Oleh: Ribut Baidi
Akhir-akhir ini, praktik penyelesaian perkara pidana melalui dialog (mediasi) pelaku kejahatan dengan korban kejahatan di tingkat Kepolisian dan Kejaksaan menjadi trend yang banyak menghiasi pemberitaan media yang dikenal dengan istilah keadilan restoratif (restorative justice), dimana tujuannya untuk menghentikan perkara karena telah tercapainya kesepakatan damai korban-pelaku dengan beberapa syarat yang harus diikuti oleh pelaku sebagaimana ketentuan yang dituangkan di dalam peraturan internal masing-masing instansi aparat penegak hukum.
Secara filosofis dalam perspektif keadilan restoratif kejahatan tidak lagi dikatakan sebagai suatu serangan yang menciderai negara, tetapi hanya terbatas pada tindakan seseorang yang merugikan atau berdampak terhadap korban akibat tindak pidana. Tentu, hal ini didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan, baik dari sisi korban maupun pelaku, sehingga menyebabkan keadilan restoratif mempunyai tujuan untuk mengobati luka atau kerugian yang diderita korban akibat dari tindak pidana pelaku.
Peran Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan untuk mengurangi pemenjaraan bagi pelaku tindak pidana melalui keadilan restoratif merupakan terobosan positif dalam dunia penegakan hukum pidana. Dalam artian, penegakan hukum pidana tidak lagi sepenuhnya menjadikan pemenjaraan sebagai instrumen penyelesaian hukum dari waktu ke waktu, melainkan dengan keadilan restoratif dilakukan upaya mediasi korban-pelaku dan keluarga masing-masing pihak, sepanjang mediasi tersebut tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) korban dan pelaku, serta tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keadilan Restoratif dalam Pandangan Ahli dan Regulasi
Topo Santoso (Hukum Pidana (Suatu Pengantar), 2010) menyatakan Keadilan restoratif adalah konsep pemikiran yang merespon perkembangan sistem peradilan pidana dengan titik tekan kepada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana konvensional yang ada pada saat ini. Konsep keadilan restoratif memiliki perbedaan mendasar dengan konsep keadilan retributif yang menjiwai sistem peradilan pidana di kebanyakan negara. Keadilan retributif menekankan pemidanaan sebagai akibat nyata (mutlak) yang harus ada sebagai bentuk pembalasan terhadap pelaku tindak pidana dan memiliki fokus perhatian kepada pelaku melalui pemberian derita dan masyarakat melalui pemberian perlindungan dari kejahatan. Sedangkan, keadilan restoratif lebih menitikberatkan terhadap pemulihan dan memfokuskan kepada korban, pelaku, dan masyarakat terkait. Disamping itu juga, keadilan restoratif merupakan model pendekatan pemecahan masalah yang dalam berbagai bentuknya melibatkan korban, pelaku jejaring sosial mereka, lembaga peradilan, dan masyarakat. Program keadilan restoratif didasarkan pada prinsip dasar bahwa tindak pidana pelaku kriminal tidak hanya melanggar hukum, namun juga melukai korban dan masyarakat. Oleh sebab itu, setiap langkah untuk mengatasi konsekuensi dari pelaku kriminal harus (jika memungkinkan) melibatkan pelaku serta pihak-pihak yang dirugikan, sambil juga memberikan bantuan dan dukungan yang dibutuhkan oleh korban dan pelaku.
Angkasa (Viktimologi, 2020) menyatakan keadilan restoratif adalah alternatif penyelesaian masalah atas terjadinya viktimisasi/tindak pidana dengan tidak menggunakan sistem peradilan pidana (criminal justice system), yang berorientasi pada pemenuhan kepentingan korban yang diwujudkan dalam bentuk penggantian kerusakan yang dialami oleh korban akibat viktimisasi. Disisi lain, melalui keadilan restoratif akan tercipta dorongan yang kuat bagi pelaku agar memahami kesalahannya yang berimplikasi pada tanggung jawab berupa pemulihan korban, serta terciptanya kehidupan yang aman dan damai dalam masyarakat.
Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif menyebutkan bahwa: “Keadilan restoratif adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula”.
Selanjutnya, Pasal 1 angka 1 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif menyebutkan bahwa: “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku/Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”.
Kemudian, Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum menyebutkan bahwa: “Keadilan restoratif merupakan salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana melalui pendekatan dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak-pihak lain yang terkait dalam rangka bersama-sama membuat kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada situasi semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat”.
Pengawasan Maksimal terhadap Praktik Keadilan Restoratif
Meskipun, penerapan keadilan restoratif merupakan solusi untuk mengurangi sanksi pemenjaraan bagi pelaku kejahatan, tetapi dalam praktiknya harus dipantau dan diawasi secara bersama-sama. Baik, dari pengawas internal instansi aparat penegak hukum, Komisioner Kepolisian Nasional (Kompolnas), korban, keluarga korban, keluarga pelaku kejahatan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), pendamping hukum korban, pendamping hukum pelaku kejahatan (tersangka/terdakwa) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media/pers, serta publik secara umum agar praktik keadilan restoratif berjalan di atas real (rambu-rambu kebenaran).
Tujuan pengawasan tersebut adalah mencegah agar praktik keadilan restoratif tidak dirusak oknum-oknum aparat penegak hukum dengan praktik transaksional perkara (barter kasus dengan uang) melalui intervensi atau tekanan di luar ketentuan biaya (ganti kerugian) yang harus dibayarkan pelaku kejahatan terhadap korban sebagai ganti rugi atas perbuatan pidana/kejahatan yang dilakukannya. Hal tersebut, dapat dimungkinkan terjadi di tengah ekslusifitas proses pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku kejahatan, korban kejahatan, dan saksi-saksi yang dihadirkan. Jika, hal itu terjadi, maka yang menjadi korban oknum-oknum aparat penegak hukum adalah pelaku kejahatan dan juga korban kejahatan itu sendiri, sehingga keadilan restoratif yang diharapkan menjadi solusi alternatif terbaik, justru menjadi anomali yang menambah daftar panjang problematika penegakan hukum pidana di republik ini.
Kesadaran dan kesepahaman bersama untuk memonitor dan mengawasi secara bersama-sama terhadap praktik keadilan restoratif, disamping untuk membantu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan dalam penegakan hukum yang “spirit”-nya untuk mengakomodir norma dan nilai yang hidup dalam masyarakat (living law), juga dalam rangka memberikan kepastian hukum, manfaat penegakan hukum, dan rasa keadilan bagi masyarakat, terutama untuk korban dan keluarga korban. Jika, hal tersebut bisa dilakukan secara integratif, maka kekhawatiran terhadap praktik transaksional perkara dalam praktik penerapan keadilan restoratif (restorative justice) bisa diantisipasi. (*)
*) Advokat/Pengacara dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM); Pengurus DPD Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI)
Jawa Timur Periode 2022/2027.