Mazhab di Atas Segala Mazhab 

Opini91 views

–         Muhamad Pauji

–         Pegiat organisasi Orang Indonesia (OI), menulis prosa dan esai di berbagai media nasional luring dan daring.

KM10082023
COVER 09 AGUSTUS 2023-1@1x_1
KM07082023
KM03082023

Sepuluh perintah Tuhan dalam teks-teks Alquran (an-Nisa: 36) agar seseorang tergolong muslim atau muslimah yang “kaffah” membutuhkan prasyarat yang harus dilandasi dengan keadaban dan kemanusiaan. Meskipun kita tahu, dari semua prasyarat itu terungkap jelas dalam cita-cita Pancasila, yang dalam butir-butirnya sudah menekankan hubungan manusia dengan Tuhan (hablumminallah) dan hubungan baik dengan sesama (hablumminannas).

Dalam surat an-Nisa tersebut dijelaskan, bahwa dari kesepuluh perintah Tuhan itu, hanya satu yang berdimensi ketuhanan, sementara lainnya berdimensi sosial dan kemanusiaan. Untuk itu, jika kita ingin disebut pemeluk Islam yang baik, maka tak bisa mengandalkan kesalehan ritual semata. Sebab, kesalehan ritual akan gugur manakala kepekaan dan kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan terabaikan.

Perintah pertama ditekankan perihal pentingnya menyembah Tuhan Yang Maha Esa (Allah), dan jangan menyekutukan Tuhan dengan suatu apapun. Dalam konteks ini, dibutuhkan kematangan tauhid, bahwa segala aktivitas dalam kehidupan ini, baik kesalehan individu maupun sosial, harus melibatkan perlindungan dan kasih sayang Tuhan Semesta Alam.

Perintah yang berdimensi ketuhanan ini, hendaknya harus disertai kebaktian dan kesyukuran kepada ibu-bapak, karena melalui perantaraan mereka kita ada dan mewujud di muka bumi ini. Hal ini tercermin dalam perintah-perintah Rasulullah yang secara implisit menekankan peran seorang ibu sebagai tiang negara. Bahkan, dinyatakan mengenai simbolisasi surga yang berada di bawah telapak kaki ibu. Kalaupun kita berbeda paham dan ideologi dengan mereka, tetap kita harus memperlakukan mereka dengan baik, juga berkata-kata dengan ucapan santun yang tidak menyinggung dan menyakiti perasaan mereka.

Jadi, ber-Islam dengan baik bukan perkara mengikuti ajaran tarekat atau sekte tertentu, yang sifatnya mengikatkan diri (menyembah) pada teks-teks harfiah. Membaca kalimat-kalimat zikir dan salawat hingga mengalami ekstase, sampai kemudian menjadi pembenci dan pemberang kepada orang tua, sanak-saudara yang dinilai menyimpang dari ajaran tarekatnya. Sifat tarekat tak ubahnya dengan baiat, pengkultusan, semacam deklarasi pengikatan diri pada suatu teks tertentu yang diajarkan gurunya (mursyid).

Tak beda jauh dengan ideologi yang memiliki simbol dan motto hidup tertentu, bersemat lencana dan warna-warni bendera tertentu yang harus dijadikan kultus kebenaran, dan celakanya apabila menganggap pihak lain sebagai “bukan kebenaran”.

Selanjutnya, kualitas kesalehan juga diukur dari seberapa baik perlakuan kita terhadap keluarga dan kerabat terdekat, juga kepada anak-anak yatim. Pernahkah kita berdialog bersama istri dan keluarga, apakah kita sudah memperlakukan anak-anak yatim dengan baik di sekeliling kita? Apakah pernah kita membahas, siapakah anak yatim yang sanggup kita biayai sekolahnya pada tahun ini, atau setelah masa pandemi ini?

Baca Juga:  Sisi Lain Kepribadian Orang Indonesia 

Dalam surat al-Ma’un, tampak jelas bahwa sikap atheisme kaum beragama tak ubahnya dengan orang-orang yang mendustakan agama dan Tuhan, yakni mereka yang hanya mengharap pujian-pujian (politis) dari aktivitas ritual yang tidak selaras dengan nilai dan rasa kemanusiaan. Mereka memiliki banyak tabungan, dan makan sehari-hari cenderung berlebih, tetapi mereka tak memedulikan banyak saudara anak yatim di sekitar lingkungan yang mestinya diperhatikan.

Selain itu, kualitas kesalehan juga terukur dari kepedulian kita kepada fakir-miskin, termasuk kepada tetangga yang dekat maupun yang jauh. Hal ini senada dengan hadis Nabi, bahwa keimanan kepada Tuhan dan hari pembalasan, akan tercermin dari kebaikan hati seseorang kepada tetangganya. Perintah Tuhan tentang kesalehan sosial juga ditekankan agar berbuat baik kepada sahabat dan kawan-kawan, bukan hanya kepada sesama muslim dan muslimah, melainkan juga kepada setiap manusia dan makhluk Tuhan lainnya. Para sahabat Nabi melakukan kerjasama perdagangan bersama orang-orang non-muslim, dan tercermin jelas dalam surat Ali Imran (75), bahwa transaksi dan jual-beli (muamalah) dengan penganut agama apapun diperbolehkan.

Selain itu, kualitas kesalehan sosial akan terbukti dari sikap seseorang kepada liyan yang berkasta atau berkedudukan lebih rendah dari kita (ibnu sabil). Terkait dengan ini, sangat disayangkan, karena seringkali kita mendengar orang yang mengaku-ngaku muslim yang saleh, rajin melakukan ritual, namun perilakunya nihil dalam menyikapi liyan, apalagi pihak yang lebih rendah kedudukannya. Jangan sampai kesalehan ritual yang kita kerjakan, dapat terhapus disebabkan ulah dan perbuatan kita yang tak mau bersikap toleran dan egaliter kepada pihak lain.

Sebagai warga berpendidikan, seringkali rasionalitas dikedepankan, serta intelektualitas diutamakan, bahkan tidak jarang menjurus pada penghambaan terhadap dunia intelektual (intelektualisme). Penghambaan terhadap rasio, akan menjurus kepada penolakan terhadap keimanan yang meniscayakan kesalehan dan ketundukan pada perintah-perintah Tuhan.

Masyarakat kita memang membedakan terminologi kebaikan dengan kesalehan, padahal mendidik anak agar menjadi “saleh” bertujuan agar seorang anak menjadi baik tingkah-lakunya, perangainya, kepribadiannya (akhlaknya). Jadi, kesalehan (amal saleh) yang dipraktekkannya bukan semata-mata ketaatan buta (taqlid) yang tak pernah mengenai sasaran untuk mempersoalkan tujuan dari perbuatannya. Karena bagaimanapun, ketaatan buta yang tanpa disertai ilmu, seringkali menjurus kepada kesesatan beramal dan bertindak.

Secara religius, para pelaku terorisme di Indonesia, seumumnya dikenal saleh dan taat beribadah. Tidak sedikit para lelakinya memelihara jenggot, juga kaum perempuannya mengenakan hijab dan cadar. Tatapi, bila keimanan dan ketaatan mereka tanpa diserta ilmu yang bersifat humanis dan universal, maka tindakan mereka dapat dikategorikan sebagai tindakan makar dari orang-orang yang tersesat (ad-dlallun). Dapat pula diartikan, bahwa ketersesatan para perusuh dan pelaku teror, yang mengatasnamakan agama dan kesalehan, tak lain adalah sosok manusia yang mengalami overdosis dalam kepercayaan agamanya.

Karena itu, dalam konteks Indonesia, iman identik dengan kebaikan atau perbuatan baik. Sedangkan saleh, identik dengan alim atau taat beribadah, betapapun rendahnya kualitas ilmunya. Orang saleh yang taat beribadah, mungkin saja diperalat dan dipolitisasi oleh kepentingan politik tertentu. Untuk itu, mereka yang dikategorikan “bodoh” tentu tak bisa dihakimi, karena mereka belum tahu apa-apa yang diperbuatnya sebagai kesalahan. Di sinilah tugas para pemimpin (ulama dan umaro) untuk memberitahu yang baik sebagai kebaikan, serta yang salah sebagai kesalahan yang akan berdampak buruk bagi pelakunya.

Baca Juga:  Sekolah Jalanan: Belajar Bukan Sebatas Kertas dan Kelas

Betapapun bodohnya pemikiran seseorang, atau suatu kelompok masyarakat, selama mereka tidak melakukan tindakan onar dan anarkis yang mencelakakan dirinya, jamaahnya, atau pihak lain, maka siapapun tak berhak melakukan penghakiman atau penghukuman atas apa-apa yang mereka anut dan mereka yakini. Itulah mengapa dalam Alquran termaktub syarat utama dalam pola penyampaian syiar dan dakwah, agar dijelaskan secara baik dan santun (bil-hikmah wal mau’idhatil hasanah), hingga kebaikan dan kebenaran yang kita tawarkan, dapat memikat dalam hati sanubari mereka.

Sebab, kualitas kebenaran setinggi apapun, jika disampaikan secara tidak elegan dan tidak memikat, otomatis akan terjadi penolakan terhadapnya. Tapi sebaliknya, kualitas kebenaran serendah apapun, jika disampaikan secara elegan dan bersahabat, boleh jadi akan memikat dan mengikat dalam sanubari jamaahnya.

Sementara, dalam pikiran orang Indonesia yang keranjingan jihad ofensif (pseudo-jihadisme), seringkali mengabaikan kesalehan sosial yang mestinya dijadikan prioritas. Sehingga, mereka cenderung menuruti hawa nafsunya untuk mempraktikkan dakwah agama dengan tanpa mengindahkan psikologi massa atau kebudayaan lokal setempat.

Dalam konsep kepemimpinan, wilayah esoteris keimanan adalah wilayah otonom dari pribadi-pribadi yang secara langsung mencari, menelusuri, hingga menemukan jalan ketuhanan. Namun, ketika masjid, gereja dan kuil, dipersengketakan sebagai truth claim, di mana masing-masing bersikukuh merasa jalannya yang paling benar, maka seorang non-religious akan menempuh jalan vertikal yang berhubungan langsung dengan yang imanen (ilahiyah).

Untuk itu, boleh jadi kualitas keimanan mereka yang humanis justru lebih baik, ketimbang mereka yang mengaku-ngaku saleh dan taat beragama, tetapi kelakuannya mencerminkan karakter perusuh dan kaum anarkis, yang dapat diidentikkan sebagai “atheisme kaum beragama”. Tipologi ini seumumnya berpandangan ahistoris, gampang menggeneralisasi masalah, dan dapat dikategorikan orang yang hanya sibuk di wilayah kesalehan ritual, dengan mengabaikan kesalehan sosialnya.

Terkait dengan ini, kita teringat statemen Mahatma Gandhi, bahwa seorang humanis sudah pasti seorang nasionalis, tetapi belum tentu seorang nasionalis itu seorang humanis. Hal ini tercermin pula pada narasi-narasi genuine yang disuguhkan novel Pikiran Orang Indonesia yang telah kita kenal bersama.

Ungkapan senada disampaikan melalui fatwa Ibnu Taimiyah, seorang ulama dan filosof muslim, bahwa seorang pemimpin non-muslim (musyrik) tetapi sanggup menegakkan prinsip-prinsip keadilan, layak dianggap sebagai pemimpin yang baik, ketimbang pemimpin muslim yang tak mampu menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan bagi segenap rakyat. ***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *