisi. Kekhawatiran bahwa AI melakukan dehumanisasi bisa dibenarkan, meski kita tak perlu kita merasa takut secara berlebihan. Bagaimanapun, kita semua memerlukan teknologi untuk membantu dan memudahkan hajat hidup, serta untuk meningkatkan kapasitas perikemanusiaan kita.
Dalam terminologi agama, sehebat apapun penemuan teknologi, tetap harus diimbangi dengan nilai-nilai etika dan ketakwaan. Ada “kekuatan Tuhan” di balik segala kecanggihan teknologi itu. Bagi yang memanfaatkannya secara tidak adil dan sewenang-wenang, niscaya pelakunya akan dihakimi oleh imajinasinya sendiri. Untuk itu, prinsip ketakwaan dan keadilan yang diamanatkan para bapak bangsa, agar kita dapat mencintai bangsa ini, sambil memupuk solidaritas dan kesetiakawanan terhadap bangsa-bangsa lainnya.
*Pengamat sosial dan peneliti sastra mutakhir Indonesia, menulis esai dan prosa untuk media-media nasional, cetak dan online