KABARMADURA.ID | Bagaimana bisa, batik yang diproduksi di Madura justru lebih dikenal oleh orang-orang di luar Madura. Sementara di daerahnya sendiri tidak begitu tersohor. Pertanyaan itu terlintas di hampir semua orang yang baru mengenal Griya Batik Heny.
ALI WAFA, SAMPANG
Warga Kabupaten Sampang tidak banyak yang tahu Griya Batik Heny. Padahal usaha ini dirintis oleh Heny Krisniasih (39) sejak 10 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2012. Namun pangsa pasarnya justru meluas di daerah lain, seperti di Yogyakarta, Jakarta dan sedikit sekali di Sampang.
Rupanya, Heny sendiri kelahiran Yogyakarta. Ibu tiga anak itu ikut suaminya ke Kota Bahari. Saat itu, teman-teman Heny di Jakarta mengaku suka dengan batik Madura. Heny pun diminta untuk mencarikannya. Heny memperlihatkan gambar batik Madura, ternyata benar disukai.
Batik itu dibeli, kemudian dijual kembali ke teman-temannya di Jakarta. Berawal dari situ, Heny merasa ada peluang di bisnis batik. Dia pun tertarik untuk menjadi reseller batik. Hingga akhirnya, dia mengumpulkan modal dan memproduksi sendiri batik tulis.
“Dari awal saya sudah jual beli online melalui Instagram dan Facebook. Dulu belum banyak jual beli online,” ungkapnya, Senin (13/3/2023).
Kebetulan, ayahnya adalah pengurus Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) di Yogyakarta. Dari ayahnya, dia mendapat peluang untuk menggelar pameran batik tulis. Di situlah dia menyebarkan kartu namanya, hingga Griya Batik Heny dikenal luas di Yogyakarta.
Dia pun banjir pesanan. Padahal platform media sosial yang digunakannya hanya Facebook dan Instagram. Sayangnya, di Sampang belum banyak yang tahu. Bahkan, Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) Sampang baru tahu bahwa Griya Batik Heny milik warga Sampang.
“Dulu dari Diskoperindag menghubungi saya. Ternyata tahu Griya Batik Heny dari Facebook. Saya kemudian ditawari untuk ikut pelatihan,” ujar istri dari Budi Eka Prasetiawan itu.
Sekarang, Heny dibantu enam orang pekerja. Mulai dari desain, produksi hingga pemasaran dikerjakannya. Kebanyakan, batik yang diproduksinya adalah batik kontemporer. Namun ada juga batik klasik khas lokal. Dari usahanya itu, dia pernah memperoleh omzet sebulan Rp30 juta.
“Karena permintaan pasar banyak, kalau saya produksi semua di rumah gak nututi. Jadi saya kerja sama dengan pengrajin. Saya bagian desain, mereka yang produksi, terus setor ke saya,” tutupnya.
Redaktur: Moh. Hasanuddin