Ahmad Sahidah
Dulu, video viral tentang santri yang menutup telinga ketika mendengar musik Barat mengguncang khalayak. Ada banyak respons terhadap peristiwa ini, baik yang berterima, bertanya, dan menyoal. Yenny Wahid meminta warga tidak mengecap radikal atau kafir terhadap mereka. Tanpa memeriksa secara cermat, mungkin sebagian orang akan mengaitkan sikap ini dengan Taliban, yang melarang musik.
Potret santri di atas tentu tidak mencerminkan seluruh pandangan santri. Bagaimanapun, salah satu sumber dari prilaku dan pemikiran kaum sarungan ini adalah kitab kuning. Secara umum, kitab yang diajarkan di pesantren adalah tasawuf (mistisisme), fikih, hadits, tarikh (sejarah) dan Alqur’an. Sebagai mantan santri, saya belajar banyak jenis kitab kuning tersebut di sebuah pesantren. Pemahaman secara ideal memang mesti mendorong tindakan. Tetapi, pengertian terhadap teks itu rumit.
Fikih, misalnya, mengulas ibadah dan muamalah (hubungan sosial dan ekonomi), seperti diurai dalam Fathul Mu’in dan Kifayatul Akhyar. Meskipun demikian, bab jinayah (kejahatan) tidak mendorong santri untuk memaksakan agar diterapkan, karena hukum potong tangan masih bisa diperiksa kembali sesuai dengan konteks yang lebih luas. Apalagi, hubungan patron-klien kiai santri yang didasarkan pada keadaban turut mewarnai prilaku santri. Kebanyakan kiai memiliki pandangan moderat (tawazun).
Malah, kaum santrilah yang berusaha untuk mengembangkan ekonomi Islam sebagai praktik nyata dari bab muamalah. Namun tidak semua pondok dan santri menggunakan bank tanpa bunga, tetapi juga turut menjadi nasabah bank konvensional. Perbedaan terhadap hukum bunga bank ini sememangnya merupakan wujud dari ikhtilaf (Perselisihan) pendapat yang sering ditemui dalam kitab fikih. Jika keanekaragaman mendapat tempat, maka radikalisme adalah ideologi yang tidak tepat.
Kita tidak bisa serta merta menolak kaitan Arab dengan prilaku teror, tetapi tidak dalam hubungan kausalitas. Bagaimanapun, pelaku teror, yang sebelumnya bernama bukan Arab, sering menggunakan nama kearab-araban untuk menunjukkan eksistensinya. Bahkan struktur organisasi terorisme menggunakan istilah Arab untuk menyebut daerah teritorial dengan mantiqi dan sang pemimpin sebagai amir.
Kegagalan mereka membedakan bahasa sebagai alat dan tujuan menyebabkan mereka mengaitkan sebuah tindakan dengan perkataan secara tidak hati-hati. Seperti kata Lao Tse, filsuf China, bahasa itu seperti jala, dan makna itu laksana ikan. Secara hermeneutik, tafsir itu tidak berhenti pada bahasa semata-mata, tetapi pokok persoalan yang menjadi dasar dari pesan utama.
Di dalam tradisi Islam sendiri, keindahan surga bahkan tidak bisa digambarkan dengan suara dan huruf. Tentu, abstraksi pada kesenangan itu merupakan tanda simbolik, yang tidak mudah disampaikan pada khalayak luas. Kenikmatan bagi orang awam lebih mudah dipahami dan dialami secara fisik. Sehingga, pahala surga dan dosa neraka dilihat sebagai anugerah benda dan hukum fisik.
Dari uraian di atas, kedudukan santri tentu berada pada posisi sebagai pencerah di banyak lapisan masyarakat dalam memahami agama, yang tidak hanya didekati dengan ilmu-ilmu keagamaan per se, tetapi juga ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Dengan demikian, kepercayaan seseorang dan masyarakat bisa diteliti sebagai fenomena sosial dan fakta ekonomi-politik. Pendek kata, sikap keagamaan itu sendiri bisa dilatari motif sekuler, bukan sakral.
Kehadiran Taliban jelas membuka tabir ideologi keagamaan secara pragmatis. Kelompok pelajar ini menjalin hubungan dengan Iran, negara bermayoritas Syiah. Padahal, sebelumnya Taliban dikenal sangat kejam pada minoritas Hazara, penganut Syiah Afghanistan. Belum lagi, hubungan mesra dengan Republik Rakyat China memperlihatkan bahwa kekuasaan itu bisa membenarkan apapun, yang pada dasarnya corak keagamaan Taliban berbeda secara diametral dengan RRC.
Bagaimanapun, kesadaran kritis perlu dipupuk oleh kaum santri. Mereka tak semata-mata melihat agama sebagai institusi kaku, tetapi dasar etis dalam bersikap dan bertindak atas banyak isu. Forum Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) adalah organisasi santri yang memberikan advokasi pada warga yang berhadapan dengan kuasa modal dalam merebut akses pada sumber alam dan tanah. Kehadirannya adalah kepanjangan dari gagasan praktis fikih.
Dari sini, radikalisme sejatinya merupakan sisi lain yang bisa diterima ketika dasar keagamaan dipahami dalam pengertiannya yang radix, asal kata radikalisme, yang berarti akar. Dengan pemahaman yang utuh terhadap tujuan syariah, yakni untuk menjaga agama (al-din), jiwa (al-nafs), harta (al-mal), keturunan (al-nasl), dan akal budi (al-‘aql), sejatinya ajaran ketuhanan itu untuk menyelamatkan hidup manusia. Betapa absurd apabila perjuangan santri mengartikan radikal sebagai menolak perbedaan, apalagi menggunakan kekerasan.
Akhirnya, fikih yang dilihat sebagai ajaran resmi dalam sehari-hari harus dilihat dalam kaitannya dengan iman dan akhlak. Menariknya, kata iman yang abstrak seringkali dicontohkan dengan tindakan konkrit, semisal peduli pada orang lapar dan baik dengan tetangga. Tentu, akhlak sebagai titik kiri bawah dari piramida pokok-pokok keislaman merupakan seruan yang menjagai keseimbangan dari syariat. Betapa puasa yang wajib (hukum) bisa diganti dengan memberi makan pada fakir miskin (etika). Jadi kitab kuning dan bahasa Arab itu bukan tujuan, tetapi alat untuk mewujudkan risalah Nabi, yakni menyempurnakan budi pekerti. Inilah tugas santri.