Kiai Wapres

Resensi92 views
Banner Iklan

Oleh: Muhammad Itsbatun Najih

11 Maret 2023, sepuluh tahun setelah peluncuran buku 70 Tahun KH. Ma’ruf Amin, dengan ukuran buku yang lebih kecil-ramping dan ringan ketimbang buku “pertama” tersebut, diluncurkanlah buku bertajuk 80 Tahun Prof. KH. Ma’ruf Amin. Bersub-judul: Kiai Wapres, Wapres Kiai. Bila pembaca sekalian menengok kembali buku pertama, dengan sub-judul: Pengabdian Tiada Henti Kepada Agama, Bangsa, dan Negara, praktis hal ini seakan sebagai sebuah cita yang mewujud. 

Banner Iklan

Boleh jadi, Pengabdian Tanpa Henti… itu oleh pembaca sekalian dan mungkin pada diri seorang Kiai Ma’ruf sendiri –yang kemudian oleh penulis sebut Kiai Wapres ini, adalah totalitas di organisasi Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia. Atawa totalitas pada sekitaran urusan keagamaan lainnya di luar NU dan MUI seperti pada jabatan Wantimpres bidang Hubungan Antar Agama. Namun, bila pembaca mengakhatamkan buku itu, rasanya-rasanya modal untuk menjadi orang nomor dua di Republik ini, bukanlah suatu kejutan; di mana sepuluh tahun lalu, setumpuk keunggulan pada diri Kiai Wapres, teranggap telah terpenuhi. 

Lantas apa yang membedakan buku ini dengan buku “pertama”? Selain sebagai penanda usia 80 tahun Kiai Wapres, hal dominan yang bisa dikulik pembaca adalah bagaimana publik dapat mengenal beliau lebih dekat. Di buku pertama, terkisah sederet sahabat dan kolega memberikan testimoni sosok Kiai Ma’ruf sebelum jadi wapres. Sedangkan pada buku ini, pembaca sekalian bisa melihat renik-renik beliau pada rutinitas keseharian sebagai seorang mitra presiden. 

Apakah buku ini sebagai bentuk laporan pada publik guna menyanggah anggapan bahwa wakil presiden tampak pasif ketimbang presiden atau menteri? Jika merampungkan bacaan, kita bisa beroleh pesan implisit, bahwa tidak ada tujuan macam itu. Mengapa? Lantaran bila kita obyektif berpikir dan memahami tugas dan fungsi wapres, kita menjadi tahu di mana batasan dan gerak pada diri wapres yang kerap distigmakan “ban serep”. Kehadiran buku ini dengan amat detail menjelaskan sejumlah langkah konkret yang telah ditunaikan Kiai Wapres sekaligus menjawab betapa menjadi wapres tidaklah “santai-santai” dan serasa ringan seperti anggapan sebagian orang.

Ambil contoh ketika pandemi Covid-19 yang menimpa seluruh dunia. Tak terkecuali Indonesia. Buku ini menjabarkan gamblang dan runtut apa saja yang telah dilakukan Kiai Wapres. Tidak sedikit pandangan negatif yang terwedar di media sosial bahwa Kiai Wapres dianggap tidak banyak bertindak dalam penanganan wabah. Dan, anggapan ini senyatanya bertolak belakang dari apa yang telah didokumentasikan di buku ini.  

Baca Juga:  Kiai Wapres Sebenar Wapres

Tentu kita masih ingat aneka pernyataan sumir tentang Covid-19 dan vaksinasi dari sejumlah kalangan dengan menggunakan tendensi dan dalih keagamaan. Satu sisi, masyarakat Indonesia masyhur akan semangat religiositas. Sisi lain, kita dihadapkan pada bagaimana agama hendaknya bisa turut menjadi pemecah masalah atas pagebluk. Nah, di sinilah kemudian peran seorang Kiai Wapres justru terlihat amat kentara. Wawasan keagamaan dengan topangan kedudukannya tersebut, senyatanya bisa meredam aneka disinformasi seputar wabah. Nama besar dan sosok beliau yang bisa diterima semua ormas keagamaan, menjadi bagian penting upaya mensukseskan program vaksinasi dan fatwa-fatwa seputar Covid-19. Selain itu, Kiai Wapres juga menjadi role model vaksinasi lansia.

Kiai Wapres memiliki pendekatan khas penanganan pandemi. Kotokohan dan identitas sebagai ulama besar menjadi titik pijak untuk mengelaborasi kekuatan umat agar bergotong-royong mendukung pelbagai macam seruan pemerintah. Utamanya, melalui para ulama dan ormas keagamaan sebagai mitra. Inilah yang kemudian oleh Presiden Joko Widodo turut memberikan apresiasi khusus kepada kalangan ulama dan tokoh-tokoh ormas keagamaan pada pidatonya di Mukernas dan Munas Alim Ulama PKB, 8 April 2022. 

Dengan kata lain, ada pesan implisit. Yakni, peran besar yang telah ditunaikan oleh Kiai Wapres sebagai pintu masuk, pelopor, dan komandan dalam wilayah keumatan. Begitu pula, kontribusi Kiai Wapres juga mendapat atensi dari Kompas dalam liputan tentang evaluasi 500 hari penanganan pandemi. Jadi, selain sebagai pelopor vaksinasi lansia, mendekati kalangan ulama untuk vaknisasi, serta menjaga umat dari hoaks dan disinformasi seputar pandemi; Kiai Wapres rupanya juga  mengkoordinasi pada kalangan aparat dan pejabat antar lembaga. Tak ketinggalan dan sudah barang tentu, Kiai Wapres juga menggunakan pendekatan batiniah.

Buku bertebal 348 halaman ini menyorongkan kerja-kerja utama Kiai Wapres yang boleh jadi kurang mendapat sorotan. Selain urusan pandemi, kontribusi nyata Kiai Wapres juga bisa dilihat pada pengembangan Ekonomi Syariah –sebagai spesialisasinya, penanganan tengkes (stunting), kemiskinan ekstrem, memperkuat UMKM, menggerakkkan Mal Pelayanan Publik, dan orientasi kesejahteraan masyarakat Papua. Elemen-elemen ini lantas dikupas rinci dan runtut. 

Pembaca memafhumi bahwa banyak hal telah dilakukan Kiai Wapres dengan tidak sekadar gunting pita. Sebagai mitra presiden, Kiai Wapres juga melontarkan banyak ide sebagai bagian sinergi tata kelola pemerintahan. Menariknya, kita melihat tidak ada matahari kembar. Meskipun secara usia dan pengalaman, Kiai Wapres lebih senior. Namun, hal itu termaknai sebagai upaya untuk saling melengkapi.

Baca Juga:  Tutorial Menjadi Seorang Diktator

Dalam banyak kesempatan dan tentunya sebagai prinsip kinerja seorang wapres, beliau tidak segan-segan memperjelas diktum sesuai arahan presiden. Hal ini diperkuat di mana hingga hampir lima tahun perjalanan pemerintahan bersama Presiden Joko Widodo, tak terdengar isu keretakan atau saling seteru. Semisal, ketika hasrat Presiden Jokowi hendak menyederhanakan aturan birokrasi dengan digitalisasi, Kiai Wapres senyatanya sudah mengangkat ide transformasi digital dengan menggulirkan ide “tol langit” pada kampanye Pilpres 2019.

Dan, buku ini memberikan pengertian gamblang apa itu tol langit yang dimaksud. Yakni, kemudahan akses masyarakat dalam beroleh pelayanan publik dari aparatur birokrasi sebagaimana kemudahan masyarakat dalam akses pelayanan perbankan dan jasa keuangan digital melalui platform fintech, misalnya. Hanya bermodalkan ponsel pintar itulah yang hendak diinginkan Kiai Wapres. Karena itu, titik tekan beliau adalah dengan mendorong pemda membangun Mal Pelayanan Publik (MPP) dengan satu tempat khusus dan terus melakukan peningkatan melalui pemanfaatan kemajuan pelayanan online berbasis IT. 

Lepas dari paparan kerja utama Kiai Wapres di atas, buku ini menyajikan fakta menarik tentang prinsip kepemimpinan ulama. Bagaimana ulama yang selama ini dicitrakan hanya mumpuni urusan keagamaan dan dunia pesantren dengan lingkup terbatas, toh bisa menjadi salah satu petinggi di Republik ini. Bagaimana seorang kiai senyatanya cakap mengurai dan memberikan solusi masalah bangsa serta lihai berdiplomasi dengan beragam kalangan. Oleh Ahmad Erani Yustika dalam prolog buku, Kiai Wapres diibaratkan pohon jati. Esensi pohon jati adalah yang tetap kukuh dan kokoh meski musim berganti; pun citra sebagai pengayom. 

Dalam artian luas, buku ini menegaskan bahwa dalam tataran kepemimpinan nasional, peran dan langkah ulama tidak perlu diragukan. Konsep wasathiyyah dalam keberagamaan masyarakat Indonesia merupakan teladan dan kaca benggala dari seorang Kiai Ma’ruf untuk menangkis paparan paham radikal dan liberalisme. Darinya, pembaca sekalian akan banyak menemukan pelajaran bahwa berpolitik bukanlah barang tabu. Ranah politik dan kekuasaan mestinya dimasuki para kiai. Inilah yang dinamakan Politik Kiai. Yakni, terjun berpolitik demi penguatan dakwah, pendidikan, ekonomi, dan segala hal yang menjadi kemaslahatan umat maupun rakyat.  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *