Ahmad Sahidah: Dosen Filsafat Keuangan Universitas Nurul Jadid
Pengajian kitab al-Da’wah al-Tammah wa al-Tadzkirah al-‘Ammah oleh ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad diselenggarakan secara bulanan setiap Ahad pertama di Pondok Pesantren Nurul Jadid. Berbeda dengan pengajian kitab rutin Kiai Moh Zuhri Zaini di waktu pagi dan sore, kajian ini melibatkan banyak kiai, ustaz, dan mahasiswa se-tapal kuda. Pada bulan November, pembacanya adalah Dr Syamsuri Hasan dan setelah itu hadirin bisa berkomentar, bertanya, dan menyatakan pandangan.
Pada kelompok yang ketujuh, karya ini membahas tentang mereka yang sibuk beribadah di kalangan orang Islam. Orang yang beribadah harus memastikan kehalalan makanan dan pakaiannya dan seluruh kebutuhan yang terkait dengan kehidupan. Jika mereka mendapatkan semua itu secara haram, maka ibadahnya tidak diterima (ghairu maqbulah, hlm. 154). Lebih jauh, muta’abbid (orang yang beribadah) memeriksa kembali niatnya bahwa kebaktian itu semata-mata untuk Tuhan, bukan tujuan lain, apalagi keduniawian.
Tidak hanya berhenti pada prilaku lahir, secara batin, mereka juga harus melakukannya bukan atas dasar riya’, pamer. Karena ini akan menggerus pahala dan bahkan termasuk kejahatan yang membinasakan (al-jara’im al-mubiqat). Bahkan nabi menyebut praktik tersebut sebagai syirik yang samar atau syirik kecil. Lebih jauh, sikap sombong juga dihindari karena ia akan mengikis keikhlasan ibadah. Takabur malah menjadi penghalang seseorang untuk masuk surga.
Dari uraian di atas, betapa ibadah tidak semata-mata terkait dengan Tuhan tetapi juga keadaan seseorang, yang melakukannya secara tulus dan memenuhi syarat, baik fardhu dan rukun. Betapa penjelasan ini telah menimbulkan pertanyaan tentang beratnya ibadah. Tidak hanya itu, dalam sesi pembahasan, salah seorang peserta turut mengetengahkan kehalalan perlu diikuti dengan kebaikan (thayyiban). Dengan demikian, apa yang dipakai dan dimakan tidak hanya diperiksa halal, tetapi juga baik.
Dengan demikian, pakaian dan makanan tidak sebatas tidak mengandung unsur-unsur yang tidak dibolehkan tetapi juga menimbang proses produksi yang ramah bagi manusia dan lingkungan. Pendek kata, jika sebuah produk jenama baju tertentu dihasilkan oleh pabrik yang mempekerjakan anak-anak, maka produk tersebut tidak baik karena penghasil barang telah mengeksploitasi pekerja di bawah umur. Bahkan, makanan yang dikonsumsi yang bersertifikat halal bisa jadi tidak ramah lingkungan karena telah menyumbang pada pemanasan global yang dipicu oleh metana yang dikeluarkan oleh binatang.
Bersamaan dengan kesiapan untuk memenuhi syarat tersebut, muta’abbid menunaikan ibadah dengan khusyuk dan kerendahan hati. Dari keadaan batin ini, ketulusan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana sikap orang Islam dalam menjalankan perintah Tuhan, yakni tanpa paksaan dan pamer. Ketulusan yang seringkali digandingkan dengan kata ikhlas menjadi kunci untuk melakukan kewajiban tanpa kepentingan pribadi, tetapi kerelaan Tuhan, yang akhirnya memancar pada hubungan pribadi dengan sesama dan alam sekitar. Dengan demikian, ibadah tidak lagi dilihat secara sempit, tetapi bagian dari kewajiban yang menempatkan manusia sebagai subyek dan menjadi bagian dari kehidupan lebih luas.
Untuk itu, respons Kiai Qusyairi terkait thayyib menarik, yakni makanan organik itu adalah bagian dari kebaikan. Apabila pupuk kimia itu racun, kehalalan dari produk yang telah dapat sertifikat belum sepenuhnya memenuhi anjuran pesan dari kitab suci. Ini juga mengisyarakatkan kesadaran terhadap lingkungan menjadi bagian penting yang kita lihat hampir tidak menjadi bagian dari kesadaran relijius. Selanjutnya, makanan yang didapatkan dari tempat yang jauh tentu meninggalan jejak karbon yang tinggi, yang dapat dikatakan belum baik.
Dari interaksi di atas, kitab turats yang didaras menjadi relevan dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatan multidisiplin tidak terelakkan merupakan keniscayaan, sehingga isu kehalalan dan kebaikan dari kebutuhan eksistensial manusia bisa dilihat secara utuh. Lagi-lagi, ketulusan untuk mengungkapkannya menjadi ujian bagi kita semua. Karena respons terhadap isu tersebut akan dibebani oleh kepentingan, latar belakang, dan sentimen.
Sikap tulus dalam beribadah tentu akan merembesi tindakan sehari-hari di mana seseorang tidak terbelenggu oleh kepentingan dirinya tetapi orang banyak, yang sejalan dengan imperatif kategoris Kant, perbuatan-perbuatan moral kita mengutamakan kesejahteraan bersama sebagai kewajiban, bukan hipotetis, yang dibelenggu oleh tujuan subyektif. Di sini, pembedaan sakral dan profan, ketuhanan dan kemanusiaan berkelindan dan tidak lagi menjadi penghalang untuk melakoni kehidupan sehari-hari. Ketulusan tidak lagi dikerangkeng oleh batasan.