KABARMADURA.ID | Cita-cita pasti ada dalam setiap orang. Namun, tidak semua cita-cita dapat kita dekap dalam nyata. Hal itu dirasakan oleh Nansi Pritadora. Dia memiliki cita-cita menjadi seorang guru. Namun, kenyataannya tidak. Meski tidak menjadi seorang guru, dia justru menjadi seorang pemimpin, tepatnya sebagai Kepala Desa Ponteh sejak 2013 lalu. Kini, dia pun dipercaya untuk memimpin di periode ke dua.
SAFIRA NUR LAILY, PAMEKASAN
Urung menjadi seorang guru sebagaimana yang dicita-citakan, tidak membuatnya enggan untuk menjadi perempuan yang dapat memberi dampak kepada orang banyak. Menjadi seorang kepala desa, dia bertekad untuk berbuat lebih dari sekadar cita-citanya yang seorang guru. Mendidik dibarengi kebijakan atas kekuasaannya, menjadi warna sendiri dalam kepemimpinannya.
Nansi menceritakan, cita-cita menjadi guru itu menggema sejak di bangku pendidikan. Namun sejak dia dipinang dan menikah, cita-cita itu tersandera keinginan suaminya yang menginginkan dia menjadi seorang kepala desa di Desa Ponteh, Kecamatan Galis. Alumni mahasiswa IKIP PGRI Semarang itu mengungkapkan, karena perintah suami adalah kewajiban, maka dia enggan menolak permintaan suaminya tersebut.
“Kalau cita-cita menjadi seorang guru. Tapi mau bagaimana lagi, perintah suami adalah kewajiban dan harus dituruti. Apalagi tujuannya baik, untuk membangun desa lebih berkemajuan,” kata perempuan kelahiran 1987 itu kepada Kabar Madura.
Alhasil, tahun 2013 menjadi awal dia memimpin Desa Ponteh. Dia menjadi perempuan kedua dalam sejarah kepemimpinan di desanya. Karena tanggung jawab sudah di pundaknya, tidak ada alasan untuk semangat berapi-api membangun dan memajukan desa yang dipimpinnya.
“Saya jadi kepala desa atas kepercayaan masyarakat, maka sudah menjadi tanggung jawab saya untuk berbuat sekuat saya mampu dalam memajukan Desa Ponteh ini,” terangnya.
Dalam perjalanannya memimpin Desa Ponteh, kata Nansi, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih dia adalah pemimpin baru yang harus terus belajar dan membuktikan kepada masyarakat bahawa di bawah kepemimpinannya Desa Ponteh harus lebih maju dari sebelumnya.
“Di awal-awal saya memimpin memang penuh tangis. Selain memang pengalaman pertama, juga bagaimana membuktikan kepada masyarakat bagaimana pelayanan, keamanan dan semua hal yang harus masyarakat rasakan,” ungkap ibu 3 anak itu.
Berkat kesabaran dan ketelatenannya dalam mempimpin, Nansi rupanya membuat masyarakat enggan memilih pemimpin lain. Hal itu terbukti, saat pemilihan kepala desa untuk periode selanjutnya. Meski Nansi tidak ingin mencalonkan diri lagi dan sudah berpamitan ke sejumlah tokoh setempat, namun banyak yang tidak setuju. Mereka meminta Nansi untuk melanjutkan kepemimpinannya. Alhasil ia terpilih secara aklamasi pada Pilkades 2019 lalu.
Selama ia menjabat sebagai kepala desa, banyak hal yang sudah dia benahi, bahkan kegiatan kemasyarakatan mulai aktif, tatanan desa lebih maju, dan melakukan pemberdayaan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Tidak hanya melakukan pemanfaatan produk UMKM lokal, pihaknya juga melakukan pembekalan pada pelaku UMKM, seperti pembinaan pengemasan, pemasaran, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, kendati Nansi sebagai kepala desa yang dituntut untuk senantiasa melayani warganya, namun dia juga tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu dari anak-anaknya. Dia tetap memposisikan sebagaimana kodratnya. Dia mengurus pekerjaan rumah tangga tanpa bantuan asisten rumah tangga, seperti memasak, mengurus anak, dan pekerjaan rumah lainnya.
“Itu kewajiban saya, selain memimpin Desa Ponteh. Dan karena saya sudah didapuk sebagai kades, ya konsekuensi untuk itu. Tapi itu tidak menjadi persoalan, asal dapat mengatur waktu,” terangnya.
“Mudah-mudahan, di periode kedua ini, saya dapat lebih memberikan pelayanan yang terbaik untuk masyarakat Desa Ponteh. Apapun itu, akan saya lakukan,” tegasnya.
Redaktur: Moh. Hasanuddin