Manajemen RSD Ketapang Tepis Tudingan Pungli tapi Akui Ada Kesalahan

News169 views

KABARMADURA.ID | SAMPANGDugaan tindakan pungutan liar (pungli) di Rumah Sakit Daerah (RSD) Ketapang ditepis. Dugaan pungli itu terkait pasien asal Desa Tobai Barat yang keluar biaya Rp1.020.000 untuk membeli darah. Tepisan itu datang dari Kabid Humas RSUD Ketapang, dr. Syafril Alfian Akbar.

Pihaknya tidak terima dituding melakukan pungli. Sebab, pihak RSUD Ketapang tidak menerima sepeser pun dari biaya yang dikeluarkan pasien. Uang itu diberikan keluarga pasien bukan kepada petugas, melainkan kepada pihak ketiga yang biasa membuka jasa pengambilan darah.

Banner Iklan Stop Rokok Ilegal

“Kami menyebutnya pihak ketiga. Pihak ketiga itu yang mengambil darah ke PMI (Palang Merah Indonesia, red) Bangkalan. Jadi pihak ketiga itu yang menerima uang dari keluarga pasien, bukan petugas. Kami ada butki rekaman CCTV,” ucapnya kepada Kabar Madura Selasa (22/11/2022).

Dijelaskan dr. Syafril, pihak ketiga tersebut merupakan warga yang biasa membantu pasien mengambilkan darah ke PMI. Namun, ada ongkos transportasi yang harus dibayarkan oleh pasien. Dalam kasus ini, yang bersangkutan menarik biaya Rp300 ribu kepada keluarga pasien.

Sementara biaya menebus darah di PMI untuk satu kantong sebesar Rp360 ribu. Pasien butuh dua kantong. Sehingga harus mengeluarkan Rp720 ribu. Bukti transaksi berupa kwitansi keluar dari pihak PMI Bangkalan. Kwitansi itu disampaikan melalui pihak ketiga tersebut.

Oleh sebab itu, dalam kwitansi tersebut hanya tertera biaya penebusan darah sebesar Rp720 ribu. Sebab, biaya transportasi yang Rp300 ribu bukan masuk ke instansi, baik ke RSUD maupun PMI, melainkan masuk ke kantong pihak ketiga yang telah memberi jasa pengambilan darah.

“Sepeser pun kami dari pihak rumah sakit tidak terima uang. Jadi tidak benar kalau disebut kami melakukan pungli,” tandas dr. Syafril.

Kendati begitu, pihaknya mengakui kejadian tersebut berawal dari kesalahan petugas rumah sakit. Kronologi awalnya, pada Selasa (15/11/2022) pukul 15.00 pasien beserta keluarga tiba di ruang instalasi gawat darurat (IGD). Kemudian, petugas mengarahkan pihak keluarga untuk registrasi.

Baca Juga:  Sering Kebanjiran, Pemkab Sampang Belum Terpikir Naturalisasi Sungai

Sekitar 15 menit kemudian, pasien telah didaftarkan sebagai penerima bantuan iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kelas III. Setelah dilakukan pemeriksaan darah di laboratorium, hemoglobin (Hb) pasien diketahui 8,2.

Salah seorang tenaga kesehatan (nakes) menyampaikan kepada keluarga pasien, bahwa bila Hb di atas 8, maka pasien tidak bisa dikaver oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sehingga, pasien diarahkan untuk dilayani sebagaimana pasien umum.

Karena pernyataan nakes itulah, sehingga pasien mendaftar sebagai pasien umum. Sehingga, saat harus dilakukan transfusi darah, pasien harus keluar biaya untuk membeli darah. Hal itu diakui sebagai kesalahan petugas karena tidak memahami prosedur teknis tentang BPJS Kesehatan.

“Salahnya kami di situ. Karena kesalahpahaman petugas kami tentang aturan BPJS dan tidak konsultasi ke manajemen,” terang dr. Syafril.

Atas kejadian itu, lanjut dr. Syafril, pihaknya bersedia mengembalikan uang pasien. Namun, yang akan diganti hanya biaya penebusan darah. Yaitu Rp720 ribu. Sebelum diganti, biaya itu akan diklaimkan ke BPJS terlebih dahulu. Sementara untuk biaya transportasi tidak bisa diganti.

“Karena yang Rp300 ribu bukan masuk ke PMI, tapi masuk ke pihak ketiga yang mengambilkan darah,” tuturnya.

Direktur RSD Ketapang dr. Sukarno menambahkan, uang pasien untuk membeli darah akan diganti. Namun, pihaknya masih menunggu selesainya pengklaiman biaya kepada BPJS Kesehatan. Dia berjanji, uang tersebut pasti akan diganti kepada pasien.

“Paling kalau bukan Sabtu ya Minggu akan kami ganti. Biasanya Sabtu atau Minggu selesai pengklaiman,” singkatnya.

Di lain pihak, Supriyadi (33) selaku anggota keluarga pasien atas nama Arsidin, kepada Kabar Madura mengatakan, sampai saat ini pihaknya belum menerima pengembalian biaya dari pihak RSD Ketapang. Sementara pasien sudah pulang pada Senin (21/11/2022) lalu.

“Kami diminta untuk menunggu. Kalau sudah, saya kami diminta ke rumah sakit untuk mengambil uangnya,” tuturnya.

Baca Juga:  Jadi Wisudawan Terbaik IAIN Madura, Feby Tri Oktavian Punya Gaya dalam Bergaul, Belajar, dan Berorganisasi

Sebelumnya, anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sampang Moh. Iqbal Fathoni geram atas kejadian tersebut. Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mendesak Dinas Kesehatan (Dinkes) Sampang untuk mengevaluasi manajemen RSD Ketapang.

Sebab, kejadian serupa kerap terjadi di rumah sakit pelat merah yang berada di kawasan pantai utara (pantura) itu. Tindakan semacam itu dinilai menciderai tercapainya universal health coverage (UHC) yang diacapai Kabupaten Sampang dengan susah payah.

Menanggapi itu, Kepala Bidang (Kabid) Pelayanan Kesehatan (Yankes) Dinkes KB Sampang Nurul Sarifah mengaku telah melakukan rapat khusus terkait kejadian di RSD Ketapang. Rapat itu dilaksanakan pada Jumat (18/11/2022) lalu. Rapat itu juga melibatkan pihak BPJS Kesehatan.

Dari rapat tersebut, pihaknya merasa perlu untuk melakukan pembinaan terhadap manajemen RSD Ketapang. Sebab, di rumah sakit kelas D itu kerap terjadi kesalahpahaman petugas tentang prosedur BPJS Kesehatan. Sehingga, perlu diberi wawasan langsung oleh BPJS Kesehatan.

“Kami akan memberikan pembinaan (kepada manajemen RSD Ketapang). Bahwa kalau peserta BPJS jangan menarik lebih dari masyarakat. Sesuaikan dengan prosedur BPJS,” kata Nurul.

Selain itu, tambah Nurul, kesalahpahaman antara petugas rumah sakit dengan pasien kerap terjadi. Hal itu dipicu oleh pola komunikasi yang kurang tepat dari petugas terhadap pasien. Sehingga, pasien tidak menangkap informasi secara utuh dari petugas.

“Salah satu yang tidak dimengerti pasien kadang tentang apa saja yang tidak ditanggung BPJS,” ujarnya.

Meski demikian, Nurul menyebut, kesalahan serupa tidak hanya terjadi di RSD Ketapang. Di beberapa fasilitas kesehatan (faskes) lain juga kerap terjadi. Lagi-lagi, hal itu dipicu oleh minimnya wawasan masyarakat dan buruknya pola komunikasi petugas rumah sakit.

“Bahkan kesalahpahaman juga pernah dialami keluarga saya saat dioperasi di rumah sakit,” sambungnya.

Reporter: Ali Wafa

Redaktur: Wawan A. Husna

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *