KABARMADURA.ID | Pemilu 2024 sudah dekat. Beragam strategi politik mulai beradu. Tidak hanya di Jakarta, di daerah, adu taktik antarpartai politik pun sama hangatnya. Semua ingin mengambil hati rakyat.
Seperti halnya Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, mesinnya sudah panas. Di Jawa Timur, khususnya Madura, partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri ini sudah menunjukkan tajinya.
Abrari, atau biasa disapa Mas Abe, akan membeberkan secara khusus bagaimana strategi politik partai bernuansa serba merah itu dijalankan.
Abe adalah politisi PDI Perjuangan asal Sumenep. Sejatinya dia bukan orang baru dalam urusan memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebelum jadi politisi, dia sudah kenyang dengan pengalaman jurnalisme.
Kiprahnya di jurnalistik dimulai tahun 2000-an, sepulang kuliah dari Yogyakarta. Saat menyandang status jurnalis, tulisan-tulisannya mampu membuat pembacanya belajar menertawakan dirinya sendiri. Santai, tetapi menggigit.
Setelah malang-melintang di jagat jurnalistik, dia memutuskan aktif di panggung politik. Begitu jadi politisi, langsung di posisi sekretaris DPC PDI Perjuangan. Posisi itu dia jabat dua periode, 2015–2020 dan 2020–2025.
Soal strategi politik PDI Perjuangan, Kabar Madura berkesempatan wawancara lebih dalam dengan tokoh muda satu ini. Termasuk bagaimana pandangannya seputar politik yang sedang hangat belakangan ini.
Apa kabar bung Abe?
Alhamdulillah, baik. Semoga terus sehat, selamat, dan sukses untuk kita semua.
Bagaimana persiapan Pemilu 2024?
Saya jadi ingat apa yang pernah dikatakan Tan Malaka, hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan. Di posisi itulah kami berdiri. Kewajiban kami, ikhtiar, berdoa dan bergotong-royong untuk meraih kemenangan. Selain itu, berbaur dengan masyarakat, dan tentu saja, berjuang, karena perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
Untuk DPRD Sumenep, benarkah Anda menarget 14 kursi?
Mungkin lebih tepatnya obsesi dan optimisme. Bung Karno mengajarkan agar menggantungkan cita-cita setinggi langit. Jika langit tidak bisa disentuh, dan kalaupun harus jatuh, maka posisinya tetap berada di antara bintang. Dalam situasi itulah semangat adalah modal awal selain anasir yang lain, yang harus ada dalam dinamika politik.
Anasir lain, maksudnya?
Dalam rukun iman politik, yang dapat menghadirkan kemenangan, tiga di antaranya wajib. Pertama, modal politik. PDI Perjuangan dari sektor ini sudah memiliki modal yang tercermin dari hulu ke hilir. Pemilu 2014 dan 2019, PDI Perjuanganlah yang menang secara nasional. Kedua, modal networking. Partai sudah memiliki jaringan yang luas, sehingga dalam dua kali pemilu, kuku politik begitu menancap di hampir semua titik. Walaupun, diakui di titik tertentu kami zonk, dan itu biasa dalam politik. Ketiga, modal finansial. Di sektor ini, dengan kekuatan gotong-royong, partai sangat kuat karena kader kami hormat terhadap keputusan partai dan koridor ini menyebabkan soliditas antarkader.
Tetapi fakta politik hari ini kan berbeda dengan pemilu sebelumnya?
Dari sistem kepartaian, saya kira tidak ada yang berubah. Tetap satu komando, satu barisan dalam demokrasi yang terpimpin. Ini juga modal bagi kami selaku petugas partai, yang diberi mandat oleh kongres agar kader tegak lurus kepada perintah pimpinan partai.
Bagaimana dengan akrobat Jokowi selaku petugas partai?
Biarlah masyarakat yang menilai. Saat Ibu Megawati menjadi presiden Republik Indonesia, Jokowi saat itu masih bekerja sebagai pengusaha mebel. Lalu seiring dengan berjalannya waktu, Jokowi naik kelas menjadi walikota Surakarta dua periode yang diusung oleh PDI Perjuangan. Selanjutnya, Jokowi diusung lagi oleh PDI Perjuangan untuk menjadi gubernur DKI hingga menjadi presiden RI untuk dua kali periode. Bahkan, anaknya, Gibran, diusung PDI Perjuangan untuk menjadi walikota Surakarta. Menantunya, Bobi Nasution, juga diantar menjadi walikota Medan. Ini fakta, ini sejarah.
Tetapi kenapa Jokowi di ujung jabatan sebagai presiden RI dan petugas partai menyempal?
Saat Gus Dur ditanya Andy F. Noya dalam acara Kick Andy, kenapa Soeharto memusuhi Gus Dur, saya mengadaptasi jawaban Gus Dur untuk menjawab pertanyaan saudara; jangan tanya saya, tanya sono dong.
Kembali ke pencalonan Anda sebagai caleg DPRD Jatim, sepertinya Anda begitu yakin?
Yakin adalah modal utama, tidak hanya dalam konteks politik, tetapi dalam urusan apa pun. Seseorang harus yakin. Tak ada keyakinan, tak akan ada kepastian, kepastian untuk memulai perjuangan. Seorang remaja yang sedang melakukan pendekatan terhadap calon kekasih yang dicintainya, saya meyakini berawal dari kepercayaan. Lalu muncullah puisi, misalnya: saat aku melihatmu, aku begitu yakin engkaulah takdirku. Dari titik itulah perjuangan dimulai, untuk meraih cita-cinta itu. Kami juga seperti itu.
Tetapi kan Anda kalah dalam Pemilu 2019 untuk DPRD kabupaten?
Ya. Namun semangat, heroisme, dan patriotisme tidak boleh kendor. Tidak boleh meratapi masa lalu, karena kita dididik untuk berlanjut ke masa depan. Kita diajarkan untuk membaca sejarah tokoh yang jatuh bangun. Nelson Mandela di Afrika, salah satu contoh dari sekian banyak figur yang harus kami timba ilmunya. Pada tingkatan lokal, ada banyak contoh sosok yang kalah tanding dalam pilkades, bahkan berkali-kali. Tetapi mereka tidak ciut bahkan mencalonkan diri sebagai caleg DPRD, justru setelah kalah dari pilkades. Nyatanya, mereka menang.
Sebagai generasi muda NU, mengapa Anda begitu yakin dengan PDI Perjuangan?
Politik itu soal pilihan, dan dengan menyebarnya kader muda NU ke sejumlah partai politik, kian menjelaskan bahwa NU diterima di banyak tempat, asal profesional. Kita lihat, kader muda NU hampir menyebar, mewarnai, sampai kemudian semesta politik ini menjadi pelangi di Nusantara.
Harapan Anda?
Menang, tentu saja. Tetapi saya kan bukan Tuhan, dan tidak boleh memaksa Tuhan untuk memenangkan kami. Berjuang wajib, ikhtiar harus, dan berdoa itu sesuatu yang niscaya. Tetapi saya jadi teringat pesan Whatsapp dari teman, yang sedang engkau inginkan sedang Tuhan kerjakan. So, tetap sehat, semangat, selamat, dan sukses. (*)
Redaktur: Fathor Rahman, Wawan A. Husna