Oleh: Hairul Anam*)
Setiap sanksi selalu mengandung harapan terkristalnya budi pekerti. Tanpa sanksi, hidup menjadi kurang berarti. Tanpa sanksi pula, kesalahan berpotensi dicap sebagai kebenaran. Kebenaran pun bakal mudah ternodai.
Bersama seorang pemimpin redaksi (Pemred) sebuah media massa di Jawa Timur, pekan lalu saya jalan-jalan di area kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura. Kami mendapati gedung rektorat lama sudah rata dengan tanah, berpindah lokasi dengan bangunan baru yang tampak mentereng.
Kami juga mendapati beberapa mahasiswa duduk di gazebo kampus sembari memainkan gawai. Terlihat pula para mahasiswa beradu skill di lapangan futsal sebelah baratnya gedung rektorat. Terdapat pula belasan mahasiswa duduk melingkar di halaman depan gedung rektorat, terdengar mendiskusikan banyak hal terkait organisasi intra maupun ekstra kampus.
Di perpustakaan, kami menyaksikan betapa pelayanan petugasnya ramah. Mereka tidak hanya murah senyum saat melayani peminjaman maupun pengembalian buku, tetapi juga banyak tahu judul-judul buku yang terdapat di perpustakaan IAIN Madura. Mereka tidak hanya memposisikan diri sebagai penjaga, tetapi juga penuh kesadaran menisbahkan diri sebagai pembaca.
Sepintas kami menyimpulkan betapa iklim keilmuan di kampus agama negeri satu-satunya di Madura ini masih hidup. Spirit literasi yang terpancar dari hidupnya perpustakaan tentu jadi ruh akademik yang tak ternilai harganya.
Mencermati fakta tersebut, rasa pesimisme pun memudar. Ya, kami sempat pesimis dengan kampus ini. Sebab, beberapa pekan terakhir diterpa kasus pelecehan seksual dan plagiarisme yang melibatkan mahasiswa serta dua dosen.
Kasus tersebut sempat meredupkan spirit transformasi IAIN Madura menuju UIN Madura; menjamurnya doktor menjadi profesor, digalakkannya pembangunan gedung, merebaknya karya-karya tulis dosen maupun mahasiswa, seakan hilang seketika tatkala dihadapkan pada kasus pelecehan seksual dan plagiarisme.
Namun, harapan kembali mencuat. Sikap tegas pimpinan kampus rupanya menghadirkan sanksi usai menggelar sidang etik: dosen pelaku pelecehan seksual dipecat. Nasib dosen yang terlibat plagiarisme pun menuai sanksi penundaan kenaikan pangkat. Demikian pula dengan dua mahasiswa yang terjerat plagiarisme; dihukum tidak lulus dan harus mengulang mata pelajaran yang tersandung plagiarisme.
Sikap tegas pimpinan kampus patut diapresiasi. Apalagi sebelumnya ratusan mahasiswa menggelar demonstrasi; menuntut keadilan atas kasus pelecehan seksual. Suara para demonstran rupanya tidak diabaikan; sidang etik digelar dan dosen yang bersangkutan langsung dibebastugaskan. Ini menandakan betapa nuansa demokrasi di IAIN Madura masih terasa kental.
Tekanan media massa tampak juga disikapi dengan baik oleh pihak kampus. Esai saya di Kabar Madura sebelumnya yang berjudul “Jalan Terjal IAIN Menuju UIN Madura; Diterpa Kasus Pelecehan hingga Plagiarisme” direspons tanpa arogan oleh M Ali Humaidi. Bahkan, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama IAIN Madura ini mengaku membaca tuntas esai tersebut dan berterima kasih.
Merawat iklim demokrasi kampus dengan mendengarkan suara para demonstran dan mencerna secara baik kritikan media massa, tentu merupakan modal bagus bagi IAIN Madura yang bertekad kuat segera bertransformasi menjadi UIN Madura.
Selain fokus pada transformasi menuju UIN Madura, para stakeholders IAIN Madura penting untuk bersatu-padu guna memastikan kasus amoral tidak kembali terjadi. Sanksi tegas yang sudah ditunjukkan ke publik adalah langkah antisipatif yang patut diapresiasi. Sebab, itu jelas menghadirkan efek jera bagi pelaku maupun bagi oknum dosen maupun mahasiswa yang hendak melakukannya.
Terakhir, perguruan tinggi (PT) selalu identik dengan rasionalisasi. Rasionalisasi akan kurang berarti tanpa adanya komunikasi. Meminjam bahasanya filosof Jürgen Habermas: rasionalisasi yang komunikatif. Sejauh ini, tampaknya itu dijalankan dengan serius oleh IAIN Madura, terutama jalinan rasionalisasi yang komunikatif dengan media massa.
IAIN Madura menjadi UIN Madura, mengapa tidak?
*) Pemimpin Umum Kabar Madura; Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Pamekasan; Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah dan Pascasarjana IAIN Madura.