Ahmad Sahidah: Dosen Filsafat Keuangan Universitas Nurul Jadid
Dalam buku Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, secara teknis filsafat tidak akan mengajar orang cara membuat roti, seperti memahami bahan-bahan dasar dan tahapan menghasilkan makanan berbahan gandum ini. Tetapi, ia hendak mengungkap alasan mengapa manusia membuat roti. Hujah-hujah apa yang dipilih untuk menghidangkan roti dan bukan nasi adalah ruang tempat filsafat bekerja. Dengan banyak sudut pandang, sesuatu dipahami secara utuh.
Sekilas, filsafat hanya dikaitkan dengan alam pikiran, bukan tindakan. Padahal, secara epistemologis, sebuah obyek dipahami berdasarkan kaedah berpikir yang mengandaikan sebuah tindakan praksis. Artinya, ketika kita membuat roti untuk makanan sehari-hari, ia tidak hanya terkait dengan selera tetapi juga pertimbangan kearifan. Di sini, kewirausahaan tidak semata-mata dilihat sebagai menghasilkan barang, tetapi juga variabel lain, semisal kelestarian dan kesehatan pengguna.
Mengaitkan filsafat dan kewirausahaan hakikatnya kita menghadirkan etika dan nilai, tindakan yang benar atau salah. Pertimbangan ini sangat penting karena para wirausaha semestinya membuat keputusan yang memiliki dampak moral dan sosial. Dengan demikian, filsafat tentang etika bisa membantu pengembangan model bisnis yang ramah lingkungan dan masyarakat.
Tatkala Pusat Pengembangan Masyarakat Pondok Pesantren Nurul Jadid membuka kedai siomay berbahan ikan, ia bukan sekadar perniagaan yang hendak mengaut kentungan, tetapi juga usaha yang didasarkan pada pemanfaatan dan nilai tambah dari hasil nelayan lokal dan pekerja setempat. Dengan demikian, sebagai lembaga pendidikan, pondok telah mendorong kerja sama dengan warga untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Selain itu, penggunaan bahan lokal akan mengurangi jejak karbon sebagai dukungan konkret untuk mengurangi polusi.
Tentu, isu lain adalah soal pencarian makna. Bagaimanapun, filsafat acapkali mengulas pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna hidup, tujuan, kebaikan, dan eksistensi. Wirausaha juga dapat menghadapi pertanyaan-pertanyaan tersebut ketika mereka mencari tujuan dalam bisnis mereka serta hasil yang ingin mereka capai dalam masyarakat. Kalau sekadar meraih untung (pleasure), seseorang tidak akan meraih makna (purpose of life), yang kata Paul Dolan, dalam Happiness by Design, kebahagiaan akan oleng.
Sejauh ini, kewirausahaan sosial atau social entrepreneurship dapat dikembangkan karena ia adalah suatu pendekatan bisnis yang menggabungkan tujuan sosial atau lingkungan dengan ekonomi dalam bisnis, yakni menciptakan dampak positif dalam masyarakat dan lingkungan sambil tetap mempertahankan operasi bisnis yang berkelanjutan secara sosial. Pendek kata, di sini keuntungan tidak hanya diukur dari keuntungan finansial tetapi juga faedah yang dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Pengalaman menemani mahasiswa KKN Universitas Nurul Jadid di desa Batur pada 2019 memenuhi keinginan di atas. Dengan memanfaatkan limbah, seperti bonggol jagung dan kulit kopi, yang dimanfaatkan untuk pakan ternak, maka usaha peternakan petani sejalan dengan ikhtiar BUMDES Batur Gading Probolinggo yang akan mengembangkan penggemukan sapi. Tanpa mengabaikan tujuan keuntungan, kehadiran perguruan tinggi bisa mendorong kewirausahaan warga untuk menjadikan usaha ini menimbang kelestarian lingkungan dengan memanfaatkan “sampah”. Pemerolehan pakan yang berasal dari lingkungan sekitar akan mendorong warga untuk memastikan keterjangkauan dan ketercukupan, selain itu pemangku kepentingan dari pengembangan ekonomi juga dilibatkan, yakni institusi pendidikan, yang akan menjadikan pengabdian pada masyarakat betul-betul bermanfaat.
Selain itu, pengembangan ekonomi sirkuler mendapatkan tempat, di mana usaha di atas bisa mengurangi limbah, memaksimalkan sumber daya alam dan meminimalkan dampak lingkungan dengan cara mendesain produk, sistem dan proses bisnis sedemikian rupa sehingga siklus hidup produk dapat diperpanjang dan limbah dapat dihindari dan didaur ulang. Jelas, ini berkebalikan dengan ekonomi linear yang didasarkan pada model “ambil-buat-buang”. Hal yang terakhir tentu sangat buruk karena budaya instan dan buangan yang tidak bisa dikendalikan akan menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Kewirausahaan yang seringkali dikaitkan dengan usaha kecil dan menengah tentu akan mendapatkan apresiasi yang jauh lebih baik karena ia mengandaikan penglibatan banyak pihak dan penyelarasan dengan industri rumah tangga. Lebih jauh, keterlibatan banyak pemangku kepentingan dalam kegiatan ini semakin menguatkan ikhtiar bersama bahwa watak individualisme dalam kegiatan bisnis dikurangi dengan mencangkokkan kepentingan khalayak sebagai kaidah untuk menyeimbangkan antara kerakusan korporat dan kepentingan umat.