Ahmad Sahidah: Dosen Filsafat Keuangan Universitas Nurul Jadid
Tatkala Amin Mudzakkir mengulas bukunya Feminisme Kritis: Gender dan Kapitalisme dalam Pemikiran Nancy Fraser di kampus kami, sebagai moderator saya berseloroh bahwa hakikatnya kesetaraan di kampung kami bukan hal yang aneh. Seorang suami menggendong bayi sambil mengantarkan anaknya ke sekolah. Seorang istri menyiram tembakau dengan ukuran timba yang sama dengan pasangan hidupnya. Pembagian kerja yang selama ini dibedakan sebagai urusan publik dan domestik tidak lagi dibedakan dalam keseharian mereka. Meskipun demikian, masih banyak kebiasaan yang mewarisi adat istiadat yang menempatkan lelaki di depan dan perempuan di belakang.
Pandangan hitam putih soal kesetaraan memang tidak bisa dihindari sebab kebudayaan yang tertanam kuat mendudukkan posisi seseorang berdasarkan pada banyak variabel, seperti kepolitikan, kemasyarakatan, dan keagamaan. Meskipun Zeno, tokoh Stoa, yang sering saya kutip dalam kuliah etika di Universitas Utara Malaysia, bahwa manusia itu setara, tetapi, sistem patriarki di Yunani menyodorkan potret betapa lelaki telah menentukan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari. Hingga kini, wajah dunia masih menunjukkan dominasi pria dalam banyak urusan.
Kesetaraan hakikatnya membawa pesan yang jauh lebih luas daripada sekadar satu orang satu suara dalam demokrasi. Malangnya, kekuasaan bisa ditunggangi oleh segelintir orang yang dikenal dengan oligarki. Demikian juga, kesetaraan yang disejajarkan dengan equality sehingga kita mengenal equal before the law, menunjukkan keadilan itu tegak di atas kebenaran, bukan kekuasaan. Namun, kadang wajah hukum kita tumpul karena mereka yang berduit bisa mengatur hukuman, sementara orang yang fakir harus menerima tajamnya keputusan hakim yang lancung.
Keadilan sebagai pertaruhan terakhir dari kesetaraan seringkali mengalami jalan terjal karena ia tegas di titik A dan harus menemukan kezaliman di titik selanjutnya. Betapa hukum yang ditetapkan di meja hijau tidak berlaku di penjara tempat pesakitan menjalani hukuman, karena ia akan mendapatkan perlakukan berbeda dari penjara sebab bisa membayar untuk mendapatkan fasilitas. Pendek kata, ia berbeda dengan orang lain karena menyuap petugas.
Lalu, apa sebenarnya setara secara intrinsik? Di dalam kehidupan modern, hierarki itu adalah keniscayaan yang menopang kehidupan di dunia pekerjaan. Setiap orang akan mendapatkan apa yang sepatutnya dengan status yang disandangnya. Tidak dapat dielakkan, kita mengenal istilah VIP, bahkan VVIP. Pengaturan ini sebenarnya bukan pembedaan, tetapi pengurusan ruang. Dengan status ini ia akan mendapatkan akses lebih mudah, misalnya ia bisa langsung ke lokasi acara tanpa berjalan jauh. Kesetaraan itu adalah soal keterbatasan. Tetapi, sebagai manusia ia sama dengan yang lain untuk berada di satu tempat dalam sebuah acara dengan peran yang berbeda.
Menariknya, pembawa acara bisa mengatur siapa pun yang hadir dalam kegiatan tersebut. Di sini, ia bisa menyuruh hadirin untuk melakukan apa yang dia ucapkan. Jelas, di satu sisi mungkin statusnya lebih rendah dari pembicara, tetapi di sisi lain ia bisa membatasi apa yang harus dilakukan oleh “petinggi”. Jadi, kesetaraan itu bukan keadaan di mana orang tidak menyadari fungsinya dalam kegiatan, termasuk dalam kehidupan lebih luas. Buruh yang menjadi unsur paling bawah dalam struktur kerja, ia mungkin hanya perlu waktu bekerja lebih sedikit dibandingkan dengan manajer, bahkan pemiliknya mungkin akan memikirkan perusahaan jauh lebih berat dibandingkan yang lain.
Lebih jauh, sesungguhnya kesetaraan bisa dikaitkan dengan dua istilah kunci dalam Fraser dengan rekognisi dan redistribusi. Moh Soleh, mahasantri Ma’had Aly Situbondo, mengaitkan dua konsep ini dengan hifz al-nafs (menjaga diri) dan hifz al-mal (menjaga harta) untuk mendorong setiap manusia merasakan kedudukan yang sama dengan orang lain dan memiliki akses pada ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Atas kesadaran inilah, kesetaraan lebih jauh tidak hanya bertindan dengan soal equality, tetapi juga equity (the quality of being fair and impartial), yang mendorong manusia untuk berusaha mencari tujuan hidup dan bekerja sekuat tenaga.
Pendek kata, kesetaraan tidak menciptakan manusia itu sama, tetapi berbeda sesuai dengan pikiran dan perasaannya. Ia mendorong seseorang untuk merasa nyaman dengan kesukaan dan kemahiran sehingga secara eksistensial ia menemukan jalan untuk turut memberikan makna pada diri dan lingkungannya. Secara kiasan, dalam sebuah pagelaran musik, mungkin vokalis sering mendapatkan perhatian dari penonton, tetapi ia tidak bisa tampil secara memukau tanpa kehadiran pemain gitar, drum, dan piano. Malah, ia tidak bisa bersuara tanpa lirik penggubah lagu. Bayangkan jika masing-masing tidak menjaga harmoni atas nama kesetaraan, betapa sumbang!