Oleh: Muhammad Itsbatun Najih*
Awal Mei 2023, K.H. Ma’ruf Amin selaku Wakil Presiden RI membuat pernyataan berkait Pilpres 2024. Sosok Wapres ke-13 ini menegaskan dirinya mencukupkan diri sebagai pejabat negara. Artinya, beliau enggan ikut berpartisipasi lagi semisal mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Pernyataan ini menyorongkan dirinya untuk kiranya kembali lagi sebagai “ulama penuh waktu” sebagaimana saat aktif di NU maupun MUI.
“Saya kira cukup lima tahun saya mengabdi sebagai pejabat negara. Bagaimanapun umur itu harus dihitung.” Begitulah dawuh Kiai Wapres yang baru saja berulang tahun ke-80 pada 11 Maret 2023. Lanjutnya: “Saya akan terus berkiprah, tetapi bukan lagi sebagai wakil presiden. Berhenti mengabdi itu ketika saya telah dipanggil Sang Pencipta.” Pernyataan beliau ini pun menjadi teladan, catatan tebal, sekaligus pembelajaran bagaimana kita perlu membincang secara khusus perihal kekhasan seorang wapres yang berlatar belakang tokoh agama.
Dalam sejarah Republik ini, dimulai dari Bung Hatta hingga Jusuf Kalla, baru kali ini jabatan wakil presiden diduduki seorang kiai. Tentunya akan menarik menelisik sejauh mana peran penting wapres yang seorang ulama dalam tata kelola pemerintahan serta menjalankan roda pembangunan. Apakah latar belakang kiai dengan kecakapan ilmu agama bisa memberikan warna tersendiri yang sulit bisa diikuti oleh mereka yang berlatar belakang non kiai?
Dalam sistem presidensial macam Indonesia, jabatan wakil presiden tidaklah memiliki keluasan penuh. Bahkan, dalam narasi peyoratif, wapres adalah bak “ban serep”. Hal ini kiranya bisa dimengerti kala selama Orde Baru, fungsi wapres betul-betul sebagai pelengkap dan kiprahnya sangat tidak menonjol. Sebaliknya, jabatan presiden berpunya kewenangan amat luas. Karena itu, yang terlihat aktif, tersorot media, menjadi perbincangan publik, adalah sosok RI-1. Bukan RI-2.
UUD 1945 Pasal 4, menyatakan: Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden. Konteks di sini adalah tugas presiden amatlah banyak. Mulai dari dirinya sebagai panglima tertinggi angkatan perang, mengajukan APBN, mengangkat dan memberhentikan menteri, memberi grasi, mengangkat duta besar, memberi tanda jasa, hingga urusan peresmian berupa gunting pita-menabuh gong (seremonial).
Lebih lanjut, tidak ada yang namanya Keputusan Wakil Presiden atau Peraturan Wakil Presiden; yang ada cuma Keputusan Presiden (Keppres) atau Peraturan Presiden (Perpres). Fungsi wapres dalam praktiknya mendampingi atau mewakili presiden bila berhalangan hadir. Fungsi wapres baru akan benar-benar terlihat menonjol ketika presiden tidak dapat menjalankan tugas karena sakit atau mangkat.
Uniknya, bila suatu pemerintahan yang mana peran presiden lebih tersorot dipandang sukses/berhasil, tak sedikit alamat pujian hanya berhenti pada sosok presiden. Sementara wakil presiden kurang dianggap berperan. Sebaliknya, bila angka kegagalan tertancapkan, maka wapres praktis ikut terimbas buruk. Lantas bagaimana mengidealkan jabatan dan sosok wapres bisa turut berandil besar dalam jalannya roda pemerintahan?
Dalam teorinya, wapres boleh saja dianggap “ban serep.” Ban yang harus ada karena sewaktu-waktu bisa dibutuhkan. Keberadaannya dalam arus permukaan, memang tidaklah terlalu tampak. Namun, ketika ada suatu hal di mana presiden tidak bisa menjalankan tugas, ban serep amat begitu penting keberadaannya. Namun, dalam tataran ideal dan praktiknya pada kondisi perpolitikan hari ini, wapres bukanlah ban serep. Melainkan seperti sepasang ban mobil: kanan-kiri. Keduanya adalah dwitunggal sebagaimana hal itu pernah kita lihat pada tamsil Soekarno-Hatta.
Keberhasilan kebijakan seorang presiden tentulah berangkat dari keharmonisan hubungan dengan wakil presiden. Sulit dibayangkan sebuah negara akan stabil ketika presiden dan wakil presiden berseteru. Pun, tugas yang amat banyak yang dibebankan pada presiden sebagai yang tertuang dalam UUD 1945, senyatanya tidak bisa dikerjakan sendirian. Di sinilah kemudian, mau tidak mau mesti ada pembagian peran/tugas yang didelegasikan kepada sosok wapres.
Hingga hampir masa purna pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada 2024, kita melihat sosok wapres adalah sosok pendamping; bukan pesaing. Ada keserasian dan saling mengisi-melengkapi. Tak ada manuver politik. Tak ada semacam kontestasi antar keduanya. Pun, wapres tak harus bertindak untuk paling aktif sehingga menimbulkan kesan seolah-olah sebagai presiden. Kiai Wapres tahu betul akan fungsinya sebagai wapres. Tak segan-segan beliau berujar: Sesuai arahan Presiden.
Wapres seperti relasi istri, yang mem-back-up suami. Pengalaman dan senioritasnya menjadi bagian utama untuk memberikan ide dan saran kepada presiden. Ditambah dengan corak masyarakat Indonesia yang religius, menjadikan peran Kiai Wapres dalam domain dinamika keumatan dan menjaga kerukunan kehidupan keberagamaan, menjadi sangat penting.
Di era keterbukaan informasi seperti hari ini, tak sulit bagi publik bisa melihat saksama aneka kegiatan yang dilakukan oleh Kiai Wapres. Mulai dari tugas substansial hingga seremonial. Pada buku Kiai Wapres, Wapres Kiai (2023), publik bakal memafhumi bahwa ada sejumlah isu yang menjadi tugas utama yang dijalankan olehnya. Walhasil, tidaklah benar, persepsi yang berkembang bahwa fungsi wapres dirasa kurang penting/menonjol. Justru, dengan lebih dekat mengamati sosok Kiai Wapres ini, persepsi tersebut sekiranya bakal berganti menjadi konsepsi baru. Yakni, perihal konsepsi menjadi seorang wapres yang ideal; sebenar-benar wapres.
Belajar dari sosok Kiai Wapres, seridaknya ada tiga hal yang patut direnungkan guna menapaki keberlangsungan Republik ini dalam setiap periode pemerintahan (Pemilu). Pertama, latar belakang sebagai tokoh agama seperti halnya Kiai Wapres ini, dipandang sebagai suatu hal baru dan prospektif. Politik Kiai ala Kiai Wapres menyorongkan agar ulama bisa turut serta untuk lebih aktif berpolitik praktis. Dengan kata lain, selain kudu ada yang bertungkus lumus di pesantren, juga hendaknya ada yang duduk di kursi pemerintahan.
Kedua, dalam konteks Indonesia, bilamana wapres seorang kiai –dengan catatan sarat pengalaman seperti Kiai Wapres, menjadi semacam pembuktian narasi faktual mewujudkan keberlangsungan kehidupan keberagamaan yang teduh. Agama bisa menjadi sumber dan modal dalam merajut kerukunan anak bangsa yang plural. Ketiga, nihilnya orientasi sebagai pesaing dan lahirnya matahari kembar. Karakter ulama dengan kebersahajaan hidup, nisbinya ambisiusitas materi-kuasa, telah menjadi jati diri yang menubuh.
Walhasil, Kiai Wapres telah menempatkan secara pas takaran berpijak bagaimana beliau menempatkan diri sebagai selayaknya pendamping presiden; menjadi wapres yang semestinya apa itu wapres, seidealnya, dan sebenarnya.
*Tinggal di Kudus