Ahmad Sahidah: Dosen Filsafat Keuangan Universitas Nurul Jadid
Pada tanggal 10-11 Februari 2022, saya mengikuti Muktamar Pemikiran Ma’had Aly se-Indonesia di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Acara ini diikuti oleh 20 peserta dari seluruh negeri, yakni Aceh, Sulawesi, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di malam pembukaan, dua pembicara utama, Ustaz Miftahur Surur dan Ustaz Salman Alfarisi menyentuh soal kesarjanaan agama (tafaqquh fiddin) dalam Al Qur’an dipercayakan pada segelintir (tha’ifah), sementara ajakan pada kebaikan (dakwah) diamanahkan pada umat. Sementara, intelektual profetik Syariati yang mengacu pada nilai agama untuk mengubah masyarakat lebih relevan dibandingkan intelektual organik Antonio Gramsci.
Selanjutnya, secara maraton, setiap peserta membentangkan kertas kerja yang telah ditetapkan oleh panitia. Di sini, kesarjanaan itu diuji. Masing-masing tidak hanya menyampaikan pikiran, tetapi juga menerima sanggahan dari peserta. Betapapun setiap penyampai pikiran meyakini hujahnya, ia harus terbuka pada pemahaman orang lain untuk mewujudkan komunikasi yang efektif. Tentu, kehadiran moderator, Ahmad Hirzan Anwari dan Kholilah menjadikan diskusi hidup sekaligus dibatasi agar konsensus minimal bisa diraih.
Apalagi, materi yang disampaikan beraneka ragam dengan pelbagai pendekatan yang berbeda sesuai dengan spesialisasi (takhassus) yang diambil oleh peserta, seperti fikih, ushul fiqih, tasawuf, dan tafsir. Tentu, dengan latar belakang penguasaan yang luas terhadap turats (kitab kuning), mereka juga akrab dengan pemikiran Barat. Dengan demikian, dalam percakapan mereka hendak mendialogkan banyak kutub mazhab dalam menyoroti banyak isu dan hukum. Seraya memperluas arena perbincangan, hakikatnya mereka hendak membuka ruang pembahasan yang tidak hanya berkutat pada dunia mereka sendiri, tetapi bagaimana dunia lain turut bersama-sama untuk memecahkan masalah kemanusiaan.
Salah satu dari mahasantri yang hadir adalah A Faiqih Faqih yang membandingkan konsep hifz al-mal (menjaga harta) dan hifz al-nafs (menjaga jiwa) dengan konsep keadilan Redistribusi dan Rekognisi Nancy Fraser. Di sini, harta tidak lagi dipahami secara tradisional dan diri dikaitkan dengan pengakuan identitas untuk mendudukan seseorang nyaman dengan keadaan dirinya. Tentu, perluasan makna tersebut penting diketengahkan agar tujuan pemberlakuan syariah (Maqasid al-Syariah) tidak dibatasi oleh barbarisme spesialisasi, sebagaimana diingatkan Jose Ortega Y. Gasset.
Lebih jauh, kesarjanaan tidak hanya sebatas ilmu sosial, tetapi juga sains. Kehadiran Dodo Widarda dari Ma’had Aly Takhassus Ilmu Falak dan Astronomi mendorong peserta lain bahwa banyak ibadah keagamaan memerlukan panduan ilmu eksakta. Tentu, pengembang ilmu bintang (bukan nujum) tidak hanya sekadar berkisar soal penentuan waktu salat, perhitungan awal puasa, idulfitri dan iduladha, dan penentuan gerhana, tetapi juga pemahaman terhadap fenomena alam akan memastikan pengetahuan iklim untuk kepentingan pertanian dan reservasi lingkungan. Dengan demikian ihyaul mawat, bab fiqih tentang menghidupkan tanah, tidak hanya soal klaim kepemilikan, tetapi lebih jauh untuk mewujudkan kesadaran lingkungan pada khalayak.
Tantangan lain yang dihadirkan adalah bagaimana mengkontekstualisasikan fikih siyasah dengan praktik kekuasaan hari ini. Bagaimanapun, karya ulama tentang kekuasaan, seperti al-Ahkam al-Sulthaniyyah Mawardi lahir di zaman kerajaan. Oleh karena itu, karya yang lebih baru seperti Nizham al-Hukm al-Islamy oleh Yusuf Musa Muhammad akan mendudukan pembahasan fikih bisa secara leluasa menyorot produk baru dari undang-undang, seperti fasilitas pejabat publik yang didasarkan pada kepatutan, kewajaran, dan kemasukakalan. Pembatasan secara kuantitatif dalam peraturan tentu berbanding terbalik dengan ongkos untuk memenuhi kebutuhan layak bagi pejabat publik dipersoal, karena kewajaran itu subjektif. Semisal seorang konsul Jepang Surabaya menggunakan MPV ketika berkunjung pondok Nurul Jadid, sementara konsul Indonesia di Malaysia menggunakan Mercedes Benz dalam kunjungan kerja di Semenanjung.
Sayangnya, ruangan terbatas ini tidak mungkin untuk menyajikan 17 kertas kerja yang lain. Namun secara keseluruhan, obyek penelitian berkisar soal sehari-hari umat, seperti kekerasan dalam rumah tangga terkait konsep nusyuz, fikih industri (tashni’) dalam usaha mengembangkan narasi syar’i dan produk halal, kajian perbandingan dopamine fasting 2.0 dan fikih tadarruj dalam menangani kecanduan gawai, serta kenikmatan ibadah di bawah bimbingan ulama. Tema terakhir yang dibawakan oleh Siti Nurjamilah dari Ma’had Aly Idrisiyah Tasikmalaya layak dicermati di tengah kecemasan sering menghantui orang-orang yang terpapar pada fasilitas, seperti pusat belanja, gawai, dan hiburan. Betapa celaru (absurd) ternyata banyak orang tidak bahagia di tengah kelimpahan kenikmatan.
Akhirnya, tesis bahwa menjaga harta itu menjadi dasar utama dari upaya untuk mewujudkan pemeliharaan terhadap jiwa, agama, keturunan, dan akal problematik. Pernyataan yang terlontar dalam sesi pembahasan merupakan pekerjaan rumah lebih jauh karena ia mudah disergah sebagai kepanjangan dari perbedaan infrastruktur dan suprastruktur Marxian. Namun, satu hal yang perlu ditegaskan bahwa kesarjanaan itu menempatkan perdebatan sebagai jalan, bukan tujuan, untuk mendapatkan kesepakatan. Nah, di sinilah kedewasaan dan kematangan mutlak.