Oleh: Ribut Baidi*)
Semangat penegakan hukum pidana dengan mengurangi sanksi pemenjaraan melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice), saat ini telah banyak dipraktikkan di berbagai instansi aparat penegak hukum, terutama di Kepolisian dan Kejaksaan. Hal ini, tidak lepas dari adanya tuntutan masyarakat, evaluasi, dan bahkan kritik-konstruktif terhadap sistem pemidanaan di Indonesia yang sejak dulu bertumpu kepada pemenjaraan (punitif) terhadap pelaku kejahatan, yakni menutup adanya pemaafan (mediasi) dari korban kejahatan maupun keluarga korban.
Semangat menjadikan praktik peradilan pidana tidak semuanya bermuara terhadap sanksi atau hukum pidana penjara (pemenjaraan) terhadap pelaku. Pemerintah melalui alat-alat kekuasaannya telah melakukan terobosan baru dalam praktik peradilan pidana dengan menjadikan keadilan restoratif sebagai bagian alternatif penyelesaian proses pemidanaan, terutama untuk tindak pidana ringan maupun tindak pidana umum lainnya yang bisa diselesaikan melalui musyawarah (mediasi) antara korban-pelaku, keluarga korban, dan pihak-pihak terkait yang berkepentingan dalam penyelesaian perkara pidana.
Terobosan praktik penegakan hukum dalam ranah praksis-operasional melalui keadilan restoratif perlu mendapatkan apreasiasi oleh semua pihak, tidak terkecuali publik secara luas.
Keadilan restoratif yang mengedepankan mediasi (dialog-perdamaian) antaran korban dengan pelaku kejahatan merupakan implementasi dari konsep penegakan hukum yang didasarkan pada kepastian hukum, keadilan hukum, dan manfaat hukum. Artinya, hukum yang difungsikan tidak boleh mengenyampingkan tiga istilah tersebut, mengingat hukum dijalankan untuk tujuan pokok, yakni ketertiban (order) dalam kehidupan sosial-masyarakat.
Karim (2019) menyatakan bahwa problematika tindak pidana, baik yang sifatnya ringan (lichte misdrijven) maupun tindak pidana pada umumnya adalah hal yang selalu ada dan terjadi dalam kehidupan masyarakat dan harus dilihat dengan pertimbangan untuk kepentingan praktis, yakni agar perkara-perkara tersebut dapat diadili secara cepat untuk menghindari menumpuknya perkara di tingkat pengadilan, karena jumlah perkara jenis ini lebih besar dari pada jenis tindak pidana yang lain. Meskipun, pada awalnya klasifikasi kejahatan-kejahatan ringan tersebut merupakan hasil pertimbangan kurangnya pengadilan, namun saat ini keberadaan kejahatan-kejahatan ringan dan tindak pidana ringan pada umumnya dapat dilihat dalam kaitan yang lain, yakni pada aspek kebutuhan akan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Hatta Ali (2012) memberikan pemahaman tentang tujuan pokok dari hukum dalam rangka menciptakan ketertiban. Kebutuhan terhadap ketertiban tersebut adalah syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Ketertiban dalam masyarakat hukum adalah fakta objektif yang berlaku dalam masyarakat dengan segala model dan bentuknya. Disamping untuk ketertiban, hukum juga diciptakan dalam rangka mencapai keadilan dan manfaat yang berbeda-beda isi dan dimensinya, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zamannya. Ketertiban tersebut akan tercapai, manakala terciptanya kepastian dalam pergaulan antarmanusia dalam kehidupan masyarakat yang didukung pula oleh sistem hukum yang baik dan bebas (tanpa intervensi).
Ketertiban dalam masyarakat mustahil terwujud, jika harmoni sosial tidak pernah terjalin dengan baik dan sistem hukum yang dijalankan, justru tidak mendukung ke arah terciptanya kehidupan masyarakat-sosial yang kondusif. Oleh sebab itu, melalui keadilan restoratif, hubungan yang baik antara korban-pelaku kejahatan serta masyarakat yang terlibat dengan pendekatan dialog (mediasi) akan senantiasa melahirkan harmoni baru yang bernuansa masa depan (progresif), tanpa harus menoleh (flashback) ke belakang terhadap problematika yang telah terjadi.
Dasar Hukum Keadilan Restoratif
Pelaksanaan keadilan restoratif oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, apakah sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum pidana yang memiliki kekuatan hukum melalui peraturan internal yang dikeluarkan ? atau hanya bagian dari kewenangan instansi penegak hukum agar penyelesaian perkara pidana yang terjadi tidak sepenuhnya berorientasi kepada pemenjaraan yang selama ini banyak menyisakan problematika tersendiri, namun keadilan restoratif tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang nantinya dapat dipermasalahkan di kemudian hari?
Jika kita cermati, keadilan restoratif pada tataran empiris diperkuat dengan peraturan internal masing-masing instansi aparat penegak hukum. Misalnya, di Kepolisian dasar hukum yang dipergunakan dalam pelaksanaannya adalah Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Di Kejaksaan, dasar hukum yang digunakan adalah Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Sedangkan, di Pengadilan dasar hukum yang digunakan adalah Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum. Meskipun, pada tahun 2021 yang lalu, Mahkamah Agung sendiri telah menangguhkan SK Badilum tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice melalui Surat Mahkamah Agung RI Nomor: 1209/DJU/PS.00/11/2021.
Intinya, pada saat ini, Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia tidak boleh menjalankan kebijakan penghentian perkara melalui keadilan restoratif (restorative justice), karena dasar hukum yang telah dikeluarkan telah ditangguhkan untuk sementara waktu.
Upaya pemulihan korban melalui tanggung jawab pelaku dengan pendekatan dialog (mediasi) merupakan kebijakan baru dalam sistem pemidanaan di Indonesia yang sebelumnya tidak ditemukan di dalam hukum acara pidana (KUHAP) maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Meskipun, secara hukum tetap memiliki legitimasi (kekuatan hukum) karena dilakukan oleh lembaga yang berwenang, tetapi tidak menutup kemungkinan kebijakan penerapan keadilan restoratif tersebut justru dapat dipersoalkan di kemudian hari.
Oleh sebab itu, dalam rangka mengantisipasi adanya komplain dan gugatan terhadap hasil penerapan keadilan restoratif, maka sangat penting memperkuat dasar hukum keadilan restoratif, baik melalui pembentukan undang-undang tersendiri yang mengatur pelaksanaan keadilan restoratif, atau bahkan melalui revisi KUHAP yang salah satu klausul pasalnya memasukkan keadilan restoratif sebagai bagian dari hukum acara pidana. (*)
*) Advokat dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan; Pengurus DPD Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) Jawa Timur Periode 2022-2027.