KABARMADURA.ID | Namanya Muna Masyari. Sejak tahun 2010, perempuan satu ini sudah menggeluti dunia tulis menulis. Lebih tepatnya gemar menulis cerita pendek. Dia kerap kali mengirimkan karya-karyanya ke berbagai media massa. Tak jarang tulisannya ditolak oleh jajaran redaksi media. Namun, hal tersebut tidak melemahkan semangatnya untuk selalu menelurkan karya.
SAFIRA NUR LAILY, PAMEKASAN
Baginya, menulis adalah salah satu cara menyenangkan diri sendiri. Ada kepuasan tersendiri ketika menggeluti aktivitas menulis. Menurutnya, tulisan yang tidak dimuat itu merupakan sebuah proses yang harus dinikmati. Untuk itu, dia selalu mencoba dengan gigih sampai tulisannya dimuat. Hingga sekarang, terdapat ratusan cerpen Muna yang sudah dimuat di beberapa media online ataupun media cetak.
“Cerpen pertama dimuat di koran Serambi Aceh berjudul Pahlawan. Itu tanpa honor. Saya positif thinking saja, ketika tulisan saya gagal dimuat. Itu adalah bagian perjalanan yang harus saya lewati. Yang lain bisa kenapa saya tidak,” terangnya.
Selain giat menulis cerpen, dia juga menulis buku berjudul Rokat Tase’. Buku yang berisi kumpulan cerpen (kumcer) itu, mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Republik Indonesia sebagai kumcer terbaik tahun 2021.
Tidak hanya itu, dia juga menulis novel berjudul Damar Kambang. Novel tersebut berhasil menjadi nomine Kusala Sastra Khatulistiwa 2021. Diakui Muna, bukan tanpa alasan memilih topik budaya Madura sebagai ide utama di setiap cerita-cerita yang ditulis. Selain karena ingin menulis fenomena di sekitarnya, ia juga ingin mengenalkan kearifan lokal Madura yang beragam ke publik.
Pasalnya, selama ini Madura selalu diidentikkan dengan kekerasan seperti Carok. Melalui karyanya tersebut, dia ingin mengedukasi masyarakat luar bahwa Madura memiliki sisi lain yang tidak banyak orang tahu, Sortana (kasur tanah) salah satunya.
Dia menulis cerpen dengan judul Kasur Tanah. Diangkat dari fenomena sekitar yang masih melekat di masyarakat Madura, yakni memberikan perabot dapur ke guru ngaji apabila ada salah satu keluarga yang meninggal. Cerpen tersebut mendapat penghargaan cerpen terbaik pilihan Kompas tahun 2017.
Ada juga kumcer dengan judul Martabat Kematian. Kumcer tersebut mendapat penghargaan Sutasomo dari Balai Bahasa Jatim sebagai buku Sastra Indonesia terbaik 2020. Baginya, tidak mudah memang dalam menciptakan ide kreatif secara konsisten. Namun, hal tersebut bisa diatasi dengan banyak membaca.
“Konsistensi dalam menulis itu penting. Kalau saya sudah buntu, maka saya mencoba untuk membaca buku lain. Di situ saya bisa mendapatkan inspirasi untuk melanjutkan tulisan saya,” ungkap perempuan berusia 37 tahun itu.
Redaktur: Muhammad Aufal Fresky