KABARMADURA.ID | Saat menyebut kata “sejarawan”, maka yang terlintas di pikiran kita adalah sesosok orang tua berkacamata yang rajin baca buku. Namun stigma itu tidak berlaku bagi Umar Faruk. Di usianya yang masih 26 tahun, dia sudah menyandang gelar sejarawan.
ALI WAFA, SAMPANG
Umar Faruk lahir di Desa Moktesareh, Kecamatan Kedungdung pada 4 Februari 1996. Usia yang masih sangat muda untuk seorang sejarawan. Tidak banyak sejarawan semuda dirinya, apalagi di Sampang.
Umar kecil menempuh pendidikan dasarnya di SDN Moktesareh 1. Pada saat masih kelas IV SD, dia sudah tertarik dengan pendidikan sejarah. Wawasan tentang kolonialisme membuatnya terobsesi untuk mencari tahu lebih jauh tentang sejarah di masa-masa penjajahan.
Bahkan, Umar kecil kerap mencari tahu sejarah tentang kolonialisme melalui kakek buyutnya. Dari kakeknya dia mendengar kisah kekejaman Belanda kepada bangsa Indonesia. Umar mendengarkan kisah itu dengan saksama, hingga dia menaruh rasa dendam kepada kolonialis.
“Dari situ, saya kok rasa-rasanya ada dendam sama Belanda. Saya konfirmasi ke kakek saya. Dulu piring dan perabotan dapur sampai dikubur ke dalam tanah agar tidak diambil Belanda,” ungkap Umar kepada Kabar Madura, Kamis (8/12/2022).
Setelah lulus SD, Umar melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Darul Ulum II Al-Wahidiyah Gersempal, Kecamatan Omben. Di sana, dia menamatkan SMP dan SMA. Namun, meski lama di pesantren, ketertarikannya kepada pendidikan sejarah masih kental.
Karena itu, Umar mengambil program studi (prodi) Sejarah Peradaban Islam di Universitas Islam Negeri Surabaya (Uinsa) dan lulus dengan gelar Sarjana Humaniora pada tahun 2019. Kini, dia melanjutkan pendidikan magisternya di UIN Bandung dengan prodi yang sama.
Meski gelar magisternya belum selesai, namun Umar telah melakukan banyak hal dengan pengetahuan sejarahnya. Beberapa kali dia melakukan penelitian tentang sejarah. Mulai dari sejarah dalam skala nasional hingga daerah, seperti halnya tentang Madura dan Sampang.
Baru-baru ini, dia terlibat dalam perumusan pakaian adat Kabupaten Sampang. Dia diminta berkontribusi karena sampai saat ini, Sampang belum memiliki pakaian adat yang paten. Bahkan, di Madura hanya Sampang yang belum memiliki pakaian adat.
“Awal saya bergabung dengan tim perumus baju adat itu, saya seperti dipandang sebelah mata karena mungkin masih terlalu muda untuk bicara sejarah. Tapi setelah saya mempresentasikan literatur tentang sejarah pakaian adat Sampang, alhamdulilah bisa diterima,” tutup Umar.
Redaktur: Muhammad Aufal Fresky