Kiai Ma’ruf 

Resensi66 views

Oleh: Muhammad Itsbatun Najih

11 Maret 2013, buku bertajuk 70 Tahun DR. KH. Ma’ruf Amin diluncurkan. Ya, buku bertebal 428 halaman dan berat –karena menggunakan jenis kertas luks-tebal itu, sebagai penanda 70 tahun usia seorang tokoh besar kelahiran Banten. Tokoh besar yang identik dengan kultur keislaman yang kuat; dan di kemudian hari tidak ada yang menyangka duduk di kursi wakil presiden. Namun, apakah benar tidak ada yang menyangka seorang Kiai Ma’ruf akan didapuk sebagai RI-2?

Bila pembaca sekalian mengkhatamkan buku ini, sangkaan di atas sekiranya kurang tepat. Mengapa? Buku ini dominan atau 90% menyorot kiprah Kiai Ma’ruf. Sedangkan sisanya, tak bisa dipisahkan sememangnya bercerita soal masa kecil, nyantri, dan hal-hal yang lazim berada di buku biografi. Dengan demikian, buku sebagai dokumenter kenangan terbaik kian meluaskan fungsinya sebagai perekam kiprah seseorang yang dalam rentang lama, semenjak mudanya; telah menggumuli kitab sekaligus masyarakat. 

Kiai Ma’ruf tidak sekadar kiai pada umumnya yang setidak-tidaknya bertungkus lumus di pesantren. Meskipun juga mendirikan pesantren di tanah kelahiran, akan tetapi Kiai Ma’ruf seakan-akan menjadikan masyarakat alias umat di luar pesantren tersebut, sebagai sebuah pesantren itu sendiri. Dengan kata lain, umat adalah cerminan pesantren dalam skala luas. Tidak saja aktif dalam kepengurusan struktural di PBNU, Kiai Ma’ruf meluaskan kiprah di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Malahan di MUI, khalayak luas lebih mengenalnya. 

Kiai berpembawaan tenang dalam melangkah dan bertutur ini, juga pernah aktif di jagat perpolitikan nasional. Ikut bergabung dan atau ikut mendirikan partai, menjadi dalil bahwa Kiai Ma’ruf tidak lantas menutup mata akan “dunia luar”. Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, beliau dipercaya sebagai anggota Wantimpres pada 10 April 2007. Bagi seorang Marzuki Alie, Kiai Ma’ruf merupakan ulama sekaligus politisi. Sememangnya tak banyak orang menyangka bahwa Kiai Ma’ruf pernah aktif sebagai Ketua Fraksi PPP dan Pimpinan Komisi A DPRD DKI Jakarta. Kemudian menjabat Ketua Komisi VI DPR-RI, anggota MPR RI, dan Ketua Dewan Syuro PKB. Dengan begitu, Kiai Ma’ruf mengerti betul akan teori sekaligus ejawantah ilmu siyasah semenjak era Orde Baru.   

Baca Juga:  Tutorial Menjadi Seorang Diktator

Marzuki Alie yang pernah menjabat Ketua DPR ini mengingat betul perihal adagium reposisi ulama ala Kiai Ma’ruf. Hal ini berangkat dari peran ulama yang terus menurun dalam perpolitikan nasional akibat gempuran sekularisasi. Maka sebagai wadah tanggungjawab ulama dalam kehidupan berbangsa-bernegara, kiranya perlu derap ulama melakukan gerakan melalui wadah partai politik –yang islami, moderat, dan nasionalis. Dan, hal ini telah dilakukan olehnya. Intisari yang Marzuki Alie ingin sampaikan, bahwa kiai Ma’ruf mengajarkan akan tugas ulama tidak saja melulu pada pelayanan umat. Namun, meluaskan pada urusan-urusan khalayak lainnya sebagai satu bagian integral urusan berbangsa-bernegara. 

Hal serupa diungkapkan Muhaimin Iskandar. Baginya, Kiai Ma’ruf adalah ulama tradisional bervisi modern. Bahkan bisa dibilang representasi ulama zaman modern/hari ini dengan anasir yang berperan menyadarkan umat untuk tidak gagap menghadapi perkembangan sosial dan tata dunia yang baru; tanpa harus menisbikan doktrin keagamaan yang prinsipil (hlm: 417). Buku dengan dilengkapi foto-foto pilihan ini juga menyiratkan hal sejenis. Kiai Ma’ruf tidak melulu mengenakan sarung, sorban, peci putih. Melainkan acapkali bercelana panjang, bersongkok hitam, berjas-berdasi.

Keaktifan di luar kegiatan pesantren, menjadikan Kiai Ma’ruf banyak berjumpa dengan pelbagai tokoh lintas agama dan pelbagai kalangan.  Tampak ada penonjolan karakter moderat-inklusif sekaligus kukuh-tegas pada prinsip. Bagi Asrorun Ni’am, Kiai Ma’ruf amat terbuka terhadap kritik sepanjang bernilai argumentatif. Karena itu pula, Kiai Ma’ruf dikenal dengan sikap kehatian-hatian alias ihtiyath kala berijtihad. 

Lebih dari itu, bagi Cholil Nafis, Kiai Ma’ruf berperan besar pada transformasi perjalanan Bahtsul Masail NU. Pembaca tentu mafhum terhadap peran dan dampak Bahtsul Masail NU yang amat ditunggu oleh warga Nahdliyyin sekaligus potret dinamika keilmiahan kegiatan tersebut. Nah, pada Munas di Lampung, oleh Kiai Ma’ruf, merupakan masa tajdid di NU: yang pada awalnya hanya menggunakan qauli atau ilhaqi, kini menggunakan qauli wa manhaji. Sehingga tak ada kata mauquf dalam Bahtsul Masail. Kiai Ma’ruf berhasil membuat terobosan pada babakan metodologi. 

Bagi sebagian kalangan, berakrab dengan saudara lintas agama dan atau satu ormas, tapi seakan-akan malah berjarak dengan saudara seagama yang berbeda ormas keagamaan, adalah  semacam “kelaziman”. Namun, hal itu tentu saja tidak kita jumpa pada diri Kiai Ma’ruf. Beliau dikenal sebagai kiai pengayom lintas umat/ormas dan oleh publik luas, terkesan tidak tertonjolkan mewakili ormas tertentu. Persepsi publik inilah yang kemudian menjadikan Kiai Ma’ruf dapat diterima oleh kalangan non muslim dan umat muslim secara umum. 

Baca Juga:  Kiai Wapres

Lama mengabdi di MUI dan menempati posisi strategis, yakni Komisi Fatwa, Kiai Ma’ruf dikenal bak “penjaga gawang”. Sebuah posisi yang amat sentral dalam menjaga keberlangsungan kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia yang moderat. Namun, jauh dari itu, peran Kiai Ma’ruf di MUI juga terpatri dalam derap tumbuh Ekonomi Syariah. Pada tahun 2012, kepakarannya di bidang Ekonomi Syariah terapresiasi dengan penganugerahan gelar doctor honoris causa dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 

Oleh Yuslam Fauzi, Kiai Ma’ruf tidak saja mumpuni urusan fikih klasik, tetapi piawai pula dalam mengikuti perkembangan dan kebutuhan akan sistem keuangan modern. Lebih lanjut, Yuslam juga menyematkan Kiai Ma’ruf sebagai pionir keuangan syariah keindonesiaan. Sementara menurut Harisman, Kiai Ma’ruf merupakan pelopor terbentuknya “rumah hukum” bagi operasional perbankan syariah dengan mendorong terbentuknya Undang-undang Perbankan Syariah. Hingga kemudian berbuah manis dengan disahkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Tak berlebihan bila Zafrullah Salim menjuluki Kiai Ma’ruf sebagai Begawan Ekonomi Syariah. 

Buku ini merupakan kumpulan kisah para kolega dan rekan sejawat Kiai Ma’ruf. Pandangan-pandangan mereka kiranya tidak berlebihan lantaran sejalan dengan kiprah yang telah ditorehkan Kiai Ma’ruf selama ini. Kompilasi 52 tulisan dari 52 kolega/rekan, setidaknya menggambarkan kesuksesan Kiai Ma’ruf di ranah “internal”, yakni sebagai seorang kiai untuk “umat”. Dan, tidak ada yang menyangka, bahwa perjalanan Kiai Ma’ruf berlanjut pada medan yang lebih jauh nan kompleks. Yakni, dengan menjadi Kiai Wapres. Kiai untuk rakyat/seluruh masyarakat dengan menjadi Wakil Presiden RI ke-13 pada Pemilu tahun 2019. Seakan sebuah isyarat, sebagaimana tertuang di sub-judul buku: Pengabdian Tiada Henti Kepada Agama, Bangsa, dan Negara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *