KABARMADURA.ID | SUMENEP-Sejauh ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep belum mengambil sikap tegas dalam menangani persoalan di Desa Gersik Putih Kecamatan Gapura. Yakni konflik dua pihak, warga yang menolak pembukaan tambak garam baru dan kepala desa yang memaksa lahan tersebut dibuka untuk tambak garam.
Sebagaimana dibenarkan Ketua Tim Terpadu Pengawasan, Penertiban, dan Perizinan (TP3) Sumenep Moh. Ramli, sejauh ini pihaknya memang tidak ada langkah signifikan.
Meskipun begitu, pihaknya melalui aparatur kecamatan setempat sudah pernah turun ke lapangan. Para pejabat Pemkab Sumenep itu berkunjung dalam rangka mendatangi warga yang getol menolak rencana penggarapan tambak garam itu.
“Kami pemerintah kecamatan pernah ketemu pemerintah desa untuk menindaklajuti atensi masyarakat,” ucap mantan kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Sumenep itu.
Ramli mengakui belum menentukan sikap, apalagi harus berpihak ke masyarakat atau tidak. Menurutnya, ada dua sudut pandang berbeda dalam persoalan tersebut. Di antaranya, lahan yang akan digarap tambak garam itu bisa disebut sebagai lautan jika mengacu pada kondisi sekarang.
“Tetapi sudut pandang yang lain, bisa dianggap sebagai daratan jika mengacu pada asas legalitas berupa SHM,” imbuhnya.
Pemkab Sumenep, imbuh Ramli, masih berpegang teguh pada legalitas, yakni adanya SHM. Hal itu merupakan acuan formal atau yang nyata secara legalitas.
“Jika itu dianggap sebagai laut, tentunya harus dilakukan reklamasi. Berkaitan dengan itu, sudah menjadi kewenangan pemerintah provinsi,” tukasnya.
Sebelumnya, ratusan masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep, Rabu (17/5/2023). Mereka menuntut agar sertifikat hak milik (SHM) dicabut.
Mereka menilai terbitnya SHM di Desa Gersik Putih Kecamatan Gapura janggal. Alasanya, lokasi tersebut merupakan bibir pantai.
Ketua ARB, Muhammad Muhsin mengatakan, aksi ini dilakukan dalam rangka menolak tambak garam ilegal di desa setempat. Selain itu, mereka juga meminta pihak BPN mempertegas tentang status kepemilikan tanah.
“Kami meminta segera batalkan SHM yang sudah dikeluarkan BPN tahun 2009, karena itu sudah menyalahi aturan, karena itu bukan tanah tapi laut,” ujarnya.
Dia menduga, aturan yang digunakan BPN Sumenep dalam menerbitkan SHM yakni Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2013 tentang RTRW, kemudian Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang.
Mereka menduga BPN Sumenep kongkalikong dengan pihak terkait saat menerbitkan SHM itu. Sebab, pihaknya berkali-kali bersurat ke BPN untuk meminta dokumen pra terbitnya legalitas tersebut.
“Mereka tidak mampu menunjukkan kepada kami, zalim BPN Sumenep itu jika tidak membuktikan itu,” imbuhnya.
Sehingga mereka menuntut agar BPN membatalkan terbitnya SHM tersebut. Kemudian meminta BPN menelaah ulang dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep untuk menentukan langkah atau sikap terhadap konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, agar rencana penggarapan tambak garam itu dibatalkan.
Sementara itu, Kepala BPN Sumenep Kresna hanya berjanji bakal memastikan terhadap status laut tersebut. Termasuk bakal memastikan sejarah terbitnya dokumen SHM itu.
“Kami bakal mengkroscek status pantai tersebut,” paparnya.
Sebelumnya, pada 17 Mei 2023, mahasiswa dan warga Gersik Putih, yang membawa serta anaknya, datang ke kantor BPN Sumenep untuk menggelar aksi protes. Mereka juga meminta Pemkab Sumenep untuk membantu. Permintaan itu ditunjukkan dengan menggelar aksi di depan kantor bupati Sumenep.
Pewarta: Moh. Razin
Redaktur: Wawan A. Husna